Sistem Keadilan Pemilu
Sistem keadilan pemilu merupakan instrumen penting untuk menjamin penerapan prinsip pemilu yang bebas, jujur, dan adil. Konsepnya tak terbatas penegakan kerangka hukum, tetapi juga ”attitude” penyelenggara pemilu.
Memasuki tahun politik, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada forum Seminar Nasional Universitas Gadjah Mada memberi warning bahwa setiap penyelenggaraan pemilu itu (ada) yang curang. Kecurangan pemilu terjadi sejak zaman dahulu dengan pola yang berbeda.
Pernyataan Menko Polhukam gayung bersambut dengan perhatian presiden terhadap penegakan hukum pemilu. Presiden meminta Bawaslu tegas dalam melaksanakan fungsi law enforcement. Atensi Presiden dan Menko Polhukan tersebut perlu direfleksikan bagaimana implementasi dan tantangan sistem keadilan pemilu eksisting untuk mewujudkaan Pemilu 2024 yang lebih berkualitas dan berintegritas.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Desain sistem keadilan pemilu di Indonesia berubah seiring politik hukum penataan kelembagaan penyelenggara pemilu. Selama masa reformasi, terjadi penataan kelembagaan penyelenggara pemilu sehingga melahirkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang berperan sebagai satu kesatuan fungsi dengan tugas dan kewenangannya masing-masing.
Baca juga: Gangguan Laten Pemilu dan Pemilihan 2024
Penataan kelembagaan penyelenggara pemilu harus diletakkan dalam konteks social engineering. Ini dalam upaya mencari formula sistem keadilan pemilu yang lebih baik di samping pelaksaaan tugas lembaga electoral justice system yang lain, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sistem keadilan pemilu
Sistem keadilan pemilu merupakan instrumen penting untuk menjamin penerapan prinsip pemilu yang bebas, jujur, dan adil. International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA-handbook 2010) menyatakan, sistem keadilan pemilu bertujuan mencegah dan mengoreksi setiap tindakan, prosedur, atau keputusan yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Konsep keadilan pemilu tidak hanya terbatas pada penegakan kerangka hukum, tetapi juga attitude penyelenggara dan segenap pemangku kepentingan utama dalam menjalankan seluruh proses pemilu. Konsep keadilan pemilu bertujuan agar setiap pelanggaran, kecurangan atau perbuatan pelanggaran kode etik diselesaikan melalui mekanisme yang diatur oleh undang-undang.
Evolusi sistem keadilan pemilu di Indonesia berjalan paralel dengan perkembangan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar (good governance and clean government). Sistem keadilan pemilu yang semula hanya dilakukan melalui pendekatan hukum pidana telah dilengkapi mekanisme penyelesaian sengketa administrasi untuk melindungi warga negara atas pelanggaran asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Hal demikian membawa konsekueansi munculnya lembaga-lembaga baru yang berfungsi menegakkan pelanggaran hukum administrasi pemilu dan etika penyelenggara pemilu. Selain merekonstruksi kelembagaan penyelenggara pemilu, UUD NRI 1945 juga mengatur pembentukan lembaga pengadilan tata negara, yaitu MK yang salah satu kewenangannya memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu.
Undang-undang kemudian menambah wewenang MK untuk memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Penyelesaian perselisihan hasil pemilu oleh MK dimaksudkan untuk menjaga kemurnian suara yang menjamin kredibilitas proses dan hasil pemilu.
Evolusi sistem keadilan pemilu di Indonesia berjalan paralel dengan perkembangan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) mengatur secara rinci jenis pelanggaran, badan/lembaga yang berwenang, posedur, dan tenggang waktu penyelesaian sengketa. Sesuai UU Pemilu, penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu dilakukan baik dari dimensi hukum maupun etika.
Jimly Asshiddiqie berpendapat penegakan hukum pemilu sangat penting, tetapi bukan segala-galanya. Kalau bekerjanya hukum hanya prosedural, niscaya jauh dari nilai-nilai keadilan. Karena itu, sistem rule of law perlu dilengkapi rule of ethics. Untuk itu, sistem keadilan pemilu semula hanya menggunakan pendekatan rule of law saat ini telah dilengkapi rule of ethics.
Beberapa badan/lembaga dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran/sengketa pemilu dengan kewenangan masing-masing yaitu Bawaslu, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Peradilan di bawah MA, yakni Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Negeri (PN). Sementara fungsi penegakan kode etik penyelenggara pemilu dilaksanakan oleh DKPP.
Baca juga: Penegakan Hukum Lemah, Kecurangan di Pemilu Akan Terus Terjadi
Bawaslu yang semula hanya melaksanakan tugas pengawasan saat ini merangkap fungsi yudisial, menerima laporan pelanggaran/sengketa dengan menempuh prosedur transparan akuntabel dan menerbitkan putusan yang besifat final mengikat kecuali terhadap tiga obyek sengketa, yaitu penetapan partai politik sebagai peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, dan DPRD serta penetapan pasangan calon.
Implementasi sistem keadilan pemilu
Penyelenggaraan Pemilu 2019 memberi pengalaman berharga bagi pelaksanaan sistem keadilan pemilu. Usaha mewujudkan keadilan pemilu menghadapi tantangan, antara lain, pertama, adanya irisan kewenangan dari beberapa lembaga yang berfungsi menegakkan hukum pemilu. Salah satu kasus menonjol adalah pemenuhan syarat calon anggota DPD.
Di tengah tahapan pencalonan DPD, MK menerbitkan putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang pada pokoknya melarang calon DPD merangkap sebagai fungsionaris partai politik. KPU kemudian menindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Nomor 26 Tahun 2018 yang pada Pasal 60A memuat kaidah sebagaimana tertuang dalam pertimbangan Putusan MK. Akibatnya, calon DPD atas nama Oesman Sapta Odang (Oso) tidak dicantumkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) karena sampai pada batas waktu yang ditentukan tidak mengundurkan diri sebagai pengurus partai.
Oso kemudian melaporkan adanya pelanggaran dan sengketa proses kepada Bawaslu karena KPU mencoret nama yang bersangkutan dari DCT. Hasilnya Bawaslu menyatakan menolak permohonan pemohon. Selanjutnya perkara bergulir ke MA dengan permohonan uji materi Pasal 60A PKPU Nomor 26 Tahun 2018.
Penyelenggaraan Pemilu 2019 memberi pengalaman berharga bagi pelaksanaan sistem keadilan pemilu. Usaha mewujudkan keadilan pemilu menghadapi tantangan.
Melalui Putusan Nomor 65 P/HUM/2018, MA menyatakan bahwa pasal tersebut tidak berlaku mengikat sepanjang diberlakukan surut. Menyusul kemudian pengajuan sengketa proses kepada PTUN Jakarta hingga terbit Putusan Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT. Putusan a quo pada pokoknya memerintahkan KPU menerbitkan keputusan untuk mencantumkan kembali nama Oso ke dalam DCT.
Berpedoman pada putusan MK, KPU tetap pada pendirian tidak mencantumkan nama Oso dalam DCT melainkan memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mengundurkan diri sebagai pengurus partai. Menanggapi keputusan KPU, Oso kembali melaporkan peristiwa tersebut sebagai pelanggaran administrasi kepada Bawaslu.
Berbeda dengan pelaporan sebelumnya, Bawaslu melalui Putusan 008/LP/PL/ADM/RI/00.00/XII/2018 tertanggal 8 Januari 2019 memerintahkan KPU untuk mencantumkan nama yang bersangkutan dalam DCT. Sebagai upaya terakhir, permasalahan ini juga diadukan kepada DKPP sebagai dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Contoh kasus di atas hendaknya tidak dilihat secara kasuistis mengingat beberapa perkara pemilu menunjukkan too many rooms for justice mengakibatkan ketidakpastian hukum. Proses peradilan oleh beberapa lembaga melahirkan putusan yang tumpang tindih yang berimplikasi pada efektivitas pelaksanaan tugas Bawaslu sehingga menerbitkan dua putusan yang berbeda.
Kedua, adanya irisan kewenangan Bawaslu dan KPU dalam penanganan pelanggaran administrasi pemilu serta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Salah satu contoh Bawaslu Kabupaten Gorontalo sesuai kewenangannya melaksanakan tugas penanganan pelanggaran administrasi atas dugaan pelanggaran Pasal 71 Ayat (3) UU Pilkada oleh calon bupati petahana karena menyalahgunakan wewenang, program, dan kegiatan untuk pemenangan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Bawaslu Kabupaten Gorontalo menyimpulkan calon bupati petahana terbukti menyalahgunakan wewenang, memanfaatkan program dan kegiatan pemerintah. Selanjutnya, diterbitkan rekomendasi kepada KPU Kabupaten Gorontalo agar yang bersangkutan diberi sanksi diskualifikasi/pembatalan sebagai pasangan calon sebagaimana ketentuan Pasal 71 Ayat (5).
Rekomendasi tersebut ditindaklanjuti KPU Kabupaten Gorontalo berpedoman kepada Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2014 dengan menempuh prosedur yang tahapan kegiatannya serupa proses penanganan pelanggaran oleh Bawaslu kabupaten, yaitu melakukan klarifikasi kepada pelapor dan terlapor, memeriksa keterangan ahli dan pihak terkait lainnya. Alhasil, keputusan KPU Kabupaten Gorontalo menegasikan rekomendasi Bawaslu kabupaten dengan menyatakan calon bupati petahana tidak terbukti melanggar Pasal 71 Ayat (3) UU Pilkada.
Irisan kewenangan antarpenyelenggara pemilu dalam penanganan pelanggaran administrasi menimbulkan penegakan hukum tidak efektif.
Kasus di atas bukan satu-satunya perkara yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020. Perkara serupa juga terjadi di beberapa daerah. Irisan kewenangan antarpenyelenggara pemilu dalam penanganan pelanggaran administrasi menimbulkan penegakan hukum tidak efektif. Sementara, pengaturan Pasal 71 Ayat (3) dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang baik dalam bentuk politisasi/mobilisasi sumber daya oleh kepala daearah atau wakil kepala daerah sehingga kontestasi berjalan secara fair, jujur, dan adil.
Selain masalah di atas, penegakan hukum pilkada serentak 2024 juga menantikan legal police sebagai tindak lanjut putusan MK Nomor 97/PUU-XI 2013. Intinya, menyatakan perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional.
Ketiga, ketidakpastian penegakan hukum politik uang (money politic) yang antara lain disebabkan oleh factor non-executable norm atau norma hukum sulit dieksekusi. UU Pemilu dan UU Pilkada telah mengatur larangan bagi peserta pemilu menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.
Peserta pemilu yang terbukti melanggar berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi diskualifikasi. Namun, pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran politik uang menurut UU mensyaratkan adanya perbuatan pelanggaran hukum secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Rumusan norma demikian menimbulkan hambatan dari aspek penindakan dan pembuktian jika politik uang dilakukan secara sporadis. Praktik politik uang dalam penyelengaraan pemilu menimbulkan dampak buruk bagi kredibilitas pemerintahan. Untuk itu, mindset pelaksana UU sepatutnya tidak hanya berorientasi pada kepastian hukum, tetapi juga keadilan dan kemanfaatan.
Baca juga: Politik Uang dan Pasar Bebas Pemilu
Arah kebijakan sistem keadilan pemilu eksisting bertujuan menjamin seluruh pelanggaran dan sengketa pemilu dapat diselesaikan secara efektif oleh badan/lembaga yang diberi mandat untuk menjaga kredibilitas proses dan hasil pemilu. Implementasi sistem keadilan pemilu perlu ditopang oleh budaya hukum segenap pemangku kepentingan agar penegakan hukum bekerja secara efektif sehingga hasil pemilu kredibel dan mempunyai legitimasi yang tinggi.
Friedman menyatakan hukum sebagai sebuah sistem terdiri atas sub-sub sistem, yaitu legal structur, legal substancy, dan legal cultur. Salah satu sub sistem tidak bekerja maka sistem hukum tidak dapat bekerja secara efektif.
Sistem keadilan pemilu bekerja efektif jika didukung peraturan perundang-undangan yang berkepastian hukum dan dapat dilaksanakan, aparatur pelaksana/penegak hukum bekerja secara obyaktif, independen, dan profesional serta budaya hukum dan perilaku para pemangku kepentingan pemilu sesuai prinsip dan nilai demokrasi Pancasila yang berketuhanan, berperikemanusiaan, dan berkeadilan sosial.
Ida Budhiati, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara