Mudik, Perayaan Migrasi Temporer Duta-duta Kota
Para pemudik adalah aktor atau agen yang menjadi duta budaya kota dengan sukarela. Tak sekadar ritual keagamaan, mudik adalah ajang orang kota menyebar kulturnya dan mempercepat urbanisasi.
Jalanan pagi yang mulai lengang di Jakarta dan kawasan sekitarnya pada akhir minggu ini menandai gelombang mudik sedang berlangsung. Diperkirakan sampai H-1 Idul Fitri, sebanyak 120 juta lebih warga Indonesia bergerak menuju daerah asalnya.
Niels Mulder, antropolog Belanda yang meneliti budaya Nusantara, memaknai mudik sebagai kegiatan migrasi yang lebih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa. Jakob Soemardjo yang mendalami arkeologi, sejarah, filsafat, dan sastra melihat mudik secara spesifik sebagai migrasi internal atau migrasi di dalam negeri yang bersifat temporer. Pulau Jawa menjadi sentralnya disertai arus balik, tetapi kultur serupa telah menular ke seluruh Indonesia.
Mudik, menurut Soemardjo, berarti munggah atau naik. Dalam konteks masa lalu, daerah asal selalu berasosiasi dengan kawasan pedalaman di hulu sungai. Perantau mencari penghidupan lebih baik pergi ke hilir di muara sungai atau pesisir yang biasanya jadi tempat perkembangan kota. Mudik pun selalu terkait orang kota dari hilir kembali ke tempat asalnya di hulu.
Dalam perkembangannya, mudik tak hanya karena kangen orangtua. Di perantauan, seseorang lebih banyak berhubungan dengan orang tak sedarah, sebatas pekerjaan, dengan tetangga pun tak terlalu erat berteman. Mudik menjawab keinginan menghidupkan memori masa kecil hingga remaja, merasakan kembali relasi sebagai anak, persaudaraan, dan kekeluargaan yang lebih besar. Identitas diri yang lain yang biasanya tertidur kala di perantauan.
Baca juga : Enam Belas Episode Pelajaran Hidup ”Drakor” Melepas Stres
Demi mencecap lagi identitas sebagai bagian dari keluarga besar, orang-orang yang sejatinya secara administrasi bukan lagi warga suatu daerah berbondong-bondong mudik. Mereka menularkan rasa itu kepada anak-anak yang lahir serta besar di kota dan negara berbeda. Untuk itu mereka rela menguras uang hasil tabungan, bermacet-macet, dan menanggung risiko lain untuk mudik.
Di sisi lain, rata-rata perantau ingin menunjukkan kesuksesannya agar tidak malu dengan keluarga besar. Secara sadar, mereka menyiapkan diri secara fisik, berpenampilan baru, dan membawa harta benda dibawa pulang.
Pada tahun 1980an-1990an, misalnya, pemudik biasa membawa serta televisi dan aki agar di desa mereka bisa menonton bersama orang-orang sekampung. Sekarang, pemudik pamer mobil dan sepeda motor pribadinya. Kalau perlu, sewa kendaraan agar mudik tetap berkelas.
Baju-baju terbaik dengan model terbaru disiapkan khusus. Tak lupa telepon pintar dengan fitur kamera andal untuk mengabadikan momen-momen istimewa. Oleh-oleh kekinian turut menjadi bawaan wajib, selain tunjangan hari raya atau THR untuk keluarga. Semua itu demi menunjang impresi positif individu di hadapan keluarganya.
Baca juga: Bentang Suara yang Membentuk Identitas Kota
Migrasi internal temporer serupa mudik di Indonesia juga ada di negara lain. Fenomena serupa ditemui di China setiap tahun baru tradisional setempat, juga di Amerika Serikat setiap Hari Pengucapan Syukur atau Thanksgiving Day.
Sangat sering, urbanisasi terutama merupakan hasil dari migrasi.
Pendorong urbanisasi
Ulasan dalam Urbanization and Migration menyebut, migrasi, baik internal maupun internasional, selalu menjadi salah satu kekuatan pendorong tumbuhnya urbanisasi dan membawa peluang dan tantangan bagi kota, migran, dan pemerintah.
Urbanisasi umumnya terjadi sebagai akibat dari satu atau lebih proses berikut, yaitu pertumbuhan populasi alami; ketika lebih banyak orang berpindah dari perdesaan ke perkotaan; ketika batas-batas yang dianggap perkotaan diperluas: dan/atau dari penciptaan pusat-pusat kota baru.
”Sangat sering, urbanisasi terutama merupakan hasil dari migrasi,” demikian kesimpulan di salah satu publikasi Organisasi Internasional tentang Migrasi (IOM) tahun 2015 lalu.
Berbagai jenis migrasi berperan dalam pertumbuhan dan keragaman perkotaan, tetapi pada tingkat yang berbeda. Di negara maju, salah satu sumber utama keanekaragaman populasi adalah migrasi internasional, sedangkan di negara berkembang kemungkinan besar adalah migrasi internal, selain pertumbuhan demografis melalui kelahiran melebihi jumlah kematian.
Di beberapa negara, migrasi desa-ke-kota dan reklasifikasi dari apa yang dianggap perkotaan menyumbang lebih dari separuh pertumbuhan perkotaan, seperti di China dan Thailand (80 persen), Rwanda (79 persen), Indonesia (68 persen), dan Namibia (59 persen). Migrasi melingkar dan sementara atau temporer ditemukan di banyak perkotaan di Asia dan Afrika yang mengalami urbanisasi cepat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti dikutip dari Forum Ekonomi Dunia (WEF), memperkirakan dalam dua dekade pertama abad ini jumlah migran internasional meningkat menjadi 3,6 persen dari populasi global mencapai 281 juta orang. Jika migrasi internal di tiap negara diperhitungkan, kira-kira sepertujuh penduduk dunia telah bermigrasi setidaknya sekali dalam hidup mereka.
Meminjam teori strukturasi dari sosiolog Anthony Giddens, para pemudik ini adalah aktor atau agen yang menjadi duta budaya kota dengan sukarela. Mereka rutin membagikan mimpi indah hidup di area urban nan maju kepada orang-orang di daerah asal. Mereka juga cenderung menutupi kebobrokan daerah perantauan karena dapat mencoreng cerita indahnya.
Baca juga: Kemacetan dan Jebakan Negara Berkembang
Ditambah kemajuan arus teknologi informasi, budaya kota makin santer diembuskan ke segala penjuru negeri. Copy-paste tampilan fisik kota terjadi di mana-mana. Mal tumbuh menjamur, bahkan di kota-kota kecil berpenduduk ratusan ribu jiwa. Fenomena urbanisasi berupa kawasan dari desa menjadi kota, kota kecil yang makin meraksasa, dan makin membengkaknya kota besar karena pertambahan penduduk akibat migrasi dijumpai merata di Indonesia.
Data migrasi
Agar kota dapat mengelola migrasi dengan lebih baik, data tentang migrasi dan urbanisasi sangat penting. Namun, data ini tidak selalu tersedia atau—jika tersedia—tidak digunakan atau dapat diakses di tingkat perkotaan, juga tidak terpilah, komprehensif atau dapat dibandingkan, seperti biasa terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah.
Situasi itu patut disayangkan karena data migrasi lengkap dapat meningkatkan perencanaan kota dan penyampaian layanan publik, serta membantu mengukur kemajuan menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terkait kota dan migrasi. Data itu memungkinkan pemerintah kota memenuhi dan mengantisipasi kebutuhan perumahan, layanan kesehatan, dan pendidikan para migran dengan lebih baik. Ini target Agenda Baru Perkotaan dan SDG 11, yaitu menjadikan kota dan permukiman inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
Sejauh ini, seperti terjadi di Indonesia, pemerintah pusat dan daerah menerima begitu saja kultur warisan ini serta mengamplifikasinya tanpa memberi acuan berarti. Menempatkan posisi mudik lebih dominan sebagai pemutar roda ekonomi nasional, berbagai pembangunan dikerahkan untuk memastikan budaya temporer ini dapat berlangsung dengan diikuti lebih banyak orang tiap tahun.
Baca juga: Kecamuk Amuk Kaum Muda Belia
Meskipun demikian, pembangunan yang dilakukan belum mampu menjawab kebutuhan migrasi temporer di tengah fenomena urbanisasi masif ini. Sejak berpuluh tahun terakhir, percepatan proyek angkutan umum antarkawasan berjalan lambat. Percepatan proyek jalan tol pembelah pulau pun baru digenjot kurang dari 10 tahun terakhir.
Akibatnya, seperti serba mendadak setiap masa mudik, kapasitas jalan dan angkutan umum tak selalu dapat menampung lonjakan pemudik. Rekayasa lalu lintas tak benar-benar dapat mengantisipasi kemacetan parah di tol dan jalan arteri. Pada 2016, karena kemacetan berjam-jam, kelelahan, sakit, dan kecelakaan, tercatat 17 orang meninggal di sekitar pintu Tol Transjawa di Kabupaten Brebes yang kemudian dikenal sebagai tragedi Brexit.
Pada masa selanjutnya, migrasi internal temporer seperti mudik Lebaran diyakini masih akan menjadi budaya yang terpelihara. Kebutuhan untuk hadir secara fisik di kampung halaman dengan berbagai alasan menyebabkan budaya mudik tak tergantikan kemajuan teknologi.
Semua pihak perlu bersiap agar dampak mudik dari sisi pembangunan infrastruktur publik kian terukur dan terencana. Di sisi lain, fenomena urbanisasi sehat perlu dijaga dengan pembangunan kota berorientasi pelayanan publik agar tidak memperlebar potensi terjadinya bencana perkotaan.
Baca juga: Catatan Urban