Apa pun alasannya, langkah DPR ini melanggar undang-undang, bahkan konstitusi. Masih ada kesempatan bagi DPR untuk mengoreksinya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Guntur Hamzah saat disahkan menjadi hakim konstitusi dalam Rapat Paripurna ke-7 Masa Sidang 1 Tahun Sidang 2022-2023 di Ruang Sidang Paripurna DPR RI, Jakarta, Kamis (29/9/2022).
Langkah Dewan Perwakilan Rakyat yang memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah dinilai inkonstitusional.
Penilaian itu diberikan bukan oleh sembarang orang, melainkan oleh sembilan mantan hakim konstitusi, tiga di antaranya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK): Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, dan Hamdan Zoelva. Enam lainnya ialah Maruarar Siahaan, Laica Marzuki, Harjono, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, dan I Dewa Gede Palguna.
Mereka menilai keputusan DPR itu melanggar UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 24/2003 tentang MK, baik aspek prosedur maupun materiil. DPR seyogianya memperhatikan soal ini.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Enny Nurbaningsih dan Saldi Isra, mengikuti persidangan di Gedung MK, Jakarta, 20 April 2022.
UUD 1945, Pasal 24C (6), menegaskan, pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi diatur dengan undang-undang. Pasal 23 Ayat (1) UU No 7/2020 mengatur pemberhentian hakim konstitusi dengan hormat dikarenakan alasan meninggal dunia, mengundurkan diri, berusia 70 tahun, hingga sakit jasmani rohani selama tiga bulan.
Ayat (2) menegaskan, pemberhentian tidak dengan hormat karena pidana penjara, perbuatan tercela, melanggar sumpah jabatan, hingga melanggar kode etik atau perilaku. Pemberhentian Aswanto di tengah masa jabatan tanpa alasan jelas adalah pelanggaran. Secara prosedural, pemberhentiannya pun harus diberitahukan enam bulan sebelumnya, tidak mendadak.
Memperhatikan perihal surat Ketua MK kepada Ketua DPR pada 21 Juli 2022, jelas merupakan pemberitahuan Putusan MK dan konfirmasi MK kepada lembaga pengusul bahwa ketentuan peralihan ihwal melanjutkan masa jabatan hakim konstitusi yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang saat ini sedang menjabat. Surat itu bukan meminta DPR untuk memberhentikan dan mengganti hakim konstitusi usulan DPR.
Kawat berduri dipasang di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 21 Juli 2019. Saat itu, sidang perselisihan hasil Pemilu Legislatif 2019 masih digelar di Mahkamah Konstitusi.
Namun, surat itu disikapi lain oleh DPR dengan tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto secara tiba-tiba dan menunjuk Guntur. Alasan politik dikemukakan sejumlah anggota Komisi III terkait keputusan Aswanto yang kerap tak sejalan dengan DPR, lembaga yang mengusulkannya menjadi hakim konstitusi. Ada juga yang menyebut langkah ini sebagai kesalahan DPR menafsirkan surat Ketua MK.
Apa pun alasannya, langkah DPR ini melanggar undang-undang, bahkan konstitusi. Masih ada kesempatan bagi DPR untuk mengoreksinya. Di sinilah kenegarawanan DPR diuji. DPR harus membuktikan sebagai pemimpin politik yang membuat keputusan politik taat asas dan taat konstitusi.
Persoalan ini merupakan persoalan ketatanegaraan yang baru. Pemerintah dan Mahkamah Agung belum mengaturnya. DPR tak perlu merasa akan kehilangan kewibawaan. ”Hanya politisi yang tidak turun ke lapangan yang ’imun’ dari melakukan kesalahan. Kesalahan merupakan hal inheren dalam tindakan politik,” pesan Nelson Mandela.