Selama enam tahun terakhir, regulasi sudah dibongkar pasang, tetapi RI tak kunjung memiliki cadangan pangan pemerintah (CPP) yang memadai. Menjaga CPP berupa beras saja masih kesulitan.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Upaya penguatan cadangan pangan pemerintah merupakan kisah klasik Indonesia. Kisah itu tak pernah sepenuhnya terwujud sejak era orde baru berakhir. Sekian regulasi untuk memperkuat cadangan pangan pemerintah muncul silih berganti. Namun, cadangan pangan pemerintah tak kunjung terealisasi. Bak macan ompong?
Pada 24 Oktober 2022, pemerintah resmi mengundangkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP). CPP merupakan persediaan pangan pokok tertentu yang dikuasai dan dikelola pemerintah.
Ada 11 komoditas pangan yang ditetapkan sebagai CPP dalam regulasi itu. Kesebelas komoditas itu adalah beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging ayam, telur ayam, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan. Pada tahap pertama pengadaan CPP, pemerintah akan fokus memperkuat stok beras, jagung, dan kedelai.
Sebenarnya, Perpres No 125/2022 muncul di waktu yang tepat. Waktu dimana Indonesia memang perlu membenahi tata kelola pangan di dalam negeri. Pada awal hingga medio 2022, Indonesia diguncang kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Belakangan ini, harga beras dan tahu-tempe juga terus merangkak naik.
Meski baru fokus pada beras, jagung, dan kedelai, ke depan, Perpres No 125/2022 itu bisa menjadi landasan pembenahan dan perkuatan CPP. Itupun kalau regulasi tersebut tak menjadi macam ompong seperti regulasi sebelumnya, yakni Perpres Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan kepada Perusahaan Umum (Perum) Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional.
Sekian regulasi memperkuat cadangan pangan pemerintah muncul silih berganti. Namun, cadangan pangan pemerintah tak kunjung terealisasi. Bak macan ompong?
Sebelas komoditas pangan yang harus dijaga ketersediaannya dalam Perpres 48/2016 sama persis dengan Perpres 125/2022. Bahkan kedua regulasi itu sama-sama menyebutkan pentingnya pengelolaan CPP.
Namun, selama sekitar enam tahun Perpres 48/2016 berlaku hingga Perpres 125/2022 muncul, pemerintah baru memiliki satu komoditas yang menjadi CPP, yakni beras. Cadangan beras pemerintah itu juga masih belum stabil, sehingga harga beras kerap bergejolak seperti yang terjadi beberapa bulan terakhir ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga beras pada tahun ini mulai merangkak naik sejak Agustus 2022. Harga beras pada waktu itu Rp 11.555 per kilogram (kg), kemudian naik menjadi Rp 11.720 per kg pada September 2022. Pada Oktober 2022, harganya kembali naik menjadi Rp 11.850 per kg dan mengalami inflasi sebesar 1,3 persen secara bulanan.
Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) menyebut, kenaikan harga beras itu justru terjadi di saat stok nasional cukup dan produksi beras sepanjang 2022 diperkirakan surplus. Per awal November 2022, stok beras nasional sebanyak 6,6 juta ton. Adapun hingga Desember 2022, surplus beras bisa mencapai 7,5 juta ton.
Kenaikan beras yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh persepsi pasar terhadap stok beras Bulog yang terbatas, yakni 697.000 ton per awal November 2022. Bulog setidaknya harus memiliki stok beras sebanyak 1,2 juta ton hingga 1,5 juta ton per tahun agar tidak memengaruhi harga beras di pasar.
Lalu kenapa selama ini Bulog kesulitan mewujudkan cadangan beras pemerintah, setidaknya selama enam tahun berlakunya Perpres 48/2016? Banyak faktor penyebabnya. Bulog tidak leluasa menyerap gabah dan beras apabila harganya di atas harga yang ditentukan pemerintah. Bulog juga pernah kesulitan menyalurkan stok beras ketika pemerintah menutup kanal penyaluran beras bagi masyarakat miskin (raskin) dan menggantinya menjadi bantuan pangan nontunai.
Adapun persoalan yang paling utama adalah masih lemahnya keberpihakan pemerintah mendanai Bulog untuk memperkuat cadangan pangan, terutama beras. Per akhir 2021, Bulog memiliki utang Rp 13 triliun terhadap sejumlah bank pelat merah. Pemerintah juga memiliki utang sekitar Rp 4,5 triliun kepada Bulog. Sebagian besar utang piutang itu terkait dengan pengadaan cadangan beras pemerintah.
Itu baru persoalan mewujudkan CPP khusus komoditas beras. Kini, Perpres 125/2022 kembali mengamanatkan agar Bulog memiliki CPP berupa beras, jagung, dan kedelai. Untuk merealisasikan ketiga komoditas CPP itu, Bulog akan ditemani badan usaha milik negara (BUMN) pangan lain di bawah komando NFA.
Baik dalam perpres baru maupun lama, pemerintah memberikan fleksibilitas harga pembelian komoditas pangan dalam jangka waktu tertentu di saat harga komoditas di tingkat produsen berada di atas harga acuan pembelian atau harga pembelian pemerintah. Pemerintah juga akan mengganti selisih harga itu dan memperbolehkan Bulog mendapatkan pinjaman secara komersial untuk membiayai penugasan tersebut.
Namun, pelaksanaan beragam penugasan Bulog, baik menyerap komoditas di dalam negeri maupun impor, tak seindah kata-kata yang tertuang dalam kedua regulasi yang nyaris sama itu. Di satu sisi, Bulog dituntut dapat mengembangkan lini bisnis atau komersial. Di sisi lain, Bulog memiliki fungsi sosial, yakni melindungi masyarakat dari krisis stok dan harga pangan.
Enam tahun sudah perpres lama bergulir, Indonesia masih tertatih-tatih menjaga stok dan harga pangan pokok, terutama mewujudkan CPP. Jangan sampai kisah regulasi pangan ompong itu terulang kembali di era Perpres 125/2022.
Untuk itu, keberpihakan fiskal pemerintah untuk lebih membesarkan sang penjaga stok pangan nasional tersebut sangat diperlukan. Enam tahun sudah perpres lama bergulir, Indonesia masih tertatih-tatih menjaga stok dan harga pangan pokok, terutama mewujudkan CPP.
Jangan sampai kisah regulasi pangan ompong itu terulang kembali di era Perpres 125/2022. Minimal, CPP komoditas beras, jagung, dan kedelai dapat direalisasikan. Semoga Perpres 125/2022 tak lagi menjadi kisah klasik pangan untuk masa depan.