Lambannya ASEAN dan Myanmar mengimplementasikan lima butir konsensus KTT di Jakarta mendesak diperlukannya langkah bersama. Peran Indonesia dan komitmen kolektif diperlukan.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·5 menit baca
Mengikuti kabar terkini tentang Myanmar membuat hati berdesir. Setidaknya ada dua hal utama yang menyedot perhatian dan energi. Pertama, kekerasan yang terus berlanjut, bahkan semakin masif, dan kedua keengganan junta militer mengimplementasikan kelima butir konsensus yang telah disepakati bersama dengan ASEAN.
Kelima butir kesepakatan itu adalah, pertama, menghentikan segera kekerasan dan semua pihak menahan diri. Kedua, dimulainya dialog konstruktif di antara semua pihak terkait guna mencari solusi damai untuk kepentingan rakyat. Ketiga, utusan khusus dari Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi dengan dibantu Sekretaris Jenderal ASEAN. Keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan pada Penanggulangan Bencana. Kelima, utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait (Kompas.id, Jumat, 11/6/2021).
Sejak konsensus itu disepakati pada 24 April 2021 dalam pertemuan tingkat tinggi di Jakarta, hingga kini belum satu pun diwujudkan oleh junta. Bahkan, sebagaimana diberitakan The Irrawaddy, kekerasan oleh aparat keamanan Myanmar berlanjut dan memicu perlawanan warga sipil. Bersama sejumlah milisi etnis, warga melakukan serangan balik.
Kabar terbaru yang dirilis The Irrawaddy menyebutkan, dalam 49 hari terakhir, mulai dari 24 April hingga 11 Juni, sebanyak 165 tentara Myanmar tewas dan 123 lainnya terluka dalam baku tembak melawan anggota Perlawanan Sipil di Negara Bagian Chin. Dari kubu perlawanan, sekitar 30 orang tewas dan 45 lainnya terluka. Dalam sebuah pernyataan Angkatan Bersenjata Chinland, sebagaimana dikutip The Irrawaddy, sebanyak sembilan warga sipil tewas dan empat lainnya terluka. The Irrawaddy juga melaporkan adanya pembunuhan terhadap pejabat lokal yang ditunjuk junta.
Kekerasan kini telah melahirkan kekerasan baru, bahkan memicu kekhawatiran meletusnya perang saudara. Selain korban yang bertambah banyak, pengungsi akan mengalir ke negara-negara di kawasan. Tak heran jika Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet menunjukkan kekecewaannya atas sikap junta militer yang enggan mengimplementasikan lima butir konsensus ASEAN itu.
Ia pun mendorong agar upaya-upaya diplomasi diperluas untuk menekan junta Myanmar. Apalagi, sejumlah negara, seperti China, Jepang, dan sejumlah negara Barat, mendukung upaya ASEAN.
Dukungan tersebut adalah modal penting bagi ASEAN. Sebab, sejak konsensus itu dicapai, muncul keraguan tentang implementasinya. ASEAN tidak memiliki mekanisme untuk memastikan junta Myanmar mematuhi isi konsensus tersebut.
Apalagi, muncul kekecewaan pasca-pertemuan Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi dan Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Darussalam Erywan Pehin Yusof dengan pemimpin kudeta, Min Aung Hlain, Jumat (4/6/2021). Selain minim hasil, kunjungan itu juga dikritik sejumlah pihak, terutama oleh kelompok pro-demokrasi.
Dan, praktis hingga saat ini belum ada kemajuan berarti atas konsensus itu. Sebaliknya, junta tampak ”berada di atas angin” dan ”nyaman” dengan peta jalan yang mereka bangun sendiri, mengabaikan kelima butir konsensus ASEAN.
Peran Indonesia
Dalam situasi seperti itu, sejumlah pihak pun kembali mendesak inisiatif Indonesia untuk berperan lebih aktif. Harapan itu merujuk pada keberhasilan Indonesia ”melunakkan” sikap junta kala Topan Nargis menerjang Myanmar pada 2008. Awalnya isu bencana alam dan penyaluran bantuan di Myanmar hendak dibawa oleh sejumlah pihak ke dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB.
Namun, Indonesia yang kala itu menjadi anggota tidak tetap DK PBB tidak mau isu tersebut dipolitisasi. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa saat itu menegaskan, persoalan penyaluran bantuan bisa jadi bukan karena alasan politik, melainkan kompleks dan sulitnya situasi di lapangan.
Dalam isu banjirnya pengungsi Rohingya pada 2017, Indonesia juga mengambil sikap yang lebih terbuka. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyisihkan waktu untuk menjalin komunikasi dengan Daw Aung San Suu Kyi dan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina. Hasilnya, ada kesepakatan untuk memulai repatriasi.
Dua fakta sejarah tersebut menunjukkan bagaimana peran Indonesia penting dalam dinamika di dalam negeri Myanmar. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam persoalan terkini, banyak pihak juga berharap kepada Indonesia.
Kelambanan dan gagalnya kunjungan Sekjen ASEAN karena kurangnya konsultasi secara transparan dengan negara anggota ASEAN memantik perhatian peneliti senior CSIS, Lina Alexandra. Menurut dia, tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali, untuk Ketua ASEAN, segera menunjuk utusan khusus disertai dengan panduan yang rinci terkait mandat, otoritas, dan sumber daya (termasuk alokasi dana) untuk mendukung kinerja. ”Jika ini masih tidak dilaksanakan dalam satu minggu ke depan paling lambat, rasanya sangat sulit bagi ASEAN menunjukkan bahwa organisasi ini masih relevan di mata masyarakat Myanmar,” kata Lina.
Seiring itu, Lina berpendapat, Indonesia harus mulai mengeksplorasi alternatif cara di luar ASEAN untuk terlibat dengan Myanmar. ”Indonesia bisa, sekali lagi, mendesak Ketua ASEAN (Brunei Darussalam) untuk transparan dalam perumusan kerangka acuan untuk utusan khusus, termasuk pemilihan kandidat utusan khusus. Kemudian, Indonesia perlu menekankan bahwa ketua harus berkonsultasi dengan semua pihak, bukan hanya dengan Tatmadaw, terkait pemilihan utusan khusus ini,” kata Lina.
Jika hal itu belum kunjung terwujud, Indonesia, menurut Lina, perlu mengambil langkah untuk mengumumkan bahwa Indonesia akan mengambil langkah-langkah alternatif di luar ASEAN. ”Pilihan-pilihan itu bisa berupa coalition of the willing dengan sedikit negara ASEAN, seperti Malaysia dan Singapura, plus dengan negara mitra dialog ASEAN, seperti Jepang, Australia, dan Amerika Serikat. Indonesia juga bisa memperkuat kolaborasi dengan Uni Eropa dan PBB,” kata Lina.
Langkah itu diambil sembari mengintensifkan pendekatan dengan pihak Pemerintah Persatuan Nasional (NUG). Selain itu, satu hal yang juga perlu dijajaki adalah mendekati dan mendorong Kamboja sebagai Ketua ASEAN mendatang memulai peran ASEAN di Myanmar. ”Jika ternyata tidak terlalu positif responsnya, ini menguatkan bahwa RI perlu eksplorasi alternatif non-ASEAN,” kata Lina dengan menegaskan bahwa kesatuan atau soliditas ASEAN perlu dilihat dalam kerangka pencapaian tujuan yang lebih besar.
Ia mengapresiasi upaya Menlu Retno yang menunjukkan kerja keras dan komitmen sejak awal krisis di Myanmar terjadi.
Kolektif
Menanggapi harapan sejumlah pihak, Menlu Retno, Minggu (13/6), mengatakan, Indonesia akan berusaha maksimal untuk membantu agar krisis politik di Myanmar dapat segera diatasi.
”Namun, diperlukan komitmen kolektif, utamanya dari Tatmadaw, semua negara ASEAN, serta dari negara kunci di kawasan agar implementasi lima poin konsensus dapat segera dilakukan,” kata Retno.
Dalam komunikasi via aplikasi percakapan itu, Retno menegaskan pentingnya komitmen kolektif.
”Absennya komitmen kolektif dapat menjadikan situasi memburuk dan ancaman terhadap stabilitas keamanan kawasan semakin besar,” kata Retno. (Reuters)