Indonesia sedang berjalan menjadi sebuah bangsa yang antikritik karena seringnya penggunaan UU ITE untuk menjerat orang satu dengan lainnya. Selama UU ITE tidak direvisi, demokrasi di Indonesia akan berjalan mundur.
Oleh
ALOYSIUS EFRAIM LEONARD
·5 menit baca
Baru-baru ini, media sosial dibuat gaduh oleh seorang yang protes terhadap sebuah brand minuman cepat saji melalui akun Twitter-nya. Kritik yang disampaikan mungkin terasa terlalu pedas bagi brand minuman manis tersebut, sampai-sampai si perusahaan memilih melakukan somasi menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tentu, media sosial gaduh, mengkritik tajam perlakuan perusahaan tersebut.
Kejadian tersebut bukanlah hal yang baru—malah sudah hampir menjadi ”budaya” di Indonesia. Pasal karet UU ITE bak kartu pamungkas bagi pihak-pihak yang merasa namanya dicemarkan melalui media sosial.
Ironisnya, pasal pencemaran nama baik ini justru sering digunakan oleh mereka dengan kuasa yang lebih besar, termasuk pejabat pemerintahan. Kritik oleh konsumen/masyarakat dianggap hinaan, bahkan latar belakang mereka jadi pertanyaan. Alhasil, bangsa Indonesia pelan-pelan sedang menjadi bangsa yang antikritik.
Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat adalah definisi demokrasi yang diajarkan kepada kita. Dalam sebuah dinamika kehidupan berdemokrasi, kebebasan menyampaikan pendapat menjadi salah satu kunci utama untuk menjalankan sistem ini.
Jika kita terus-menerus menolak kritik yang disampaikan oleh orang lain, bagaimana mungkin sistem ini bisa berjalan? Apalagi jika penolakan terhadap kritik ini malah selalu ditunjukkan oleh mereka yang seharusnya menerima kritik tersebut.
Kritik yang ”santun”?
Salah satu argumen yang selalu digunakan oleh mereka yang merasa ”terpaksa” menjerat orang lain dengan UU ITE adalah sampaian kritik yang tidak menunjukkan nilai-nilai ”sopan santun” atau ”bertolak belakang dengan budaya kita yang saling menghargai satu sama lain”. Masalahnya, siapa yang bisa menakar kesantunan sebuah kritik? Apakah didasari dari jenis kata yang digunakan untuk mengkritik? Dan, mengapa kritik sering dianggap sebagai bentuk tidak dihargainya orang lain?
Di sebuah negara yang terdiri atas berbagai budaya seperti Indonesia, akan sangat sulit untuk menilai kadar kesantunan seseorang. Apakah jangan-jangan selama ini kesantunan yang kita gunakan didasarkan kepada standar orang-orang di Pulau Jawa? Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak tumbuh besar dengan budaya di Pulau Jawa?
Siapa yang bisa menakar kesantunan sebuah kritik? Apakah didasari dari jenis kata yang digunakan untuk mengkritik? Dan, mengapa kritik sering dianggap sebagai bentuk tidak dihargainya orang lain?
Budaya adalah suatu hal yang sangat subyektif. Bisa jadi, mereka merasa telah memberikan kritik secara sopan dan santun, tetapi malah dianggap sebaliknya oleh mereka yang menerima kritik tersebut. Rasanya tidak adil kalau mereka harus disidang hanya karena memiliki standar ”kesantunan” yang berbeda.
Lagipula, kebiasaan melakukan eufimisme/menghaluskan sesuatu juga tidak selalu baik. Eufimisme bisa mengurangi kadar urgensi dari suatu hal yang seharusnya mendesak.
Kita sebagai rakyat berhak untuk mengkritik mereka yang kita pilih dan kita bayar. Jika pemerintah bisa sampai mengganti dan menerobos seluruh peraturan perundang-undangan demi kepentingan investor-investor bisnis, kenapa kita, yang juga merupakan investor di negara ini, harus dipaksa untuk menghaluskan permintaan kita, atau bahkan sampai dipolisikan karena menyampaikan kritik yang tajam?
Rakyat mencontoh pemimpinnya
Ironi penolakan kritik oleh mereka yang punya kuasa juga lama-lama diadopsi oleh rakyat. Gara-gara mendapatkan contoh dari para pemimpinnya, rakyat yang merasa memiliki kuasa pun mulai melakukan hal yang sama terhadap rakyat lainnya.
Kegaduhan di media sosial kemarin bukanlah satu-satunya contoh seorang konsumen dijerat dengan UU ITE oleh sebuah perusahaan. Tahun lalu, misalnya, kita melihat bagaimana Stella Monica, seorang konsumen yang mengkritik sebuah klinik kecantikan melalui media sosial, harus melalui proses panjang di meja hijau. Oleh si klinik kecantikan, ia dianggap melakukan pencemaran nama baik. Untungnya, berkat advokasi dan dukungan masyarakat, Stella berhasil bebas.
Atau, dosen Saiful Mahdi yang akhirnya diberikan amnesti oleh Presiden Jokowi. Beliau mengkritik kampus tempatnya bekerja, dan dilaporkan menggunakan UU ITE. Butuh advokasi panjang dan dukungan dari puluhan ribuan orang melalui petisi daring sampai akhirnya ia diberikan amnesti oleh presiden.
Daftar mereka yang dijerat oleh pasal-pasal karet undang-undang ini masih sangat panjang. Paku ITE (Paguyuban Korban UU ITE) memiliki daftar yang sangat komprehensif, siapa saja yang menjadi korban dari pasal-pasal di produk legislasi ini. Tidak semua berakhir manis seperti Stella ataupun Saiful.
Jika daftar ini bisa sampai ke tangan para pejabat, mereka seharusnya malu saat membacanya. Sebagai orang-orang yang terpilih karena sistem demokrasi, mereka malah mendorong mundur sistem yang memberikan mereka kesempatan untuk menjadi pemimpin: baik dengan melaporkan rakyatnya sendiri, atau dengan enggan merevisi undang-undangnya.
Ketika masyarakat sudah mulai menormalisasikan saling jerat menggunakan undang-undang ini, pada akhirnya orang-orang akan menjadi takut bersuara dan memilih bungkam. Padahal, sebuah sistem pemerintahan yang demokratis memerlukan pengawasan masyarakat. Budaya antikritik yang sedang dibangun di Indonesia hanya akan membuka lebar pintu bagi mereka yang ingin berbuat seenaknya untuk berkuasa tanpa ketakutan akan konsekuensi yang harus mereka hadapi.
Meruntuhkan sifat antikritik
Bertambahnya kasus masyarakat yang saling jerat menggunakan UU ITE seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua. Kita tidak boleh jadi orang yang munafik: marah-marah karena pemerintah sering membatasi cara berpendapat kita, tetapi melakukan hal yang sama terhadap orang lain.
Perubahan yang ideal memang seharusnya dimulai dengan adanya revisi UU ITE, bukan hanya sebuah surat keputusan bersama yang jadi pedoman pelaksanaan undang-undang tersebut. Namun, jika mereka yang seharusnya merevisi undang-undang itu kurang bisa diandalkan, seperti biasa, kita harus menjadi rakyat yang mandiri.
Teknologi digital dan media sosial telah memberikan ruang bagi siapa pun untuk berpendapat dan didengar oleh siapa saja. Sama seperti ketika kita bertemu dan bertukar sapa di ruang luring, kritik pedas dan cacian di ruang daring juga tentu saja tidak akan terelakkan. Kita harus sadar bahwa tidak selalu kritik yang disampaikan oleh orang lain bertujuan untuk mencemarkan nama baik kita.
Jika sistem perwakilan ternyata dirasa tidak mewakilkan, saatnya kita kembalikan semangat dan jiwa sebuah demokrasi. Jiwa dari sebuah demokrasi adalah rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Secara perlahan, kita bisa meruntuhkan sifat antikritik yang dicontohkan para pemimpin dengan berhenti untuk menyerang satu dengan lainnya menggunakan produk legislasi yang merusak kehidupan sehari-hari kita. Kemudian, bersama-sama, kita bisa terus mendorong agar undang-undang ini segera direvisi.
Perubahannya mungkin akan perlahan, dan mungkin akan masih panjang. Akan tetapi, kita harus terus bersolidaritas dan berjuang bersama untuk mendorong perubahan ini. Sebab, perubahan ini diperlukan untuk kita.
Aloysius Efraim Leonard, Campaigner di Change.org Indonesia