Kalang Kabut Pasangan Muda Hanya untuk Membeli Susu Formula
Bagi keluarga miskin, biaya susu formula menjadi beban keuangan yang sangat berat. Kebutuhan susu formula bahkan bisa menguras tabungan hingga membuat mereka berhutang.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM, INSAN ALFAJRI, DHANANG DAVID, ANDY RIZA HIDAYAT
·5 menit baca
Sejak kelahiran anak pertama enam bulan lalu, Kiki Septiani (26) dan suaminya Imam Budi Nugroho (24) kalang kabut mencari uang, memenuhi kebutuhan susu formula bayinya. Dengan penghasilan tak menentu, pasangan di Sukoharjo, Jawa Tengah ini selalu risau akan biaya susu formula. Saat ini, Kiki dan Imam masih tingal di rumah orangtua.
“Saya pernah kehabisan uang untuk beli susu, terpaksa pinjam ke ibu. Itu pun juga dipesan untuk segera dikembalikan karena bapak kan juga nggak menentu kerjanya,” kata Kiki, Senin (5/9/2022).
Anak pertama mereka, Hera (6 bulan) bermain dengan suaminya, Imam. Hari itu Imam tak ada pekerjaan lagi. Beberapa waktu terakhir, ia masih cukup beruntung memperoleh pekerjaan menebang pohon. Waktu itu, penghasilannya bisa mencapai Rp 800.000 – Rp 900.000 untuk bekerja satu pekan.
Namun, pekerjaan itu tak selalu ada. Padahal, setiap bulan, pasangan itu menghabiskan sekitar Rp 400.000 habis untuk membeli susu formula. Sisa penghasilan harus sangat dihemat untuk cadangan saat tak ada pemasukan. Sementara itu, Kiki yang sebelum melahirkan bekerja sebagai petugas administrasi gudang memutuskan berhenti sejak melahirkan.
Hera lahir secara normal dengan berat 2,2 kilogram (kg) di sebuah rumah sakit di Kabupaten Karanganyar. Hera lahir sekitar sebulan lebih awal dari hari perkiraan lahir (HPL). Saat lahir, Hera langsung dimasukkan ke inkubator. Perawat rumah sakit memberi saran dan langsung memberinya susu bayi berat lahir rendah (BBLR) merek Lactogen.
Meski awalnya sangat ingin memberikan ASI pada bayinya, Kiki menurut karena takut bayi pertamanya terganggu kesehatannya. Sebenarnya, Kiki telah bersiap memberikan air susu ibu (ASI) untuk anaknya itu. Selama hamil tua, ia sudah mulai minum beragam sayuran yang disarankan untuk melancarkan ASI. Namun saat mencoba menyusui bayinya, Hera yang sudah terbiasa dengan susu formula tak mau menghisap ASI. “Saya sampai datang ke bidan untuk minta dibantu dia mau ASI, tapi tetap tidak mau ngenyot. Saya kasihan juga sih,” katanya.
Lama-kelamaan, Kiki tak lagi memproduksi ASI. Mereka mengganti ke merk termurah yang tersedia, yaitu SGM. Meski demikian, biaya susu formula masih begitu memberatkan.
Di Mateseh, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Vinalita (22) dan Danang Prasetya (22) menghadapi masalah yang sama. Danang baru saja mengalami pemberhentian hubungan kerja (PMK) dari pabrik garmen dua pekan lalu. Sementara kebutuhan susu formula putri mereka yang berusia 11 bulan mencapai lebih kurang Rp 500.000 sebulan.
Saya pernah kehabisan uang untuk beli susu, terpaksa pinjam ke ibu. Itu pun juga dipesan untuk segera dikembalikan karena bapak kan juga nggak menentu kerjanya
Saat ini, pasangan yang juga masih menumpang di rumah orangtua itu hanya mempunyai satu sumber pemasukan, yaitu jualan baju secara daring. Pemasukannya tak menentu, namun tak pernah lebih dari Rp 2 juta sebulan.
Bayi Vinalita dilahirkan secara normal dengan berat 1,8 kg. Ia juga lahir lebih awal dari HPL, yaitu di usia kandungan 32 pekan. Saat melahirkan, hasil tes Vinalita dan Danang menunjukkan positif Covid 19. Saat lahir, bayi mereka langsung dipisahkan di inkubator selama dua pekan sementara orangtuanya harus isolasi mandiri.
Pihak rumah sakit juga menyarankan pemberian susu formula untuk menambah berat badan. Vinalita tidak pernah memperoleh IMD. Di awal kelahiran itu, Vinalita masih berusaha memberikan bayinya ASI dengan memeras dan mengirimkannya ke rumah sakit. Namun, saat pulang dari rumah sakit, ia kesulitan mengantar ASI.
Vinalita juga tak pernah memperoleh pemahaman soal teknik memberikan ASI. Ia tak bisa berbuat banyak saat bayinya hanya mau minum susu formula setelah pulang dari rumah sakit. Dengan hilangnya pekerjaan Danang, beban ekonomi membeli susu formula mereka rasakan semakin berat. “Sekarang ini kami belum tahu mau bagaimana,” kata Danang.
Saran perawat
Di Medan, Sumatera Utara, tiga anak AJ (50) dan SP (38) diberi susu formula. Anak terakhir mereka yang lahir 8 bulan lalu diberikan susu formula juga atas saran perawat. Di hari pertama kelahiran, perawat memberi saran untuk memberi susu formula karena ASI sedikit dan bayi terus menangis.
Perawat juga menawarkan untuk membeli susu formula di rumah sakit atau dari luar. AJ memutuskan membeli dari rumah sakit karena merasa repot jika harus membeli di luar.
Saat itu, AJ dan SP tak tahu bahwa produksi ASI sedikit di hari-hari pertama kelahiran merupakan hal yang normal. Bayi yang baru lahir pun mampu bertahan tanpa asupan susu selama tiga hari pertama kelahiran. Sejak lahir, dia menggunakan susu formula S26 sebanyak empat hingga lima kemasan sebulan yang bernilai Rp 800 ribu.
Warga Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, QR juga harus menanggung biaya susu formula sebesar sekitar Rp 300.000 setiap bulan. Suami QR hanya bekerja sebagai sekuriti dengan gaji lebih kurang Rp 3 juta sebulan. Artinya, 10 persen dari penghasilan keluarga habis membeli susu formula.
Organisasi swadaya masyarakat internasional (NGO) Alive and Thrive menyebutkan, selain beban pembelian susu formula, bayi yang tak memperoleh ASI eksklusif juga berpotensi mudah terserang penyakit, hingga meninggal.
Dikutip dari situsnya, pemberian ASI eksklusif dapat mencegah 15.000 kematian bayi dan 9 juta kasus diare dan radang paru-paru pada bayi per tahunnya. Sementara, dari laporan Alive and Thrive tentang Indonesia, secara nasional, beban biaya yang ditanggung keluarga diperkirakan setidaknya 743 juta dolar AS atau lebih dari Rp 11 triliun untuk pembelian susu formula per tahun, dan 85 juta dolar AS atau Rp 1,2 triliun untuk biaya berobat ibu dan bayi.
Pemberian ASI eksklusif pada bayi mencegah beragam penyakit pada ibu dan anak, di antaranya diare dan radang paru-paru pada bayi dan kanker Rahim, kanker payudara dan diabetes tipe II pada ibu. Pada akhirnya, masih banyaknya bayi yang tak memperoleh ASI eksklusif pun menjadi beban negara dari sisi subsidi kesehatan yang harus ditanggung negara. Selain itu, ada ancaman menurunya kualitas sumber daya manusia.