Bentang Suara yang Membentuk Identitas Kota
Kota adalah panggung konser musik akustik paling kompleks dengan manusia sebagai pemain, komposer, sekaligus penonton. Identitas kota turut dibentuk oleh suara yang mendominasinya.

Neli Triana
Pagi itu, kicau kawanan burung gereja terdengar jelas walau wujudnya tersembunyi di relung atap, pucuk pohon, dan bertengger di kabel listrik. Deru kendaraan bermotor silih berganti melaju di ruas aspal yang membelah permukiman, ke arah jalan raya, entah hendak bekerja, ke sekolah, atau ke pasar.
Tak lama, laju sepeda motor berpengeras suara melintas disertai suara rekaman dengan pekikan khas menjajakan roti tawar dan lainnya. Terdengar suara pintu toko digulung, toko kelontong tetangga sebelah siap menerima pembeli.
Kala pandemi Covid-19 ganas menyerang 1-2 tahun lalu, suara-suara familiar itu menghilang, mengapungkan keheningan selama berbulan-bulan. Awalnya, sunyi sepi terasa tenang menyenangkan, tetapi lama-lama liris menyiksa. Kehidupan seperti separuh mati. Kembalinya keriuhan seperti pagi itu melegakan, meskipun terbayang kesesakan kota dengan segala problematikanya yang kembali mengakrabi aktivitas sehari-hari.
Bagi siapa saja, suara-suara tertentu tanpa sadar telah menjadi penanda mengenali kawasan sekitarnya. Kita dapat disergap rasa akrab atau asing, atau bahkan senang atau berang, hanya karena bebunyian khas yang terdengar.
Interaksi antara orang dan suara memperkuat identitas suatu tempat di perkotaan. Setiap kota memiliki ciri khas dan unsur bunyi yang membedakannya dengan kota-kota lain.
Baca juga : Kemacetan dan Jebakan Negara Berkembang

Kendaraan menembus kemacetan lalu lintas di kawasan Tomang, Jakarta, saat jam pulang kerja, Selasa (28/3/2023).
Semua itu masuk dalam apa yang disebut soundscape atau bentang suara. Bentang suara ini pertama kali dikenalkan, di antaranya, oleh R Murray Schafer dan didefinisikan sebagai akustik lingkungan yang dapat dipersepsikan manusia. Istilah akustik lingkungan menunjuk pada kombinasi semua sumber akustik, baik yang alami maupun artifisial, pada suatu area.
Schafer dalam buku klasiknya, The Soundscape: Our Sonic Environment and the Tuning of the World (1977), menjelaskan, kota memiliki kompleksitas bentang suara tersendiri. Soundscape di kawasan urban pada umumnya khas dengan komposisi antropofoni lebih dominan dibandingkan biofoni.
Antropofoni adalah suara yang dihasilkan manusia dan kegiatan manusia, termasuk di antaranya bunyi kendaraan, mesin, dan lainnya. Biofoni adalah bebunyian dari lingkungan alami, mulai dari desir angin, kecipak air, aktivitas gunung berapi, hinggga suara hewan-hewan di kota.
Dengan kompleksitasnya itu, setiap kawasan atau kota umumnya tetap memiliki karakteristik keunikan fonik yang berbeda. Kota-kota di Indonesia yang umumnya dihuni oleh mayoritas pemeluk Islam terbiasa dengan suara azan penanda waktu shalat yang bersahut-sahutan dari begitu banyak masjid dan mushala.
Pada bulan puasa, azan dirindukan karena menjadi penanda waktu berbuka. Seperti halnya suara takbiran menyongsong Idul Fitri, yang menandakan saatnya melepaskan diri dari rutinitas untuk berkumpul bersama keluarga mempererat silaturahmi.
Baca juga : Kecamuk Amuk Kaum Muda Belia
Di Eropa, kota-kota lama tak terpisahkan dengan bel gereja. Lonceng gereja selain dibunyikan terkait kegiatan keagamaan juga sebagai alat berkomunikasi, seperti seruan untuk berkumpul, tanda bahaya, dan lainnya.

Suasana taman di Masjid Agung Sunda Kelapa di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (29/3/2023).
Akibat keseragaman suara bising mesin kendaraan dan kepadatannya, identitas khas kota-kota di dunia mengalami keausan.
Kota pesisir pasti akrab dengan suara deburan ombak dan angin pantai. Walakin, suara natural itu dapat tertimpa hingga terkadang tak terdengar karena dominasi suara kendaraan bermotor yang memadati jalan di tepi laut, kesibukan di pelabuhan, keriuhan di pasar ikan, juga tertahan dinding kedap suara gedung pencakar langit di bibir laut.
Meskipun diakui memiliki bentang suara khas, kota di mana pun berada sekarang selalu pula diasosiasikan dengan kebisingan. Ini terutama karena dominasi suara kendaraan bermotor, deru mesin di pusat-pusat industri, dan hilir mudik aktivitas manusia yang tak putus selama 24 jam.
Akibat keseragaman suara bising mesin kendaraan dan kepadatannya, identitas khas kota-kota di dunia pun mengalami keausan.
Menurut Schafer, mengurangi gangguan itu butuh pendekatan ekologi akustik. Ekologi akustik adalah studi tentang suara dalam hubungannya dengan kehidupan dan masyarakat yang akan menghasilkan desain akustik lingkungan perkotaan sesuai kebutuhan warganya.
”Bentangan suara bagai komposisi musik yang sangat besar, konser yang berlangsung di sekitar kita tanpa henti. Kami (manusia) secara bersamaan adalah penontonnya, pemainnya, dan komposernya. Suara apa yang ingin kita pertahankan, dorong, gandakan?” kata Schafer.
Baca juga : Pahlawan Kesiangan di Palagan Konflik Lahan

Warga berjalan di jalur pedestrian pembatas Pantai Pasir Putih PIK 2 di Kelurahan Dadap, Kecamatan Kosambi, Tangerang, Banten, Sabtu (8/10/2022). Hamparan pasir putih sepanjang 4 kilometer tersebut adalah hasil reklamasi Teluk Jakarta.
Studi bentang suara pun dapat makin menajamkan pengungkapan ketimpangan di perkotaan.
Namun, Marie Thompson dalam bukunya, Beyond Unwanted Sound: Noise, Affect, and Aesthetic Moralism (2017), mengingatkan, tidaklah mudah mematikan suara yang tak diinginkan. Keheningan, lingkungan dengan suara alami yang menenangkan, misalnya, adalah suatu kemewahan yang selama ini bisa dikontrol ketersediaannya di lokasi-lokasi tertentu oleh segelintir orang. Studi bentang suara pun dapat makin menajamkan pengungkapan ketimpangan di perkotaan.
Semangat mengikis ketimpangan merebak ketika Covid-19 melanda disusul era pascapandemi saat ini. Berkembang konsep pembangunan rumah, kantor, penataan angkutan umum, dan ruang terbuka yang menjunjung hidup sehat. Namun, hal-hal baik itu terbukti sangat tergantung pada kontrol yang punya kuasa disertai kekuatan modal yang dimiliki.
Rumah-rumah sehat cantik besutan para pengembang swasta harganya meroket. Di selatan Jakarta, per unit rumah modern dengan dua kamar tidur kini sudah dibanderol di atas Rp 1 miliar, bahkan tembus di atas Rp 7 miliar. Apartemen di bawah Rp 500 juta menyuguhkan tipe studio sempit sekitar 18 meter persegi yang tak menjanjikan kenyamanan berarti.
Di belahan kota yang lain, permukiman kumuh, padat, dan bising tetap ada seperti sebelum pandemi dengan fasilitas sistem air bersih dan sanitasi minim. Rumah-rumah sederhana sehat bagi kaum miskin baru sebatas percontohan yang tersedia beberapa ratus unit saja dari kebutuhannya yang mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan unit.
Baca juga : Batman dan Hewan-hewan Metropolitan

Foto aerial kawasan perumahan baru yang tengah dibangun di Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (23/3/2023).
Saat jam sibuk dan terjebak kemacetan di jalanan, kaum berpunya dapat berlindung di mobil berpendingin yang nyaman dan relatif kedap suara. Yang lain bergerombol bergerak perlahan sembari menghirup asap pembuangan kendaraan bermotor dan pekak oleh suara lalu lintas sesak dan padat. Selebihnya berjejalan di angkutan umum, berimpitan walau bermasker.
Inilah identitas Jakarta yang serupa dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Belum terwujud suguhan konser akustik lingkungan urban dengan komposisi suara kendaraan bermotor yang tak lagi mendominasi. Desah semilir angin segar dan udara bersih belum menjadi teman baik sehari-hari untuk warganya.
Kembali ke studi Schafer, ia menegaskan, bentang suara memang tidak bisa semata dikontrol dari atas. Setiap bunyi dalam bentang suara urban amat berarti untuk menentukan identitas sebagai kota yang harmonis dalam berelasi dengan warganya sudah terwujud atau belum.
Ketika bunyi sumbang masih dominan, itu berarti publik sedang bersuara untuk menggugah pengelola kota agar bekerja lebih baik dalam mengaransemen dan memimpin konser akustik urban.
Baca juga : Catatan Urban