Pemerintah Israel mencabut kartu perjalanan VIP Menlu Palestina Riad Maliki dan sejumlah pejabat senior Palestina setelah Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB bersikap tegas terhadapnya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Ramallah, Senin — Pemerintahan sayap kanan Israel terus menekan pemerintah dan rakyat Palestina. Tindakan terbaru yang dilakukan adalah mencabut izin perjalanan VIP Menteri Luar Negeri Palestina Riad Maliki dan melarang bendera Palestina berkibar di ruang-ruang publik.
Tidak hanya menekan simbol-simbol yang dianggap memiliki nuansa politik, pemerintah Israel juga melarang pertemuan orang tua warga Palestina yang tengah membahas masalah pendidikan anak-anaknya.
Dalam pernyataannya, Minggu (8/1/2023), Maliki mengatakan, dirinya mengetahui bahwa izin khusus untuk melewati pos pemeriksaan dicabut ketika baru saja kembali dari menghadiri pelantikan Presiden Brasil Lula da Silva. Kartu perjalanan VIP Maliki disita ketika menyeberang dari Yordania dan masuk kembali ke wilayah Tepi Barat.
Seorang juru bicara Kementerian Pertahanan Israel, yang mengelola Tepi Barat, mengkonfirmasi langkah tersebut, menyebutnya sebagai bagian dari implementasi keputusan pemerintah pada hari Jumat.
Pencabutan kartu perjalanan VIP Maliki menyusul pencabutan kartu perjalanan tiga pejabat Palestina lainnya, yaitu Mahmud al-Alul, Azzam al-Ahmad dan Rawhi Fattouh. Kartu perjalanan ketiganya dicabut setelah mereka menghadiri perayaan bebasnya Karim Yunis di Ara, Israel utara. Karim Yunis dibebaskan setelah menjalani penjara 40 tahun karena membunuh seorang tentara Israel.
"Ketiga pria itu memanfaatkan status mereka dan memasuki Israel pagi ini (Sabtu) untuk melakukan perjalanan ke rumah teroris Karim Yunis," kata kantor Menteri Pertahanan Yoav Galant.
Dalam pidato yang disiarkan televisi, Minggu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut tindakan itu diambil setelah Otoritas Palestina mendorong resolusi anti-Israel di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Beberapa pekan terakhir, pemerintahan ultranasionalis Israel mendapat tekanan dari dunia internasional di PBB. Pada akhir Desember 2022, Majelis Umum PBB mengeluarkan sebuah resolusi yang isinya meminta fatwa Pengadilan Pidana Internasional soal konsekuensi hukum pendudukan Israel terhadap Palestina dan dampak fatwa itu nantinya terhadap anggota PBB.
ICJ juga diminta memberi fatwa atas dampak hukum atas pendudukan, pembuatan permukiman ilegal oleh Israel di Tepi Barat dan Jerusalem Timur. ICJ juga dimintai fatwa atas kebijakan Israel yang berusaha mengubah komposisi kependudukan, status, dan penanda khusus kota suci Jerusalem. ICJ diminta pula pendapat atas penerapan keputusan diskriminatif yang dibuat Israel. (Kompas.id, 31 Desember 2022)
Tekanan terhadap pemerintahan Netanyahu dari PBB datang kembali setelah Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir mengunjungi kompleks Mesjid Al Aqsa. Dunia bereaksi terhadap promotor utama perubahan status-quo pengelolaan Mesjid Al Aqsa.
Atas permintaan Uni Emirat Arab dan China, DK PBB bersidang membahas kunjungan yang dinilai akan memprovokasi konflik terbuka baru, tidak hanya antara Palestina dan Israel akan tetapi hingga ke kawasan. AS, seperti China dan UEA, menyatakan, tindakan Ben-Gvir tidak bisa diterima dan meminta pemerintah Israel mematuhi status-quo.(Kompas.id, 6 Januari 2023)
Warga Palestina mengutuk pencabutan izin Maliki. Mereka menilai, pemerintah Israellah yang seharusnya menjadi terhukum karena mereka banyak melakukan pelanggaran hukum internasional. Dengan pencabutan kartu perjalanan VIP, Maliki harus menjalani pemeriksaan di pos-pos perbatasan seperti layaknya warga Palestina biasa ketika menyeberang dari Tepi Barat ke Yordania.
"Menteri luar negeri akan melanjutkan pekerjaannya dan kegiatan diplomatiknya dengan atau tanpa kartu itu," kata Ahmed Al-Deek, seorang pembantu Maliki, kepada Reuters.
Pelarangan Bendera Palestina
Tekanan tidak hanya dijatuhkan Israel ada para pejabat politik Palestina, tapi juga warga biasa. Sabtu akhir pekan lalu, polisi yang berada di bawah kendali Kementerian Keamanan Nasional membubarkan pertemuan orang tua dan guru karena dinilai melanggar hukum Israel.
Polisi Israel menuding pertemuan orang tua murid dan guru itu didanai oleh otoritas Palestina dan juga hadiri oleh individual yang terlibat dalam pemerintahan. Pembubaran itu sendiri diperintahkan langsung oleh Ben-Gvir. Polisi tidak bisa menunjukkan klaim mereka saat diminta oleh para orang tua yang hadir dalam pertemuan itu.
Ziad Shamali, ketua Persatuan Komite Orang Tua Siswa di Yerusalem, yang mengadakan pertemuan tersebut, membantah adanya keterlibatan Otoritas Palestina (PA), dengan mengatakan pertemuan itu diadakan untuk membahas kekurangan guru di sekolah-sekolah Yerusalem timur. Dia mengatakan dia memandang klaim hubungan PA sebagai "dalih politik untuk melarang" pertemuan itu.
Tekanan dari Ben-Gvir untuk mengebiri hak-hak warga Palestina berlanjut dengan menginstruksikan polisi untuk menurunkan bendera-bendera Palestina dari ruang publik. Ben-Gvir, dalam sebuah pernyataan, mengatakan bahwa pengibaran bendera Palestina adalah tindakan mendukung terorisme.
"Tidak mungkin pelanggar hukum mengibarkan bendera teroris, menghasut dan mendorong terorisme. Jadi, saya memerintahkan pencabutan bendera yang mendukung terorisme dari ruang publik dan menghentikan hasutan terhadap Israel," kata Ben-Gvir.
Hukum Israel tidak melarang bendera Palestina tetapi polisi dan tentara memiliki hak untuk mencopotnya jika mereka menganggap ada ancaman terhadap ketertiban umum. (AP/AFP/Reuters)