UU ITE Masih Ancam Rasa Keadilan
UU ITE masih menyisakan persoalan. Mengancam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Potensi serangan atas dasar pencemaran nama baik masih menjadi ancaman.
Alih-alih mengembalikan rasa keadilan masyarakat, UU ITE justru kerap digunakan untuk keperluan kriminalisasi. Kerancuan pasal yang dikandung, ditambah ketimpangan relasi kuasa di masyarakat, membuat beberapa golongan masyarakat bawah seperti kelas buruh dan aktivis menjadi rentan.
Balik dilaporkannya MS, terduga korban pelecehan seksual di KPI, oleh terduga pelaku menggunakan UU ITE menunjukkan bahaya dari implementasi UU tersebut secara serampangan.
Melalui rezim UU ini, korban yang harusnya dilindungi hukum justru posisinya berbalik menjadi tertuduh untuk dikriminalisasi. Artinya, secara tidak langsung UU ITE memberikan celah bagi terduga pelaku untuk “menormalisasi” sebuah tindakan kriminal.
Selain kasus MS, UU ITE sebetulnya bukan sekali ini saja menimbulkan perkara. Berdasar data yang dihimpun oleh lembaga SafeNet, setidaknya terdapat 376 kasus hukum terkait dengan UU ITE selama 2008 hingga 2020.
Dari lebih dari tiga ratus kasus tersebut, lebih dari 30 persen dari terlapor merupakan mereka yang berprofesi sebagai buruh, aktivis, mahasiswa dan jurnalis.
Di antaranya, beberapa nama seperti Ravio Patra (aktivis demokrasi) dan Farid Gaban (jurnalis senior dan aktivis lingkungan) yang turut merasakan pedasnya UU ITE.
Hal ini menjadi kontras jika melihat jumlah kasus yang terlapornya merupakan bagian dari pemerintah. Selama periode waktu tersebut, hanya terdapat 17 kasus atau setara dengan 4,5 persen yang terlapornya merupakan politisi atau ASN.
Tak ayal, posisi dari mereka yang secara ekonomi dan sosial cenderung lemah serta punya pendapat berseberangan dengan pemerintah menjadi rentan di hadapan UU ITE.
Alhasil, selain dimanfaatkan mengkriminalisasi korban, UU ini juga potensial digunakan oleh otoritas untuk menekan suara publik yang “dinilai” membahayakan ketertiban publik. Hal ini nampak dari rentannya posisi aktivis, jurnalis dan oposan pemerintah yang berkali-kali dikasuskan melalui pasal UU ITE.
Baca juga : Menko Polhukam Minta Pedoman UU ITE Dijalankan
Kebebasan pers
Terancamnya para jurnalis oleh UU ITE ini kemudian membuat tekanan pada kebebasan pers di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari skor kebebasan pers Indonesia yang konsisten rendah.
Meskipun telah sedikit naik dari segi peringkat, skor kebebasan pers Indonesia berdasar data dari Reporters Sans Frontières (RSF) masih berkutat di kisaran 36 poin atau berada di peringkat 119 dari 180 negara.
Jika dibandingkan skor kebebasan pers di Indonesia ini masih jauh dibawah negara-negara di Afrika seperti Burkina faso, Ghana dan Namibia yang berada di peringkat 50 besar.
Kebebasan pers yang masih diujung tanduk ini pun juga selaras dengan stagnasi kualitas demokrasi di Indonesia. Berdasarkan laporan Democracy Index yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit pada 2020, Indonesia berada di peringkat 64 dari 167 negara dengan skor sebesar 6,30. Dengan skor tersebut, Indonesia masih masuk ke dalam kategori “Demokrasi Cacat” (flawed democracy) bersama dengan Ghana, Lesotho dan Papua Nugini.
Tak hanya itu, kerentanan golongan masyarakat yang marjinal ini juga menjadi persoalan tersendiri. Mereka yang secara sosial, ekonomi dan politis lemah hampir tak punya kesempatan untuk membela diri. Nasib para aktivis dan jurnalis sedikit lebih baik dibandingkan kaum papa.
Selama rentang 2008 sampai 2020, terdapat dua terlapor yang akhirnya dibebaskan yakni seorang jurnalis bernama Kadir Jaya dan seorang aktivis di sebuah LSM bernama Muhammad Arsyad. Namun, dalam kasus Muhammad Arsyad, kebebasan ini harus ditebus dengan penahanan oleh pihak kepolisian selama 100 hari.
Sedangkan di sisi lain, dari 17 kasus yang melibatkan pejabat publik dan pemerintahan, hanya lima kasus yang berujung pada putusan bersalah. Beberapa di antaranya ialah Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Mantan Walikota Serang Tubagus Delly Suhendar.
Maka, hal ini menunjukkan bahwa meski tak kebal untuk dilaporkan, mereka yang memiliki posisi tawar lebih di masyarakat cenderung lebih bisa selamat dari jeratan pasal-pasal karet UU ITE.
Dalam praktiknya, sebagian besar dari pelapor UU ITE menggunakan pasal 27 (selain Ayat 1) dan 28, serta pasal 310-311 KUHP ketika menjerat terlapor. Keempat pasal ini secara umum merujuk kepada tindakan pencemaran nama baik (personal maupun perusahaan/brand) dan ujaran kebencian.
Dari 376 kasus UU ITE selama 12 tahun, setidaknya 254 kasus atau 67 persen dari total kasus berkutat di pasal-pasal tersebut. Jika dibandingkan, kasus-kasus yang berkaitan dengan keselamatan diri (Pasal 29), Pornografi (Pasal 27 Ayat 1) dan Penyadapan (Pasal 31) cenderung lebih sedikit.
Dalam rentang waktu yang sama, terdapat 14 kasus atau hanya sekitar 3,72 persen saja dari total seluruh kasus yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ini.
Tak hanya itu, pasal di atas seperti pasal terkait pornografi, ini bisa juga justru digunakan oleh terduga pelaku kekerasan untuk melaporkan korbannya seperti pada kasus Baiq Nuril dulu.
Baca juga : UU ITE Merusak Kebebasan Pers
Penafsiran lentur
Tingginya penggunaan pasal yang relatif “karet” ini menjadi salah satu sumber dari permasalahan implementasi UU ITE yang nampak sembarangan.
Dengan definisi hukum dari pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang cenderung kabur serta minimnya pendampingan hukum, tentu sangat mudah bagi mereka yang memiliki kuasa lebih untuk memenjarakan golongan masyarakat marjinal.
Wacana revisi UU ITE juga dilontarkan Presiden Joko Widodo karena melihat UU ITE banyak digunakan masyarakat untuk saling lapor ke Polri. Fenomena itu menunjukkan masih banyak masyarakat yang menganggap hukum belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. (Kompas, 8 Maret 2021)
Tak heran, revisi UU ITE pun diidam-idamkan oleh masyarakat. Berdasar hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Februari lalu, lebih dari tiga perempat responden berpendapat bahwa revisi UU ITE perlu dilakukan.
Bahkan, sekitar 28 persen diantara mereka menkankan bahwa revisi UU ITE harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya sebagian saja. Alasan dibalik pentingnya revisi UU ITE yang diungkapkan oleh masyarakat pun sejalan dengan temuan yang ada di atas.
Beberapa di antaranya ialah pasal terkait asusila justru digunakan untuk menghukum korban (56,2 persen), penghinaan dan pencemaran nama baik cenderung digunakan untuk menangkap warga yang mengkritik (43,2 persen), dan ujaran kebencian justru sering digunakan untuk merepresi warga minoritas (50,1 persen).
Selain pendapat dari masyarakat, revisi UU ITE juga kian mendesak karena langkah pemerintah untuk membuat Pedoman Implementasi UU ITE tak berhasil.
Hingga kini, masih banyak kasus yang tetap diproses oleh kepolisian meskipun tak sesuai dengan pedoman implementasi. Hingga Juli lalu, setidaknya terdapat tiga kasus UU ITE yang diproses meski tak sesuai dengan SKB.
Maka, meski prosesnya alot, revisi UU ITE harus menjadi sebuah keniscayaan. Dalam prosesnya, kita perlu mengawal agar batasan pada pasal-pasal yang sebelumnya masih rabun harus ditegaskan, sehingga tak menjadi celah kriminalisasi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Usulan Revisi UU ITE Masih Berpotensi Multitafsir