Spiral kekerasan berlatar konflik Palestina-Israel tak ada habisnya. Langkah Israel memperluas permukiman di wilayah pendudukan menyuburkan kekerasan itu.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
AFP/JAAFAR ASHTIYEH
Seorang pria berjalan di dekat ban-ban yang dibakar dalam bentrokan antara warga Palestina dan Israel di Desa Deir Sharaf, dekat pintu masuk kota Nablus, wilayah pendudukan Tepi Barat, 20 Oktober 2022.
Kekerasan terbaru terjadi sepanjang Rabu dan Kamis (22-23/2/2023). Aparat keamanan Israel menyerbu apartemen di kota Nablus, wilayah pendudukan Tepi Barat, menewaskan 11 warga Palestina dan melukai lebih dari 100 orang. Media Israel, Times of Israel, mengutip Kementerian Kesehatan Otoritas Palestina, memberitakan, 3 dari 11 korban itu berusia lanjut, yakni 61 tahun, 66 tahun, dan 72 tahun, serta remaja pria usia 16 tahun.
Militer Israel beralasan, mereka menyerbu apartemen itu untuk menangkap seorang anggota perlawanan Palestina, Areen al-Ossoud (Sarang Singa), yang dituduh membunuh seorang sersan militer Israel. Namun, seperti dalam operasi sebelumnya, termasuk di Kamp Jenin, yang menewaskan 11 pengungsi Palestina, warga sipil selalu menjadi korban.
Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa, serbuan Israel ke Nablus itu memakan korban warga Palestina terbesar dalam satu operasi di Tepi Barat sejak 2005. Pada dua bulan pertama tahun ini, ada 65 orang Palestina, termasuk 13 anak, tewas. Dari jumlah korban dua bulan pertama, awal tahun ini yang paling mematikan dalam kurun dua bulan sejak 2000.
AP PHOTO/MAJDI MOHAMMED
Sejumlah warga Palestina mempertahankan diri dari serbuan militer Israel di Nablus, Tepi Barat, Rabu (22/2/2023), ketika militer Israel mengepung sebuah bangunan untuk menangkap sejumlah tersangka pembunuhan anggota militer israel.
Di pihak Israel, dalam dua bulan pertama ini, seperti dicatat AFP, sembilan warga sipil, termasuk tiga anak-anak, seorang polisi, dan seorang warga sipil Ukraina, tewas. ”Saat ini situasinya paling mudah terbakar dibandingkan tahun sebelumnya,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, seraya menyebut operasi Israel ”sangat memprihatinkan”.
Kekerasan bukan hanya dilakukan aparat negara. Warga pun pelaku kekerasan dalam latar konflik Palestina-Israel. Sehari setelah serbuan Israel ke Nablus, Jumat (24/2/2023) dini hari, sekelompok pendatang Israel menembaki warga Palestina di Desa Qusra, dekat Nablus, melukai dua warga Palestina.
Situasinya benar-benar mengkhawatirkan. Gelombang serangan pendatang Israel (settler), yang merebut dan menduduki paksa tanah Palestina, terhadap warga Palestina terus meningkat. Aksi mereka umumnya dilindungi militer Israel. PBB mencatat, terjadi lebih dari 820 serangan pendatang Israel kepada warga Palestina di Tepi Barat pada tahun lalu. Jumlahnya meningkat dari 496 kali serangan tahun 2021.
AP PHOTO/ODED BALILTY
Foto dari udara atas permukiman Yahudi, Mitzpe Yeriho, di wilayah pendudukan Tepi Barat, 26 Januari 2020.
Akhir Januari lalu, warga Jerusalem Timur menembak tewas tujuh orang yang baru keluar dari sinagoge di Jerusalem Timur. Media Palestina menyebut, lokasi penembakan itu berada di area permukiman ilegal yang dibangun di atas tanah Palestina di Desa Beit Hanina. Menurut Guterres, langkah Israel terus memperluas permukiman di wilayah pendudukan menjadi bara yang menebar keputusasaan dan kemarahan.
Di bawah pemerintahan sayap kanan pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sejak akhir Desember 2022, Israel semakin membabi buta memperluas permukiman ilegal itu. Kamis (23/2/2023), mereka menyetujui pembangunan lebih dari 7.000 rumah untuk pendatang Israel di Tepi Barat.
Selama pembangunan permukiman baru Israel di wilayah pendudukan tak dihentikan, niscaya mustahil memutus spiral kekerasan antara Palestina dan Israel.