Peran Bulog sebagai stabilitator dinilai belum berjalan dengan baik di tengah kenaikan harga. Bulog perlu lebih aktif menyerap dan menyalurkan beras agar harganya stabil.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga beras di tingkat konsumen naik dalam satu bulan terakhir. Di tengah kondisi tersebut, Perum Bulog dituntut lebih aktif dalam menjaga stabilitas harga dengan mengakuisisi stok beras dari penggilingan padi. Sejauh ini, Bulog sebagai badan usaha milik negara di sektor pangan dinilai belum menjalankan fungsinya sebagai stabilitator.
Berdasarkan data Panel Harga Pangan Nasional, harga beras medium dan premium di tingkat nasional meningkat satu bulan terakhir. Harga beras medium, misalnya, naik 0,24 persen dari Rp 12.520 per kilogram (kg) pada 25 September menjadi 12.670 per kg pada 25 Oktober. Sementara itu, pada periode yang sama, harga beras premium naik 0,27 persen dari Rp 11.010 per kg menjadi 11.100 per kg.
Asisten Deputi Pangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Muhammad Saifulloh mengatakan, Bulog sejauh ini belum menjalankan fungsinya sebagai stabilitator. Padahal, dengan perannya, Bulog dapat mengintervensi pasar ketika harga naik dan membeli serta menyimpan komoditas pangan untuk menjaga harganya. Indikasi tidak berfungsinya peran Bulog itu tampak dari penyerapan dan penyaluran beras yang tidak berjalan.
”Bulog masih pusing setelah kebijakan fleksibilitas harga dicabut. Dengan kebijakan itu, Bulog membeli beras dengan harga Rp 8.800 (per kg). Ternyata, swasta membeli di atas harga itu. Tentu saja Bulog kalah saing dan ini memicu kenaikan harga beras dan kenaikan inflasi,” kata Saifulloh dalam dalam webinar ”Harga Beras Naik, Apa Solusinya?” yang diselenggarakan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) di Jakarta, Selasa (25/10/2022).
Fleksibilitas harga yang dimaksud Saifulloh adalah kebijakan pemerintah melalui Badan Pangan Nasional terkait harga acuan dalam pembelian beras dan gabah kering. Kebijakan yang mulai ditetapkan 5 Oktober 2022 itu bertujuan agar Bulog dapat meningkatkan penyerapan beras. Harapannya, target cadangan beras pemerintah (CBP) sebanyak 1,2 juta ton dapat terpenuhi. Namun, aturan tersebut dicabut pada Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) dan Rapat Terbatas (Ratas) yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo pada 17 Oktober.
Saifulloh menuturkan, aturan tersebut bak paracetamol untuk demam, yakni obat untuk kenaikan harga. Setelah menyerap beras dari petani, Bulog dapat menyalurkan kembali beras ke pasar lewat program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) atau operasi pasar dalam rangka stabilisasi. Lantaran kebijakan itu tidak berjalan sesuai harapan, alhasil Bulog harus lebih aktif mencari pereda ”demam” yang lain.
Alternatif pertama yang dapat diambil Bulog adalah kerja sama dengan penggilingan padi yang punya banyak stok beras. Dalam kuantitas tertentu yang disepakati dengan penggilingan, Bulog dapat mengakuisisi beras tersebut dan menganggapnya sebagai stok mereka.
Kedua, menurut Saifulloh, Bulog perlu turun langsung ke lapangan, bukan mempercayakannya kepada mitra. ”Di NTB, ada perwakilan Bulog secara terbuka mengatakan bahwa mereka tidak turun langsung ke petani dan penggilingan. Alhasil, kebijakan yang diambil bias. Ini simpul yang harus diurai dengan turun langsung tanpa pakai mitra, terutama dalam kondisi saat ini,” ujarnya.
Sementara itu, dalam acara yang sama, Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional Rachmi Widiriani mengatakan, kebijakan fleksibilitas harga dicabut karena dua alasan. Selain karena memicu kenaikan harga, pencabutan dilakukan lantaran pemerintah ingin memberikan kesempatan petani menikmati harga yang bagus. Harapannya, Bulog sebagai operator Badan Pangan Nasional juga ikut membeli beras petani dengan harga sesuai kualitas.
Dia menambahkan, Bulog menyiapkan solusi lain untuk menstabilkan harga, termasuk salah satunya bekerja sama dengan penggilingan padi besar. Bulog akan menyiapkan penyerapan dari penggilingan padi sampai target CBP 1,2 juta ton terpenuhi. Strategi itu didasarkan pada data stok beras di penggilingan mencapai 1,4 juta ton atau 21,1 persen dari stok beras nasional pada minggu kedua Oktober. Sementara itu, stok Bulog hanya 755.282 ton.
”Sebenarnya stok beras nasional aman. Namun, sebarannya di Bulog hanya 11 persen. Hampir separuh dari sebaran stok beras ada di rumah tangga (49,8 persen). Selain itu, ada di penggilingan. Untuk itu, Bulog akan bekerja sama dengan penggilingan agar stok CBP cukup,” ujarnya.
Badan Pangan Nasional juga berharap, pihaknya dapat melakukan intervensi secara reguler agar jumlah pasokan stabil. Selain itu, agar pasar juga tahu bahwa pemerintah memasok komoditas dengan rutin. Dengan demikian, pihaknya tidak seperti pemadam kebakaran yang melakukan intervensi hanya ketika ada ”kebakaran” berupa kenaikan harga.
Kenaikan harga wajar
Kepala Bagian Evaluasi dan Layanan Rekomendasi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Batara Siagian menganggap kenaikan harga gabah sebagai sesuatu yang wajar. Terlebih, biaya produksi petani meningkat seiring kenaikan harga BBM, benih, dan pupuk.
”Sepanjang harga itu bisa memberikan keuntungan kepada petani, ya, enggak masalah (harga naik). Biarkan saja ada kenaikan harga gabah selama penggilingan padi masih bisa membelinya,” kata Batara.
Batara menambahkan, kondisi petani saat ini memprihatinkan sehingga kenaikan harga merupakan sesuatu yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan. Di satu sisi, pendapatan petani yang diperoleh dari pertanian tidak bisa memenuhi kebutuhan yang hakiki seperti pendidikan dan kesehatan.
Di sisi lain, risiko yang dihadapi saat bertani juga sangat banyak. Yang perlu dipikirkan, kata Batara, apakah harga yang dibeli penggilingan menyebabkan petani rugi. ”Kalau rugi, saya rasa mereka tidak akan produksi. Mereka akan menahan risiko,” ucapnya.
Adapun agar harga naik dan tetap terjangkau bagi konsumen, pemerintah perlu membarui harga eceran tertinggi (HET) beras secara teratur. Paling tidak, HET diatur setahun sampai dua tahun sekali. Terakhir kali, pembaruan HET diatur lewat Permendag Nomor 57 Tahun 2017.