Melindungi Ibu dan Anak dari Pemasaran Susu Formula
Menyusul maraknya pemasaran susu formula di masa pandemi ini, pemerintah dituntut menguatkan regulasi nasional untuk melindungi ibu dan anak. Apalagi Indonesia telah menandatangani Kode yang dikeluarkan WHO dan Unicef.
Salah satu yang luput dari perhatian kita selama pandemi Covid-19 ini adalah semakin maraknya pemasaran susu formula yang tidak etis. Sejak pertengahan 2020, pemasaran susu formula di Indonesia lebih intensif, pervasif, dan menguat yang dilakukan dengan berbagai strategi.
Strategi tersebut mulai dari yang paling umum dengan memanfaatkan sosial media, mengajak social media influencer untuk mempromosikan produknya (meng-endorse), mendekati para ibu baru, hingga melakukan promosi terselubung dengan mengikutsertakan tenaga kesehatan dalam webinar terkait topik gizi dan kesehatan dan melalui berbagai bantuan dan donasi produk ke komunitas.
Liputan investigasi harian Kompas pada 29 September 2022 tentang pemasaran susu formula membuktikan bahwa praktik pemasaran susu formula di Indonesia cukup laten, tetapi tidak ditangani serius. Padahal, dampak asupan susu formula kepada bayi bisa mengancam kehidupannya.
Baca juga: Apa Daya Terjebak Susu Formula Juga
Tidak seperti produk makanan dan minuman lainnya, susu formula, khususnya untuk anak di bawah umur tiga tahun, adalah produk yang tidak boleh diiklankan dan dipromosikan dalam bentuk apa pun. Sebab, pemberian susu formula memiliki risiko buruk bagi kesehatan maupun keselamatan bayi dan sang ibu.
Bayi dan anak di bawah dua tahun yang diberikan susu formula menjadi lebih rentan terinfeksi. Mereka menjadi gampang sakit akibat kehilangan kesempatan mendapatkan zat antibodi aktif yang terkandung dalam air susu ibu (ASI) dan tidak dapat dijumpai di susu formula.
Atas dasar ini pula dan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan Ibu dan anak, pada 1981 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk anak-anak (Unicef) mengeluarkan Kode Internasional Pemasaran Produk Pengganti ASI yang diikuti dengan resolusi World Health Assembly (WHA) di tahun-tahun berikutnya. Keduanya adalah satu rangkaian kebijakan global yang tidak boleh dipisahkan dan mengikat negara penanda tangan untuk mematuhinya, termasuk Indonesia. Karena itu, keduanya biasa disebut dengan ”Kode”.
Baca juga: Susu Formula Diberi Tanpa Indikasi Medis
Larangan promosi
Kode mengharuskan perusahaan produk pengganti ASI untuk patuh pada pembatasan promosi produk untuk melindungi ibu dari paparan misinformasi tentang susu formula. Meski begitu, Kode tidak melarang perusahaan untuk memproduksi dan menjual susu formula sepanjang tidak memasarkan atau mempromosikannya.
Namun, kenyataannya 40 tahun sejak kali pertama kebijakan larangan promosi susu formula dituangkan, praktik pemasaran yang tidak patut justru semakin menguat, masif, dan menyebar ke mana-mana. Bahkan, pandemi justru memberikan peluang untuk melakukan praktik pemasaran terselubung. Kebijakan pengendalian pandemi melalui pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di mana kita semua melakukan aktivitas di rumah secara daring (online) menjadi peluang emas penetrasi pemasaran terselubung di dunia maya.
Produsen memanfaatkan kanal digital untuk memasarkan susu formula, mulai dari gerai belanja online, dengan pemberian potongan harga, hingga memberikan gratis ongkos kirim.
Laporan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) yang dikeluarkan awal 2021 merekam kuatnya praktik pemasaran online susu formula beserta produk makanan dan minuman untuk anak di bawah usia tiga tahun di Indonesia. Produsen memanfaatkan kanal digital untuk memasarkan susu formula, mulai dari gerai belanja online, dengan pemberian potongan harga, hingga memberikan gratis ongkos kirim. Produsen juga membangun kanal podcast, aplikasi edukasi gizi dan kesehatan ibu dan anak.
Temuan serupa juga bisa dilihat di kanal pemantauan warga terhadap pemasaran produk pengganti ASI yang tidak etis, PelanggaranKode.org. Sejak pertengahan 2021 hingga saat ini, kanal ini telah menerima lebih dari seribu laporan, di mana 75 persen tercatat terjadi di dunia maya, terutama media sosial.
Keterlibatan nakes “social media influencer”
Jika diamati, sejak semester kedua tahun 2020, intensitas dan frekuensi penggunaan media sosial untuk meng-endorse social media influencer (SMI) semakin tinggi. Unggahan foto selebritas sebagai SMI dengan bersama anak di bawah tiga tahun disertai kotak susu formula pertumbuhan kerap memenuhi Instagram.
Lebih ironis lagi, seorang SMI yang kebetulan berprofesi sebagai dokter dan berperan dalam pengendalian pandemi secara berulang melakukan hal yang sama. Padahal, susu formula pertumbuhan untuk anak usia 1-3 tahun termasuk dalam kategori susu formula yang dilarang dipromosikan.
Baca juga: Dokter dan Bidan Terlibat Pemasaran Susu Formula
Unggahan-unggahan tersebut biasanya dibubuhi dengan keterangan foto (caption) yang mengaitkan keunggulan produk dan situasi pandemi. Di antaranya bahkan secara langsung menyebut istilah new normal, daya tahan tubuh, imunitas, atau protokol kesehatan, yang bisa mengesankan bahwa produk tersebut membantu melawan Covid-19 pada bayi dan anak kecil.
Unggahan endorsement seperti itu cukup menyesatkan ratusan ribu hingga jutaan followers akun para SMI. Sebab, klaim-klaim tersebut dibuat tanpa bukti kuat dan tentu dilakukan demi mendongkrak penjualan semata. Apa yang mereka lakukan telah menabrak Kode sebagai kebijakan global, terutama Resolusi WHA 58.32 (2005) yang melarang adanya klaim gizi dan kesehatan dan sejenisnya tanpa dasar ilmiah.
Kode juga melarang tenaga kesehatan (nakes) untuk menerima segala bentuk pemberian finansial atau material untuk mempromosikan susu formula dan produk yang tercakup dalam Kode. Melakukan kerja sama unggahan promosi produk tentu tidak tanpa bayaran sehingga yang dilakukan oleh nakes yang juga SMI tersebut masuk dalam pelanggaran Kode berlipat ganda.
Keterlibatan tenaga kesehatan dalam mempromosikan susu formula bisa menimbulkan kesan bahwa produk tersebut direkomendasikan sebab tenaga kesehatan dipercaya sebagai pakar di bidang kesehatan. Dampaknya, praktik seperti ini bisa mengubah pandangan dan keputusan para ibu terhadap menyusui.
Ibu menjadi sasaran pemasaran
Ibu selalu menjadi sasaran utama pemasaran susu formula karena ibulah yang membuat keputusan kunci untuk menyusui. Karena itu, produsen susu formula melalui berbagai cara pemasarannya berupaya untuk menggoyahkan keputusan ini. Salah satunya dengan menerapkan strategi soft selling atau pemasaran secara halus hingga tidak terlihat sebagai aktivasi pemasaran.
Biasanya ibu dikontak langsung melalui pesan pribadi lewat media sosial dan telepon pribadi. Para personel pemasaran umumnya menawarkan pembagian penjualan dengan potongan harga hingga pembagian produk secara cuma-cuma. Di masa pandemi, kadang disertai dengan pemberian masker, handsanitizer, hingga akses internet sebesar 1 GB setiap bulan.
Baca juga: Belanja Susu Formula Bebani Masyarakat Miskin
Ibu selalu menjadi sasaran utama pemasaran susu formula karena ibulah yang membuat keputusan kunci untuk menyusui.
Para ibu juga kerap diajak untuk bergabung dalam ”kuliah Whatsapp” atau masuk ke dalam grup Facebook yang membahas beragam topik seputar pengasuhan dan gizi anak. Para produsen susu formula juga mendirikan klub ibu yang memberikan berbagai tips pengasuhan dan asupan gizi.
Cara-cara seperti ini juga melanggar Kode yang secara jelas melarang perusahaan, distributor, beserta afiliasinya untuk mengontak ibu baik secara langsung maupun tidak. Selain itu, tanpa disadari oleh para ibu, secara terencara pihak produsen membangun hubungan ”palsu” dengan para ibu sebagai upaya untuk mendorong penjualan produk.
Nakes dan organisasinya
Di saat pandemi, perusahaan susu formula atau afiliasinya juga menyasar tenaga kesehatan beserta organisasi profesinya melalui kerja sama kegiatan tertentu, seperti seminar dan berbagai pelatihan. Sementara, para dokter dan bidan sering dilibatkan menjadi narasumber webinar atau Instagram Live di bidang gizi dan kesehatan.
Baca juga: Kalang Kabut Pasangan Muda Hanya untuk Membeli Susu Formula
Tidak jarang webinar atau Instagram Live tersebut mengangkat topik yang berhubungan dengan Covid-19. Meski tidak secara eksplisit mempromosikan produk di dalam acara kegiatan seperti ini, hal itu menciptakan impresi yang baik terhadap citra perusahaan penyokong acara.
Impresi baik inilah yang berbahaya karena bisa menuntun kita untuk berpikir bahwa perusahaan yang baik akan memiliki produk yang baik pula sehingga memungkinkan kita untuk membeli produk tersebut ketimbang yang lain. Karena itu, taktik ini bisa dikategorikan sebagai praktik pemasaran yang terselubung dengan berujung pada peningkatan untung perusahaan. Sekali lagi, Kode melarang tenaga kesehatan untuk menerima insentif dari perusahaan susu formula.
Terakhir, selama pandemi, perusahaan susu formula banyak memberikan donasi kepada pemerintah berupa sampel produk beserta perlengkapan penunjang protokol kesehatan lainnya. Di Yogyakarta, perusahaan susu formula mendistribusikan donasi berupa perlengkapan anak, termasuk di dalamnya susu formula untuk bayi 0-6 bulan, biskuit dan serealia untuk bayi usia 6-12 bulan kepada pemerintah daerah untuk anak-anak yang terdampak Covid-19. Di Jawa Tengah, pemerintah daerah juga menerima bantuan serupa berupa susu formula pertumbuhan dan susu ibu hamil untuk anak-anak dan ibu yang terdampak Covid-19. Di Makassar, Sulsel, perusahaan yang sama juga membagikan masker dan susu formula pertumbuhan.
Pemberian donasi yang mengatasnamakan bantuan pandemi mendorong peningkatan citra sosial perusahaan dan tidak terlihat sebagai teknik pemasaran. Praktik ini bisa disebut sebagai manipulasi bantuan, istilah yang pertama kali dikeluarkan oleh Cosme Cagas seorang dokter asal Filipina, yang artinya bisa memberikan efek segan dan berutang budi, hingga kemungkinan membuat kita diam ketika mereka melakukan kesalahan kelak.
Selama pandemi, perusahaan susu formula banyak memberikan donasi kepada pemerintah berupa sampel produk beserta perlengkapan penunjang protokol kesehatan lainnya.
Menguatkan regulasi
Maraknya pemasaran bebas susu formula di masa pandemi ini menuntut pemerintah untuk menguatkan regulasi nasional untuk melindungi ibu dan anak agar mereka terlindungi dari paparan pemasaran yang terbungkus dalam edukasi dan donasi yang tidak patut. Selama ini pemerintah hanya mengadopsi sebagian isi Kode, mengesampingkan perlindungan untuk anak usia 6-36 bulan, sesuai anjuran Kode.
Karena itu, pemerintah perlu segera mengadopsi Kode sepenuhnya ke dalam regulasi yang berkekuatan hukum lebih besar. Artinya, semua Resolusi WHA terkait perlindungan menyusui dan pemberian makan pada bayi dan anak usia 0-36 bulan harus diadopsi dalam regulasi yang memiliki kekuatan hukum tinggi. Bukan hanya melalui peraturan Kementerian kesehatan.
Irma Hidayana, Presidium Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak; Pengajar Tamu Kesehatan Ibu dan Anak di St Lawrence University, AS; Pendiri PelanggaranKode.org