Pasal karet UU ITE masih menjerat warga negara, dan merusak sumber daya negara. Sudah semestinya negara mengeluarkan energi untuk mengurus hal-hal terkait urusan personal warga negara itu.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Desakan agar pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik kembali disuarakan oleh para penyintas UU ITE. Pedoman penafsiran sejumlah pasal karet yang dibuat pemerintah dan aparat penegak hukum tidak efektif untuk mengurangi penyalahgunaan regulasi tersebut untuk kepentingan tertentu. Pemidanaan terhadap warga masih terus terjadi.
Sekretaris Paguyuban Korban Undang-Undang ITE (Paku ITE) Anindya Shabrina mengatakan, pemidanaan terhadap kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik masih terus terjadi. Sepanjang pekan pertama November 2021, pihaknya menerima lima aduan dari warga yang dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik.
”Kebanyakan terjadi karena bertikai di media sosial. Karena ada UU ITE, warga terdorong untuk saling melaporkan,” kata dia dalam diskusi buku ”Matinya Kebebasan Berpendapat: Ketika Para Korban UU ITE Bertutur” yang digelar secara daring, Sabtu (6/11/2021).
Buku ”Matinya Kebebasan Berpendapat: Ketika Para Korban UU ITE Bertutur” pun berisi pengalaman 10 penyintas dalam menghadapi pemidanaan karena dugaan pelanggaran UU ITE. Para penyintas itu adalah Muhadkly Acho, Furqan Emansyah, Muhammad Arsyad, Vivi Nathalia, Saiful Mahdi, Saidah Saleh Syamlan, Diananta Putra Sumedi, Ervani Emy Handayani, Wadji, dan Baiq Nuril Maknun juga menuliskan kisahnya.
Anindya yang juga pernah menjadi tersangka pencemaran nama baik pada 2018 melanjutkan, masih terus terjadinya pemidanaan itu menunjukkan bahwa pedoman penafsiran sejumlah pasal karet UU ITE yang dibuat pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama UU ITE tidak efektif. Penegak hukum cenderung tetap memproses laporan-laporan yang masuk meski tidak sejalan dengan SKB. Oleh karena itu, dibutuhkan revisi UU ITE untuk menutup potensi kriminalisasi masyarakat menggunakan pasal-pasal karet pada regulasi tersebut.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Nenden Sekar Arum mengatakan, pemidanaan terhadap warga yang diduga melanggar UU ITE terus terjadi. Dalam dua tahun terakhir, jumlah kasus yang diadvokasi oleh Safenet pun cenderung meningkat. Pada 2020 ada 84 kasus, jumlah itu merupakan yang tertinggi selama tujuh tahun terakhir.
Dari seluruh kasus, mayoritas pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 Ayat (2) tentang ujaran kebencian dan Pasal 27 Ayat (3) tentang pencemaran nama baik. Pihak yang paling banyak dilaporkan adalah warga (50 orang), aktivis (15 orang), jurnalis (8 orang), dan pelajar (8 orang). Sementara itu, pelapor adalah pejabat publik dan pengusaha yang umumnya punya relasi kuasa yang timpang dengan pihak yang dilaporkan.
Menurut Nenden, tingginya jumlah warga yang dilaporkan menunjukkan, pasal karet UU ITE saat ini tidak hanya digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang punya profesi strategis untuk mengkritik pemerintah. Warga biasa pun tak lepas dari ancaman UU ITE.
Stella Monica, terdakwa kasus pencemaran nama baik yang tengah menunggu vonis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, berharap, pemerintah dan DPR bisa segera merevisi UU ITE untuk menghilangkan sejumlah pasal karet, salah satunya terkait pencemaran nama baik. Pasalnya, jerat pidana atas dugaan tersebut berimplikasi psikis amat berat. Sebagaimana terjadi pada dirinya saat ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur karena dituding mencemarkan nama baik sebuah klinik kecantikan.
”Ketika ditetapkan sebagai tersangka itu, saya sudah seperti orang gila. Seharian di kamar hanya nangis, sampai akhirnya buka handphone cari bagaimana caranya bisa cepat mati,” tuturnya.
Menurut Stella, pemidanaan terhadap dirinya terjadi secara tiba-tiba. Sebuah klinik kecantikan mengirimkannya somasi, meminta permintaan maaf karena Stella telah mengunggah pengalaman buruk menggunakan layanan dan produk klinik kecantikan tersebut disertai ancaman pelanggaran UU ITE. Berselang beberapa bulan, ia didatangi sejumlah polisi yang menyatakan dirinya sudah ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik klinik kecantikan tersebut. ”Padahal, saya enggak tahu, apa itu UU ITE,” katanya.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Brahma Astagiri, mengatakan, keberadaan UU ITE dengan sejumlah pasal karet yang ada di dalamnya memang telah merusak sumber daya negara. Negara harus mengeluarkan energi dan sumber daya besar untuk mengurus hal-hal yang terkait dengan urusan personal warga negara.
Wadji, pengajar di Universitas PGRI Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, mengatakan, para penyintas UU ITE harus berhadapan dengan proses hukum yang panjang, demi kesalahan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan musyawarah. Akibatnya, waktu, modal, energi, dan emosi tentunya terkuras. Pada 2018, ia ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik karena mengunggah foto dua lelaki berkepala botak dan memelesetkan akronim PGRI di grup percakapan daring dosen dan karyawan kampusnya dari Persatuan Guru Republik Indonesia menjadi Persatuan Gundul Republik Indonesia. Atas guyonan tersebut, ia digugat oleh pengurus PGRI Jawa Timur.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, kasusnya tidak kunjung masuk ke pengadilan. Hampir setahun Wadji justru dikenakan status wajib lapor sehingga setiap pekan harus datang ke Polda Jawa Timur yang berjarak sekitar 100 kilometer dari rumahnya di Malang. Perkaranya baru bergulir di Pengadilan Negeri Malang pada September 2019, hingga akhirnya ia divonis hukuman tiga bulan penjara pada Januari 2020, kemudian Pengadilan Tinggi Surabaya memperberat hukumannya selama lima bulan pada April 2020.
Namun, Wadji mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan tersebut. Akhirnya pada Maret 2021, MA memutuskan bahwa Wadji tidak bersalah sehingga ia bisa bebas. ”Bayangkan, berapa lama saya harus menghadapi persidangan sampai kasasi itu. Butuh waktu tiga tahun untuk mendapatkan pernyataan bahwa saya tidak bersalah, selama tiga tahun itu berapa biaya yang harus dikeluarkan negara hanya untuk mengurus ’duo gundul’ yang saya posting di grup Whatsapp,” ujarnya.
Menurut Wadji, sulit bagi warga untuk lepas dari hukuman jika sudah dijerat dengan UU ITE. Hanya sedikit orang yang bisa terbukti tidak bersalah, seperti dirinya. Hal ini sejalan dengan data Safenet bahwa sepanjang 2013-2020, tingkat penghukuman terdakwa dengan UU ITE mencapai 96,8 persen, sedangkan tingkat pemenjaraannya mencapai 88 persen.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Brahma Astagiri mengatakan, keberadaan UU ITE dengan sejumlah pasal karet yang ada di dalamnya memang telah merusak sumber daya negara. Negara harus mengeluarkan energi dan sumber daya besar untuk mengurus hal-hal yang terkait dengan urusan personal warga negara. ”UU ITE ini juga membangun kultur yang buruk, karena warga cenderung ingin saling melaporkan,” katanya.