Mengantisipasi Dinamika Keamanan di Sekitar ASEAN
Peningkatan kerja sama pertahanan AS-Filipina mengandung ancaman serius bagi stabilitas kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Ini harus diantisipasi lebih dini dengan memperkuat komitmen persatuan dan soliditas kawasan.
Dalam pertemuan Menteri Pertahanan Amerika Setikat Lloyd Austin bertemu Presiden Filipina Ferdinand ”Bongbong” Marcos Jr di Manila, Filipina, 2 Februari 2023, kedua negara bersepakat menempatkan empat pangkalan militer AS di Filipina. Bagi AS, keempat pangkalan militer tersebut merupakan lokasi-lokasi penting untuk memantau pergerakan China di Laut China Selatan dan sekitar Taiwan. (Kompas.com)
Sekilas memang tidak ada yang janggal dengan peningkatan kerja sama pertahanan ini. Lagipula, menempatan pangkalan militer AS di Filipina pernah terjadi juga pada era 1980-an ketika Filipina menjadi lokasi penempatan 15.000 tentara AS dan dua pangkalan militer AS terbesar di Asia, yaitu Pangkalan Clark dan Teluk Subic.
Namun, setelah Perang Dingin dan Perang Vietnam berakhir, dua pangkalan militer AS di Filipina tersebut dihentikan pada 1991 sesuai permintaan Pemerintah Filipina. AS pun merasa kehilangan urgensinya untuk menempatkan pasukan di wilayah tersebut.
Tetapi, kini, ketika persepsi ancaman AS atas kebangkitan China kian menguat, Filipina kembali menemukan urgensinya di mata AS. Sementara di sisi Filipina, kehadiran AS memberikan angin segar bagi rasa aman negara tersebut.
Baca juga: Akses Militer AS di Filipina Diperluas, Kawasan Utara Indonesia Kian Bergejolak
Baca juga: Implikasi Kesepakatan Filipina-AS
Tampaknya apa yang dipikirkan Ferdinand Marcos Jr kemungkinan tidak jauh berbeda dengan apa yang dipikirka ayahnya ketika dahulu menghadirkan AS di negaranya untuk mengamankan posisi politiknya, baik di dalam maupun di luar negeri. Di tambah lagi, kebangkitan China telah menimbulkan kekhawatiran di kawasan sekitar Filipina sehingga menghadirkan persepsi ancaman yang cukup serius bagi Filipina. Terutama sejak 2014, ketika China membangun 10 pangkalan di pulau buatan, termasuk satu di Mischief Reef, di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina. Pada konteks ini, meningkatan kerja sama pertahanan Filipina-AS bisa dipahami.
Hanya saja, apabila ditinjau dari perspektif yang lebih luas, peningkatan kerja sama pertahanan Filipina-AS sebenarnya mengandung ancaman serius bagi stabilitas kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Sebab, saat ini kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara sedang dihantui ancaman perang di Taiwan sebagai manifestasi persaingan AS-China (war by proxy).
Tensi ketegangan ini memanas pada 2022 setelah China menggelar latihan militer besar-besaran di sekitar Taiwan pasca kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taipei. Dalam dinamika pesaingan yang kian keras dengan China beberapa tahun terakhir, peningkatan kerja sama pertahanan dengan Filipina ini menggenapi persiapan AS untuk menghadapi kemungkinan terburuk dari eskalasi yang ada.
Apabila kita metaforakan, dengan adanya kesepakatan ini, Washington berhasil membangun untaian benteng pertahanan pasifik yang membentang dari Korea Selatan dan Jepang di utara hingga Australia di selatan. Dalam hal ini, Filipina menjadi mata rantai terakhir dan paling strategis karena berbatasan langsung dengan dua titik potensi konflik, yaitu Taiwan dan Laut China Selatan.
Maka, sangat wajar apabila sejumlah pengamat khawatir dengan perningkatan kerja sama pertahanan antara Filipina-AS tersebut. Di tambah lagi—sebagaimana disebutkan dalam ”The Military Balance 2023”—perang Rusia-Ukraina telah menjadi faktor katalis yang menambah komplikasi kepada lingkungan keamanan yang sudah memburuk di Asia. Hal ini bisa dilihat secara statistik, yakni dalam beberapa tahun terakhir, hampir semua negara yang bersinggungan langsung dengan kawasan Laut China Selatan secara signifikan meningkatkan kapasitas persenjataannya dengan persiapan untuk menghadapi kemungkinan terburuk, termasuk perang.
Lebih jauh, apabila kita kaitkan peningkatan kerja sama militer AS-Filipina tersebut, sebenarnya memiliki dinamika yang serupa dengan prakondisi sebelum pecahnya perang Rusia-Ukraina. Benih invasi Rusia atas Ukraina pada 24 Februari 2022 tertanam sejak 2008. Butuh 14 tahun bagi benih itu menjadi konflik nyata di sisi Eropa Timur.
Filipina menjadi mata rantai terakhir dan paling strategis karena berbatasan langsung dengan dua titik potensi konflik, yaitu Taiwan dan Laut China Selatan.
Benih itu tidak lain adalah ketidaksukaan negara berkekuatan adidaya, Rusia, saat halaman belakangnya (backyard) didekati oleh pesaing geopolitik, AS (NATO). Rencana perluasan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ke Ukraina menjadi pemantik perang Rusia-Ukraina yang terus berlangsung hingga kini.
Pakar geopolitik dari University of Chicago, John Mearsheimer, sebagaimana dikutip dalam tajuk rencana harian Kompas, 4 Februari 2023, menuturkan teorinya yang tertuang dalam buku The Tragedy of Great power Politics terbitan 2001 bahwa, ”Pemilik kekuatan geopolitik ingin memastikan halaman belakang atau kawasannya tak diusik”. Itu sebabnya langkah Filipina tak sepele karena bisa melibatkan ASEAN kelak, seperti krisis Ukraina yang mengimbas ke Eropa. (kompas.id)
Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan negara-negara ASEAN—khususnya Indonesia yang tahun ini menjabat Keketuaan ASEAN 2023—dalam mengantisipasi dan meredam dinamika ketegangan di Kawasan?
Tantangan keketuaan Indonesia di ASEAN
Mengutip Prof Evi Fitriani dalam paparannya di acara Executive Briefing ”Arti Strategis Keketuaan ASEAN 2023 bagi Indonesia” ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) di Gedung DPR, Jakarta, 20 Januari 2023, ada dua jenis tantangan yang harus dihadapi dalam keketuaan Indonesia di ASEAN 2023, yaitu tantangan internal dan eksternal.
Tantangan internal, antara lain, pertama, menegaskan relevansi ASEAN di mata dunia sebagai salah satu pemain kunci di kawasan Asia Tenggara. Kedua, menyelesaikan problem Myanmar yang terus berlarut—yang salah satunya—dianggap karena sistem kerja sama internal ASEAN tidak jelas karena tidak memiliki instrumen ”pemaksa”.
Ketiga, menegaskan sentralitas ASEAN (ASEAN Centrality) di percaturan geopolitik kawasan yang berlangsung panas dalam beberapa tahun terakhir serta melibatkan sejumlah negara adidaya global seperti AS dan China. Keempat, melanjutkan kesepakatan untuk membangun komunitas ASEAN (ASEAN Community).
Kelima, memperkuat kerja sama di bidang kesehatan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (MDG’s) sehingga Kawasan ini memiliki health resilience system yang kokoh. Keenam, mengingat kawasan ini merupakan satu ekosistem, maka diperlukan penguatan kerja sama di bidang lingkungan hidup dan energi. Ketujuh, bagaimana memperkuat soliditas negara-negara anggota ASEAN dalam tantangan keamanan non-tradisional.
Baca juga: Menjaga Marwah ASEAN
Adapun tantangan eksternal yang baik secara potensial maupun aktual pasti memengaruhi dinamika kawasan Asia Tenggara, antara lain, konflik Laut China Selatan, persaingan AS-China, konflik di Selat Taiwan, konflik di Semenanjung Korea, perang Ukraina, perubahan iklim, krisis keuangan global, serta krisis energi dan pangan.
Dari berbagai peta tantangan yang akan dihadapi Indonesia dalam masa keketuaannya di ASEAN pada 2023 di atas, kita bisa membaca ada dua masalah serius yang dihadapi ASEAN. Pertama, dinamika ketegangan yang demikian berbahaya di luar. Kedua, di sisi internal, ASEAN memiliki kelemahan yang cukup serius dalam hal integritas dan soliditas keanggotaannya.
Khususnya terkait masalah internal ASEAN, sebenarnya inilah yang kerap menjadi kritik para pemikir hubungan internasional. Sejak awal kelahirannya pada 1967, ASEAN bukanlah sebuah organisasi internasional yang memenuhi standar kaidah umum keorganisasian, apalagi sebagai basis kerja sama keamanan kawasan. Tetapi, melalui asosiasi ini, founding fathers ASEAN berusaha menciptakan stabilitas keamanan melalui kerja sama non-politik dengan tujuan menjadikan Asia Tenggara sebagai zone of peace, freedom, and neutrality.
Uniknya, tujuan tersebut justru berbasis kepada prinsip non-intervensi yang mengatur negara anggota untuk tidak ikut campur dalam kondisi domestik negara lain. Padahal, apabila dinilai dari konteksnya 56 tahun lalu, ASEAN berdiri di tengah kecamuk Perang Dingin antara dua adidaya dunia, AS dan Uni Soviet.
Ketika itu, kawasan Asia Tenggara, khususnya Indochina (sekarang Vietnam, Kamboja, dan Laos), menjadi teater Perang Dingin paling kolosal yang menelan ribuan korban jiwa. Oleh karena itu, wajar apabila skema kerja sama ASEAN tersebut kerap menuai kritik dari para pemangku kebijakan dan juga ilmuwan hubungan internasional sebab tidak menyediakan instrumen intervensi dan vonis yang menjadi ciri umum organisasi kerja sama keamanan dunia.
Meski demikian, siapa yang menyangka, setelah 56 tahun berlalu, Asosiasi Negara-negara Kawasan Asia Tenggara ini masih tetap eksis. Keanggotaannya pun sudah berkembang menjadi 11 negara (apabila Timor Leste ditetapkan sebagai anggota pada tahun ini), dengan mitra dialog yang begitu luas. Hampir semua pemangku kepentingan global saat ini membina hubungan baik dan menguntungkan dengan ASEAN, mulai dari AS, Rusia, China, hingga Uni Eropa.
Dan banyak yang tidak memperhatikan bahwa dari sekian banyak kawasan di dunia, hanya kawasan Asia Tenggara yang dalam 56 tahun terakhir tetap stabil dan menjadi ”ekosistem perdamaian” paling kondusif. Bukan saja perdamaian yang dinikmati oleh 10 negara anggotanya, melainkan juga dinikmati oleh hampir separuh penduduk dunia yang tinggal di wilayah sekitar Asia Tenggara.
Apabila kita menilai secara obyektif, stabilitas kawasan Asia Tenggara yang dirasakan dalam 56 tahun terakhir bisa terwujud karena memang tidak ada interupsi dari eksternal.
Di atas rezim perdamaian inilah, lebih dari 50 persen komoditas perdagangan global bergerak dengan nyaman dan aman di jalur lalu lintas antar benua. Dan di atas rezim yang samalah, miliaran manusia bisa menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan pasca Perang Dingin.
Sulit dimungkiri bahwa sejumlah pencapaian di atas adalah hal-hal yang membuat para kepala negara anggota ASEAN tetap optimistis dan kukuh dengan tradisi kerja sama yang diawariskan founding fathers ASEAN.
Meski demikian, zaman telah berganti. Terbukti bahwa mekanisme kerja sama ASEAN selama ini tidak mampu menghentikan krisis Rohinya di Myanmar. Sejak terakhir meletus pada 2017, dunia menunggu langkah nyata ASEAN dalam meredam krisis politik dan keamanan di Myanmar. Tetapi alih-alih selesai, krisis tersebut terus bereskalasi dengan menyisakan masalah kemanusiaan yang bertumpuk-tumpuk.
Lebih jauh, apabila kita menilai secara obyektif, stabilitas kawasan Asia Tenggara yang dirasakan dalam 56 tahun terakhir bisa terwujud karena memang tidak ada interupsi dari eksternal. Alih-alih, masyarakat internasional justru turut andil dalam menjaga stabilitas kawasan ini selama lebih dari lima dekade terakhir.
Pertanyaanya, apakah stabilitas itu akan tetap langgeng ketika China tetap mempertahankan klaimnya atas ”Sembilan Garis Khayal” (Nine Dot Line) di Laut China Selatan—meski secara hukum mereka sudah kalah di Mahkamah Internasional? Lalu, apakah kawasan Asia Tenggara akan tetap abadi sebagai zone of peace, freedom, and neutrality, ketika salah satu anggotanya (Filipina) dan mitra terdekat ASEAN (AS) secara sepihak meningkatkan kerja sama pertahanan untuk mempersiapkan formasi perang besar?
Belum lagi, apabila kita menambahkan variabel ancaman eksistensial lainnya di selatan Indonesia, di mana AS juga memiliki Pakta Pertanan dengan Australia dan Selandia Baru (Australia, New Zealand, United States Security Treaty/ANZUS atau Pakta ANZUS), serta telah menggandakannya dengan aliansi trilateral AUKUS (Australia, United Kingdom and United States).
Baca juga: Modalitas Indonesia Kuat untuk Kelola Isu Kawasan
Dari perkembangan dinamika keamanan yang ada, sekilas saja kita bisa mengimajinasikan sebuah formasi perang besar sedang tersusun mengelilingi kawasan ini. Apabila tidak diantisipasi lebih dini memperkuat komitmen persatuan dan soliditas kawasan, alih-alih menjadi zone of peace, freedom, and neutrality, kawasan ini (mudah-mudahan tidak pernah terjadi) sangat mungkin berubah menjadi battle zone and the biggest humanitarian tragedy.
Memang benar, dengan skema kerja sama politik dan keamanan yang sekarang ada, ASEAN berhasil melalui huru-hara Perang Dingin. Tetapi, sebagaimana dikatakan Sun Tzu dalam The Art of War, ”And as water has no constant form there are in war no constant condition”, apakah kita tetap berharap hasil yang sama dari fundamental kerja sama ini, ketika wajah ancaman perang sama sekali berbeda? Wallahualam bi Sawab.
Wim Tohari Daniealdi, Dosen di Jurusan Hubungan Internasional Unikom, Bandung