Ke Mana Kita Merdeka
Bagi Mochtar Pabottingi, impian bangsa kita ke depan sudah terkandung teguh di dalam Pancasila sebagai falsafah kebangsaan—sekaligus persetumpuan luhur atas tujuan-tujuan kemerdekaan kita.
(Artikel Opini Mochtar Pabottingi, yang pernah diterbitkan Kompas pada edisi 18 Agustus 2021, ini kami terbitkan kembali untuk mengenang beliau yang wafat hari ini, 4 Juni 2023)
”Secara historis, pandemi telah memaksa umat manusia memutus hubungan dengan masa lampau dan membayangkan dunianya secara baru.... Ini suatu portal—suatu gerbang antara satu dunia ke dunia lain.” Begitu tulis novelis India, Arundhati Roy, perihal makna pandemi Covid-19 (Financial Times, 3/4/2020).
Pandemi ini baginya memanggil kita untuk meninggalkan dunia ”mesin kiamat yang telah kita bangun sendiri”, ”bangkai-bangkai prasangka dan kebencian, keserakahan, bank-bank data dan gagasan-gagasan mati, sungai-sungai mati dan langit yang penuh jelaga”.
Dia mengimbau agar kita ”melangkah ringan ke masa depan ... siap membayangkan suatu dunia lain. Dan siap berjuang untuknya.” Menyongsong peringatan ulang tahun ke-76 kemerdekaan bangsa kita, saya terimbau oleh Roy untuk juga melihat pandemi Covid-19 ini sebagai portal, tetapi tidak untuk mencari lagi suatu impian baru masa depan.
Bagi saya, impian bangsa kita ke depan sudah terkandung teguh di dalam Pancasila sebagai falsafah kebangsaan—sekaligus persetumpuan luhur atas tujuan-tujuan kemerdekaan kita.
Momen refleksi
Bagi saya, impian bangsa kita ke depan sudah terkandung teguh di dalam Pancasila sebagai falsafah kebangsaan—sekaligus persetumpuan luhur atas tujuan-tujuan kemerdekaan kita. Di sini portal pandemi lebih dimaknai sebagai momen refleksi untuk memeriksa ulang perjalanan kita sebagai suatu bangsa: ke mana kita merdeka?
Di tengah cekikan pandemi, amatlah relevan bagi kita tetap mengindahkan kesadaran sejarah dalam konteks alam penjajahan versus alam kemerdekaan sebagai suatu dikotomi universal. Meminjam kata-kata Soedjatmoko: ”Kesadaran sejarah membimbing [kita] kepada pengertian mengenai sangkan paran [kita] sebagai suatu bangsa, kepada persoalan what we are, why we are what we are.”
Hanya lewat penghayatan akan sangkan paran itu, kita bisa memelihara kesadaran akan cita-cita, kehormatan, dan bahaya yang kita hadapi dari masa ke masa sebagai negara-bangsa. Jika Ernest Renan menyatakan bahwa ”a nation is a daily plebiscite”, kita bisa menyatakan bahwa ”freedom is a daily reckoning.”
Di setiap negara yang lebih tegar menjunjung keadilan bagi segenap warganya, kemerdekaan akan lebih berprogresi ke arah pembangunan keadaban. Tetapi, di tiap negara yang lebih melecehkan keadilan, kemerdekaan akan lebih beregresi menuju kebiadaban.
Pada alternatif pertama, kita lazim berbicara tentang pengkhianatan kemerdekaan, sebab di sini frekuensi kasus pengkhianatan terhadap ideal-ideal kemerdekaan masih berada dalam batas-batas normal. Pada alternatif kedua, kita sudah harus berbicara tentang kemerdekaan pengkhianatan sebab di sini pengkhianatan sudah kian menjadi pakem perilaku para pelaksana negara.
Kita sungguh bersyukur, di tengah pandemi, masyarakat kita tetap ramai dan gigih menunjukkan bakti-bakti terpujinya, termasuk lima ”malaikat penyelamat” jauh di Kabupaten Yalimo, Papua, dan ”buah manis” produk alat bantu pernapasan beraliran tinggi hasil kerja sama riset-industri nasional (Kompas, 9/8/2021). Di kalangan para pelaksana negara, kita menyaksikan Presiden, sejumlah menteri, dan kepala daerah tiada henti membuktikan tanggung jawab mereka menghadapi badai pandemi.
Di setiap negara yang lebih tegar menjunjung keadilan bagi segenap warganya, kemerdekaan akan lebih berprogresi ke arah pembangunan keadaban.
Ada menteri yang tempo kerjanya sudah tinggi sedari awal pandemi dan ikut terpapar, menteri yang tanpa ragu naik ojek ke lokasi-lokasi merah dan terpencil, juga menteri yang terus ulet bekerja dengan otoritas dan integritas istimewa sembari tak lupa berzikir.
Namun, kita tersentak oleh laku korupsi Menteri Sosial Juliari Batubara atas dana bantuan sosial pandemi di tengah deraan derita bangsa.
Lalu kezaliman terhadap ke-75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh pimpinan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN); perenggutan independensi, kebebasan, dan kepedulian di pucuk dunia akademik—kawal setia suara kebenaran dan keadilan di sepanjang masa kemerdekaan; dakwaan terhadap para aktivis keadilan lewat ”pasal-pasal karet” Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE); parahnya kesenjangan antara aspirasi rakyat akan keadilan dan laku khianat sebagian anggota DPR.
Begitu juga deretan vonis atau tuntutan miskin integritas dari lembaga-lembaga peradilan yang diberikan dalam kasus Jaksa Pinangki, Joko S Tjandra, dan Edhy Prabowo. Indonesia Corruption Watch mencatat, sepanjang 2019-2020, ”setidaknya 22 koruptor dipangkas hukumannya oleh MA”.
Dalam kilas balik hampir empat dekade ke belakang, setidaknya kita dapat menunjuk tiga penyebab meningkatnya kemerdekaan pengkhianatan yang berkelindan erat satu sama lain.
Pertama, mega-impunitas pada tahun-tahun peralihan Orde Baru ke rezim Reformasi (1998-2003). Kedua, deideologisasi dan pemiskinan ketercerahan politik di kalangan partai sehingga memeratakan sifat bunglon tanpa karakter dalam berpolitik.
Dan ketiga adalah praksis legislasi DPR yang miskin otoritas dan integritas, papa substansi, miskin deliberasi, serta bangkrut legitimasi.
Impunitas politik
Irasionalitas politik memarakkan impunitas politik. Pertama dan terpenting adalah praktik impunitas terhadap rangkaian mega-korupsi dan kejahatan masif terhadap kemanusiaan pada rezim Orde Baru. Negara kita tergiring ke arah kemerdekaan pengkhianatan lantaran para pelaksananya gagal atau menolak menyadari impunitas sebagai suatu ilusi—sebagai penipuan diri sendiri.
Tak sedikit pejabat tinggi negara kita di ketiga cabang pemerintahan dari Orde Baru hingga ke era Reformasi yang wawasannya terlampau tersungkup untuk memahami kerja hukum psiko-politik, yakni bahwa setiap impunitas dalam pelaksanaan pemerintahan akan membawakan kebangkitan kembali padanan dari laku angkara yang diloloskan dengan daya rusak berganda.
Negara kita tergiring ke arah kemerdekaan pengkhianatan lantaran para pelaksananya gagal atau menolak menyadari impunitas sebagai suatu ilusi—sebagai penipuan diri sendiri.
Kian besar bobot impunitas, kian besar pulalah daya rusak baliknya. The greater the impunity, the more it returns with an even greater vengeance. Dan diktum politik perenial perihal negara bekerja di sini: negara, jika dikelola secara benar, akan menjadi kekuatan pemberadab terbesar. Namun, jika dikelola sebaliknya, ia akan menjadi kekuatan pembiadab terbesar. Sebab, negara adalah pemangku tunggal daya paksa dan segenap sumber daya ekonomi dan politik nasional. Bangsa kita telah menyaksikan kedua sisi dari ekuasi itu.
Dalam perbandingan, keprihatinan besar akan impunitas inilah yang membuat Partai Demokrat dalam Kongres Amerika pada hari-hari ini terus gigih memperjuangkan adanya investigasi bipartisan atas pemberontakan di Capitol Hill pada 6 Januari lalu.
Terkikisnya patokan-patokan ideologis dan prinsip-prinsip politik luhur di kalangan partai merupakan akibat langsung dari avalansa impunitas atas rangkaian mega-korupsi dan pelanggaran HAM masif di bawah Orde Baru.
Kedua, amendemen empat kali atas konstitusi dan pembentukan lembaga-lembaga penopang sistem demokrasi memang merupakan prestasi nyata Reformasi. Namun, dengan tetap utuhnya personalia dan mesin-mesin politik Orde Baru di kancah era Reformasi yang segera terjadi adalah pertandingan panjang, a long tug-of-war, yang kian lama kian timpang antara realitas praksis Orde Baru dan ideal praksis Reformasi.
Pergantian episentrum kekuasaan dari eksekutif ke legislatif di bawah diktasi atau hegemoni mesin politik Orde Baru membuat praktis semua partai kelahiran reformasi pun ikut terkontaminasi oleh laku penghalalan cara model Orde Baru. Selain itu, politik dinasti dan ”politik trah” mencampakkan tuntutan kaderisasi dan mekanisme seleksi demokratis internal partai serta mengabaikan aktivasi/agregasi gagasan-gagasan politik tercerahkan dalam praksis kepartaian.
Kontras tajam dengan karakter kepartaian sepanjang 1912-1960, aneka sifat buruk di dunia kepartaian kita, terutama di era Reformasi, itulah yang bermuara dalam bentuk perekrutan para pelaksana di ketiga cabang pemerintahan dan merupakan booster utama dari apa yang kita sebut ”kemerdekaan pengkhianatan”.
Ketiga, parahnya kemiskinan integritas dan otoritas, minimnya deliberasi, serta tiadanya pengindahan pada prinsip keabsahan prosedural dan keabsahan substansial dalam penyiapan, penetapan, dan revisi UU. Itulah yang berlaku pada UU ITE, UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Tiga yang pertama merupakan hasil revisi. Keempat UU ini disahkan di masa pemerintahan Jokowi.
Dengan kedua cacat besar dalam praktik legislasi itu, keempatnya akan potensial berdampak langsung pada penyepelean aktualisasi ideal-ideal kemerdekaan kita. UU ITE (2016) memprivilesekan para pelaksana kekuasaan dengan membentengi mereka dari kritik dan pengawasan masyarakat, menafikan keniscayaan kontrol bersama atas pelaksanaan kekuasaan demi terlaksananya pemerintahan bersih dan akuntabel.
UU KPK (2019) menyangkal kenyataan bahwa magnifikasi dan kumulasi korupsi merampas hak-hak banyak warga bangsa akan perlakuan layak dan adil dalam pelbagai bidang. Kresendo korupsi langsung memiskinkan; mengikis keberdayaan, kreativitas, dan harapan rakyat; mengikis moralitas pemerintahan; menggerogoti solidaritas dan keluhuran kebangsaan.
Keempat UU itu manifestasi dari menjauhnya negara dari bangsa dan sudah tentu sama-sama menjadi indikator utama dalam kemerdekaan pengkhianatan.
UU Minerba (2020) menggampangkan perusakan lingkungan hidup dan kelangsungan kesehatan ekologis, yang semestinya harus gigih dipelihara sebagai bagian dari ”hajat hidup orang banyak” akan produktivitas ekonomi berkualitas dan berjangka panjang demi kesejahteraan bangsa lintas generasi.
UU Cipta Kerja (2020) tegak di atas asumsi bahwa investasi can do no wrong dan bahwa ancaman deforestasi, hak-hak kaum buruh dan kaum perempuan untuk hidup layak dan bermasa depan—ketiganya termasuk dalam preskripsi universal negara-negara maju—boleh dikesampingkan.
Keempat UU itu manifestasi dari menjauhnya negara dari bangsa dan sudah tentu sama-sama menjadi indikator utama dalam kemerdekaan pengkhianatan. UU KPK (2019) paling sarat dengan niat dan konten khianat terhadap keniscayaan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. UU Cipta Kerja merangkum wewenang perundang-undangan paling luas sekaligus paling rancu dan paling bermasalah dalam hitungan keabsahan prosedural dan keabsahan substansial.
Ia juga ditandai oleh tiadanya kesiapan akademik, terbatasnya deliberasi, dan tergesanya pengesahan, termasuk laku liar mengubah isi materi UU setelah disahkan oleh DPR. Tiadanya keabsahan substansial terlihat pada pertabrakan atau kekisruhan dengan sejumlah UU lain, kumulasi laku zalim terhadap kaum buruh dan kaum wanita, ataupun pertentangannya dengan prinsip-prinsip keadaban dalam perburuhan internasional (Konvensi ILO, Konfederasi Serikat Buruh Internasional, dan puluhan lembaga investasi internasional).
Tak pelak lagi UU Cipta Kerja berpotensi menjadi kontributor terbesar dalam pengkhianatan terhadap ideal-ideal kemerdekaan kita. Jika tujuan utama UU ini untuk memudahkan investasi plus lapangan kerja, berlakunya kepastian hukum di dunia usaha, dan terlaksananya ideal-ideal kemerdekaan kita, ia justru berpeluang terbesar membatalkan dan mengkhianati itu semua.
Membalikkan pengkhianatan
Di sini, kita patut kembali mengutip peringatan lirih Bung Karno 58 tahun silam perihal ”satu bangsa yang mula-mula mencoba hidup kembali sebagai Bangsa, akhirnya kembali menjadi ... ’een natie van koelies en een koelie onder de naties’.”
Ke mana kita merdeka? Sudah 56 tahun, yaitu sejak Orde Baru, bangsa kita tergiring ke dalam regresi kontinu dari ideal-ideal kemerdekaan kita sehingga sudah menjadi suatu tantangan yang menggunung. Namun, pernah beratus tahun bangsa kita dicekoki dan dipaksa percaya bahwa kemerdekaan adalah suatu kemustahilan. Dan bangsa kita bangkit menegasikannya.
Kini, sanggupkah kita membalikkan kemerdekaan pengkhianatan itu?
Tuhan menganugerahi kita modal-modal kebangsaan istimewa: satu bahasa nasional yang berharkat; tradisi kejuangan yang tegar serta sejarah pergerakan dan revolusi kemerdekaan yang gemilang. Para pendiri bangsa berkarakter terpuji dan berwawasan tercerahkan; tradisi saling menyantuni dalam keragaman budaya dan agama; dan ideal-ideal Pancasila yang akar-akar historisnya menghunjam ratusan tahun ke belakang dengan visi politik progresif yang menjangkau jauh ke masa depan.
Dengan internalisasi dari semua modal yang nilainya tak terperikan itu, imbauannya pasti bukanlah sanggupkah kita, melainkan bersediakah kita?
Mochtar Pabottingi,Pemikir Kebangsaan dan Demokrasi