Mudik dan Godaan Kota 15 Menit di Kampung Halaman
Tak perlu jauh-jauh ke Paris, Kota 15 Menit ternyata ada di banyak kota di Indonesia.
Jauh sebelum Anne Hidalgo mencetuskan Kota 15 Menit, sejatinya komposisi kota selalu berupa pusat kegiatan ekonomi dan hunian berikut berbagai fasilitas pendukung di dalamnya. Semua serba dekat, mudah dijangkau dengan berjalan kaki.
Pada 2020, pandemi Covid-19 membuat aktivitas publik di seluruh dunia nyaris terhenti total. Semua pemerintahan berfokus pada layanan kesehatan dan mengerem laju penularan Covid-19. Namun, Wali Kota Anne berbeda. Selain menangani pagebluk, ia tancap gas meningkatkan pembangunan angkutan umum, jalur sepeda, juga trotoar di kotanya, Paris, di Perancis.
Kota 15 Menit intinya membuat kota mudah terakses siapa pun dengan berjalan kaki, bersepeda, kursi roda dan alat bantu bagi disabilitas maupun orang tua dan anak-anak, serta tentunya dengan naik angkutan umum massal.
Terkait program itu, Pemerintah Kota Paris berkomitmen menambah taman dan ruang terbuka publik, termasuk menutup beberapa ruas jalan untuk kendaraan bermotor pribadi.
Baca juga : Mudik, Perayaan Migrasi Temporer Duta-duta Kota
Semakin banyak ruang publik, berbagai moda transportasi saling terhubung, perjalanan singkat untuk urusan sehari-hari akan membuat warga beraktivitas di luar ruang tanpa berdesak-desakan dalam waktu lama. Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi juga berarti menekan polusi dan kerusakan lingkungan. Ongkos hidup warga bakal lebih ekonomis. Aktivitas ekonomi dipastikan makin efektif.
Warga kota pun diminta lebih sering bergerak secara fisik, tidak mudah tertular penyakit, dan lebih sehat. Tak banyak waktu dihabiskan di jalan,sehingga bisa menikmati hari seorang diri maupun bersama orang terdekat.
Program Anne di Paris mendapat sambutan luas. Di Tanah Air, proyek ibu kota negara baru (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur pun disebut memasukkan Kota 15 Menit dalam konsep besarnya sebagai kota hutan (forest city).
Konsep lama
Di balik popularitasnya, Archdaily dalam salah satu ulasannya menyebut, hingga sekitar satu abad silam semua kota adalah Kota 15 Menit, bahkan kurang dari itu.
Kota di masa lampau biasanya memiliki batasan jelas, di antaranya berupa benteng dan gerbang. Di dalam kota, ada pasar, pusat pemerintahan, hunian, layanan kesehatan, pusat pendidikan, sampai pusat hiburan.
Baca juga : Enam Belas Episode Pelajaran Hidup ”Drakor” Melepas Stres
Di masa lebih modern, kota berkembang di luar batas-batas lama, tetapi penanda kawasan urban dan nonurban atau perdesaan cukup jelas. Area perdesaan biasanya berupa lahan pertanian luas dan menginduk ke kota terdekat untuk mengakses fasilitas publik yang lebih lengkap.
Kala musim mudik lebaran tiba seperti saat ini, banyak orang merasakan kembali hidup di kota kompak di kampung halamannya.
Walaupun kini kota kecil tak lagi bebas dari serbuan kendaraan bermotor dan sedikit macet di sana-sini, secara umum pergerakan orang relatif lancar. Pengaruh tren mempercantik kota dengan membangun trotoar dan taman membuat berjalan kaki atau bersepeda di kota kecil tetap asik. Angkutan umum memang minim, tetapi cukup memadai dibandingkan dengan area kotanya yang kecil.
Jika kebetulan tinggal di Kampung Kauman atau sekitarnya di Surakarta, Jawa Tengah, kurang dari 400 meter atau 5 menit jalan kaki ke Pasar Klewer dan Masjid Agung Kauman. Berjarak kurang dari 500 meter sampai 1 kilometer ada taman kanak-kanak, sekolah dasar sampai menengah atas. Gereja, layanan publik di balai kota, dan sedikitnya dua pasar lain tersedia di radius yang sama.
Baca juga: Bentang Suara yang Membentuk Identitas Kota
Pengembangan kawasan serba guna atau mixed use development area terwujud di Kauman meskipun dulu muncul tanpa mengenal istilah itu.
Di Kauman ada pula pusat batik, pertokoan, bank, sampai lembaga pemasyarakatan. Jika menggunakan angkutan umum atau kendaraan bermotor pribadi, jarak 2-5 kilometer bisa ditempuh kurang dari 15 menit untuk mengakses tempat kerja atau sekolah yang lebih jauh.
Pengembangan kawasan serba guna atau mixed use development area terwujud di Kauman, meskipun dulu muncul tanpa mengenal istilah itu. Kawasan serba guna serupa ditemukan di area lain di kota yang akrab disebut Solo tersebut. Tren sama ditemukan di kota-kota lain di Indonesia.
Jebakan kendaraan bermotor
Seiring perkembangan, euforia manusia menyambut temuan kendaraan bermotor, terutama kendaraan bermotor pribadi, kemudian membuat kota berkembang ke segala arah dan meninggalkan prinsip kompak dan efisien.
Pemerintah yang tak visioner secara sadar atau tidak menjadi jalan pintas kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi yang melimpah. Pada saat bersamaan, pajak penjualan dan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi menjadi tambang pendapatan negara maupun daerah, proyek infrastruktur jalan reguler dan tol pun dinilai sebagai akselerasi pertumbuhan ekonomi termudah. Pembangunan angkutan umum massal dianaktirikan.
Baca juga: Kemacetan dan Jebakan Negara Berkembang
Di Indonesia, jejak perkembangan kota tak beraturan (urban sprawl) diawali di antaranya dengan membangun Serpong dan Bintaro di Tangerang Raya, Banten, sejak 1980an.
Dua kawasan itu menginduk ke Jakarta. Membuka ribuan hektar ladang dan kebun hanya untuk hunian, yang kemudian membuat ratusan ribu hingga jutaan orang setiap hari harus bolak-balik ke Jakarta dengan mobil, sepeda motor, dan hanya sedikit pengguna kereta komuter atau bus.
Pengembangan serupa terjadi merata di Bodetabek, lalu disalin ulang di kawasan metropolitan lain di Indonesia. Buntutnya, kemacetan terus menghantui Jabodetabek yang kini menular di area metropolitan sekitar Surabaya, Makassar, Medan, Bandung, dan Semarang.
Setelah kemacetan parah setiap hari, polusi udara mengancam warga, waktu terbuang yang membebani perputaran ekonomi, kesadaran membangun lagi kota efisien barulah muncul. Namun, benturan biaya dan banyaknya ketertinggalan yang harus dikejar, membuat pembangunan jaringan angkutan umum massal mumpuni masih akan memakan waktu lama. Harus bersabar sebelum impian hidup di Kota 15 Menit di Jakarta dan kota besar lain terwujud.
Baca juga: Kecamuk Amuk Kaum Muda Belia
Di luar negeri seperti di Amerika Serikat pun, terutama setelah pandemi, para pekerja di New York dan kota besar lain pindah ke kota-kota kecil tak jauh dari kota utama. Salah satu alasannya, mereka tak tahan dengan kesesakan di kota besar. Mereka memilih bekerja jarak jauh, bahkan pindah bekerja di kota kecil yang tak perlu menguras energi untuk bermobilitas.
Setelah mudik dan merasakan enaknya hidup di kota kecil yang kompak dan efisien, tren meninggalkan kota besar seperti terjadi di AS itu terasa menggoda betul. Tertarik? Layak dipertimbangkan.
Baca juga: Catatan Urban