Gerakan Antikorupsi Tanpa KPK
Menempatkan KPK sebagai setunggal lokomotif gerakan antikorupsi keliru besar dan berbahaya. Untuk menghela gerakan antikorupsi, dibutuhkan lima lokomotif, yaitu pemilu, peradilan, parpol, media, dan gerakan sosial.
Begitu tahu revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disahkan, lalu pemerintah tak kunjung menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang KPK plus tersingkirnya Novel Baswedan dan kawan-kawan, sejumlah aktivis antikorupsi dan akademisi mewacanakan isu sangat strategits: bagaimana mengembangkan gerakan antikorupsi tanpa KPK.
Segera disadari, pertama, menganggap dan menempatkan KPK sebagai setunggal lokomotif gerakan antikorupsi keliru besar dan berbahaya. Setunggal lokomotif akan lebih mudah dibajak dan dikooptasi lalu dijadikan alat kekuasaan untuk melumpuhkan lawan/pesaing politik dan/atau melindungi orang/pihak tertentu.
Kedua, kepercayaan publik kepada KPK sebagai lokomotif gerakan antikorupsi terus menurun. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan bahwa pada April 2021 kepercayaan publik kepada KPK masih 70,9 persen dan kini—hasil survei Juni 2022—tinggal 57 persen. Kalau tren penurunan itu terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan KPK akan berubah menjadi beban (liability) ketimbang sebagai asset.
Baca juga: Jajak Pendapat "Kompas": 48,2 Persen Publik Tak Puas dengan Kinerja KPK
Dalam beberapa bulan ke depan, kita amati saja manuver apa saja yang akan dilakukan pimpinan KPK terkait dugaan korupsi balap mobil Formula E misalnya, skandal buron Harun Masiku, atau dugaan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme kerabat menteri dalam kegiatan investasi BUMN telekomunikasi kepada perusahaan swasta GT dengan nilai triliunan rupiah.
Meski postur gerakan antikorupsi tanpa KPK belum jelas betul, dalam bayangan saya untuk menghela gerakan antikorupsi ke depan sekurangnya dibutuhkan lima lokomotif. Jumlah itu sesuai dengan banyaknya pranata sosial yang mempengaruhi—kalau tidak menentukan—magnitudo dan prevalensi korupsi di suatu negara demokrasi liberal.
Lima lokomotif
Kelima pranata sosial tersebut adalah pergantian pemerintah secara tertib dan teratur melalui pemilihan umum (pemilu); institusi peradilan yang bebas dan independen; partai oposisi yang kuat dan efektif; institusi media yang bebas dan mandiri; dan gerakan sosial yang kuat, efektif, dan berkelanjutan. Mustahil KPK sendirian menjadi lokomotif dan dirigen bagi semua pranata antikorupsi tersebut dalam mengorkestrasi aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi di Tanah Air, ditambah lagi dengan kompleksitas korupsi lintas batas.
Pentingnya pemilu bagi gerakan antikorupsi itu, pertama, membatasi durasi dan periodisasi kekuasaan eksekutif sehingga kemungkinan korupsi tumbuh sistematik dan gigantik diminimalkan. Kedua, mendorong partai politik berkompetisi sehingga dari kompetesi itu melahirkan pemimpin baru dengan tata kelola pemerintahan baru yang lebih antikoruptif. Tetapi bisa saja dari satu pemilu yang kompetitif pun muncul rezim pemerintahan baru yang justru lebih koruptif.
Mustahil KPK sendirian menjadi lokomotif dan dirigen bagi semua pranata antikorupsi tersebut dalam mengorkestrasi aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Di situlah tantangannya bagaimana lokomotif antikorupsi dalam ranah ini bisa menjamin dan memastikan sistem pemilu bisa melahirkan rezim pemerintahan yang efektif dan bebas korupsi. Platform Kawal Pemilu yang diinisiasi dan digawangi Ainun Nadjib, misalnya, bisa dinominasikan jadi salah satu lembaga yang potensial menjadi lokomotif gerakan antikorupsi di ranah pemilu ini.
Kawal Pemilu bisa bermitra dan bersinergi menjadi satu lokomotif dengan organisasi lain dengan agenda di antaranya terus memperbaiki dan menyempurnakan desain pemilu dan tata kelolanya, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas parpol dan pengelolaan keuangannya, menekan biaya pemilu, mendekatkan wakil rakyat dengan konstituen di setiap daerah pemilihan, mencerdaskan pemilih, dan lain-lain
Kejagung sebagai lokomotif baru
Berbeda dengan KPK, hasil survei Indikator Politik menunjukkan kepercayaan publik kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) justru menguat. Sekarang publik lebih percaya pada Kejagung ketimbang KPK dan kepolisian.
Mempertimbangkan prestasi dan kinerjanya, tampaknya Kejagung berpotensi menjadi lokomotif baru gerakan antikorupsi, khususnya dalam bidang penindakan. Baru-baru ini, mereka sukses menangkap Surya Darmadi alias Apeng, bos PT Duta Palma Grup. Sebelumnya juga lancar dan sukses mengungkap berbagai skandal korupsi di PT Krakatau Steel, di PT Garuda, di perusahaan asuransi PT Jiwasraya dan PT Bumi Putera, dan lain-lain.
Dalam pengungkapan kasus korupsi Apeng, Kejagung juga progresif dalam menafsirkan dan menghitung kerugian keuangan negara. Pemidanaan korporasi juga dilakukan dengan hati-hati (prudent) untuk memastikan penegakan hukum yang dilakukan tidak mengganggu iklim invetasi/bisnis dan pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Pesan Pemberantasan Korupsi
Tantangan bagi Kejagung paling tidak ada tiga. Pertama, mengamplifikasi prestasi, kinerja, progresivitas, dan kecakapan tersebut ke kejaksaaan tinggi dan kejaksaaan negeri di provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, meningkatkan integritas institusi dengan memberantas judicial corruption–di antaranya jual beli perkara—di seluruh tubuh kejaksaaan. Ketiga, melanggengkan prestasi, kinerja, dan progresivitas itu melampaui batas-batas administrasi periode kepresidenan.
Supaya parpol bisa menjadi lokomotif gerakan antikorupsi yang kuat, efektif, dan stabil, ia harus menjadi partai oposisi. Tampaknya ini paling sulit, parpol di sini cenderung lebih suka berkoalisi dengan pemerintah pemenang pemilu ketimbang menjadi oposan. Bagaimanapun bergabung dengan pemerintah yang berkuasa jauh lebih lukratif.
Meski sulit, bukan berarti tidak bisa. Dahulu PDI-P selama dua periode Presiden SBY menjadi oposisi yang kuat dan efektif, termasuk yang paling nyaring menolak revisi Undang-Undang KPK, meski setelah berkuasa berbalik arah menjadi promotor yang paling getol ingin mengamputasi KPK yang diamini oleh semua parpol. Dari pengalaman ini kelihatannya parpol sulit diharapkan bisa jadi lokomotif gerakan antikorupsi. Mungkinkah Pemilu 2024 menghasilkan parpol baru—yang lolos ambang batas perlemen—yang bersedia mengambil posisi sebagai oposisi?
Beberapa media cetak dan audiovisual nasional yang bebas dan mandiri plus asosisi jurnalisnya sangat berpotensi menjadi lokomotif gerakan antikorupsi.
Dari komunitas institusi media harus ada yang bisa menjadi lokomotif gerakan antikorupsi. Tantangan dan tugasnya, antara lain, pertama, mengembangkan dan melembagakan jurnalisme investigatif untuk membongkar dan kemudian memublikasikan perilaku koruptif pejabat negara/publik sehingga bisa jadi input bagi aparat penegak hukum untuk penindakan. Kedua, ambil bagian penting dalam proses dekonstruksi dan rekonstruksi nilai-nilai yang cocok bagi gerakan antikorupsi. Ketiga, memperkuat wacana gerakan antikorupsi. Keempat, memperkuat dan memperluas akses publik pada informasi publik.
Dalam hal dekontruksi dan rekonstruksi nilai-nilai antikorupsi misalnya, media bisa mentranformasikan masyarakat yang semula konsumtif dan permisif terhadap korupsi bisa menjadi masyarakat yang suka dengan pola hidup sederhana dan antikorupsi. Beberapa media cetak dan audiovisual nasional yang bebas dan mandiri plus asosisi jurnalisnya sangat berpotensi menjadi lokomotif gerakan antikorupsi.
Lokomotif dan lanskap sosial politik
Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparansi Internasional Indonesia (TI-I), Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Maki), dan organisasi masyarakat sipil yang lain termasuk asosiasi profesi potensial menjadi lokomotif untuk mendorong gerakan sosial antikorupsi yang kuat, efektif, dan berkelanjutan.
Tiga tantangan utamanya adalah pertama, bagaimana memperkuat partisipasi dan kontrol publik (warga aktif, mahasiswa, aktivis, perempuan) dalam proses politik/kebijakan dan pengelolaan sumber daya publik. Kedua, mendorong dan memperkuat tata kelola pemerintahan (termasuk pengelolaan anggaran dan penyediaan layanan publik) yang partisipatif, transparan, akuntabel, dan patuh pada hukum yang baik. Ketiga, mengamplifikasi kedua menu gerakan tersebut ke daerah-daerah, termasuk kawasan miskin dan terpencil.
Selain kelima lokomotif tersebut, sebenarnya komunitas bisnis (BUMN/BUMD, perusahaan swasta besar, usaha menengah kecil dan mikro/koperasi) bisa memberikan kontribusi satu lokomotif lagi. Tantangan dan tugas utamanya adalah bagaimana mengembangkan tata kelola bisnis dan tata kelola korporasi yang baik, termasuk di antaranya mengembangkan manajamen antikorupsi (suap). Asosiasi bisnis/pebisnis sudah ada dan banyak berdiri dari pusat sampai daerah, tetapi masih perlu diidentifikasi dan dipetakan lebih lanjut adakah organisasi bisnis/pebisnis yang berpotensi menjadi lokomotif gerakan antikorupsi.
Baca juga: Orkestrasi Gerakan Antikorupsi
Dalam kasus matinya sistem informasi kepabeanan dan cukai (Custom-Excise Information System and Automation/CEISA) selama dua minggu yang menimbulkan kerugian ratusan miliaran rupiah, para eksportir/importir cukup lantang menggugat akuntabilitas Dirjen Bea dan Cukai atas kejadian tersebut. Mungkin asosiasi ekportir/importir bisa jadi salah satu kandidat lokomotif dalam gerakan antikorupsi dari ranah bisnis.
Apakah perlu menunggu sampai lengkap semua lokomotif itu untuk memulai sebuah gerakan antikorupsi? Tidak juga. Dengan satu-dua lokomotif—dalam lanskap dan konstelasi politik yang ada sekarang ini—gerakan sudah bisa dimulai. Pemilu 2024 mungkin akan menghasilkan lanskap dan konstelasi politik baru yang lebih baik sehingga semua lokomotif itu bebas bermanuver memberantas korupsi.
Dedi Haryadi, Ketua Beyond Anti Corruption