Kelaparan dan malnutrisi di perkotaan itu nyata. Anak sekolah di London makan karet penghapus hingga bersantap dengan kotak makanan kosong. Di sini, makanan instan minus nutrisi membanjir. Namun, belum ada solusi serius.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
Seorang bocah sibuk mengunyah sosis kemasan. Tangan kirinya menggenggam teh manis instan dalam gelas plastik. Lahap bocah usia balita itu bersantap di dalam gerobak yang ditarik seorang lelaki tak jauh dari Stasiun Palmerah, Jakarta Barat, suatu siang di awal pekan ini. Sekilas, nasib si bocah itu tampak lebih baik dibandingkan anak-anak sekolah yang kini tidak mampu membeli makan siang di Inggris.
Inggris kini memang tengah dilanda krisis energi hingga pangan. Sebagian warga di sana memilih mengurangi biaya makan serta hal lain demi mempertahankan mesin pemanas di rumahnya tetap menyala selama musim dingin.
The Guardian menuliskan sedikitnya 800.000 anak di sana hidup dalam kemiskinan yang memerangkap keluarganya dan tidak tercakup dalam program makan siang gratis di sekolah. Disebutkan pula, sampai ada anak di London makan karet penghapus di sekolah karena kelaparan. Ada pula yang pura-pura mengunyah, padahal kotak makannya kosong.
Andai saja di Inggris sana ada menu makan siang si bocah dalam gerobak. Harga sosis kemasan siap makan itu di toko kelontong dan minimarket ditebus Rp 1.000 per batang. Harga sama untuk segelas teh manis kemasan. Gurih asin plus manis cukup mengisi perut si mungil. Kenyang. Perkara produk pangan murah itu minus nutrisi dan terlalu banyak garam, gula, juga pemanis buatan, tak jadi soal ketika lapar meneror.
Kejadian di Inggris juga realita di jalanan Jakarta adalah bukti bahwa kemiskinan, kelaparan, dan malnutrisi tidak lagi milik perdesaan atau daerah terpencil, tetapi telah merasuk ke perkotaan.
Satu dari tiga anak yang mengalami tengkes kini ada di kota.
World Food Programme (WFP) menyebutkan, 2022 adalah tahun kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebanyak 828 juta orang tidur dalam keadaan lapar setiap malam, jumlah yang menghadapi kerawanan pangan akut melonjak dari 135 juta pada 2019 menjadi 345 juta orang. Sebanyak 50 juta orang di 45 negara di ambang kelaparan.
Menurut WFP, krisis kelaparan seismik ini dipicu kombinasi mematikan dari empat faktor, yaitu konflik di berbagai negara, krisis iklim, terganggunya ekonomi konsekuensi dari pandemi Covid-19, dan kenaikan berbagai biaya hidup yang tak terlepas dari tiga faktor sebelumnya.
Sebelumnya, pada 2017, Global Food Policy Report dari International Food Policy Research Institute (IFPRI) mengingatkan bahwa kemiskinan, kerawanan pangan, dan malnutrisi bergerak ke kota-kota karena populasi dunia menjadi lebih urban. Satu dari tiga anak yang mengalami tengkes (stunting) kini berada di kota.
Laporan lembaga tersebut menyatakan, jumlah penduduk miskin absolut di perkotaan naik dari 242 juta menjadi 292 juta orang. Kaum miskin di perkotaan negara berkembang meningkat dari 19 persen menjadi 25 persen dalam satu dekade. Pada 2020, sebanyak 85 persen orang miskin di Amerika Latin diperkirakan tinggal di perkotaan, seperti halnya 45 persen orang miskin di Afrika dan Asia.
Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menurut ASEAN Food and Nutrition Security Report 2021 Volume 1, prevalensi kerawanan pangan sedang sampai parah adalah 18,6 persen pada 2019. Angka itu setara dengan 122,6 juta orang tanpa akses yang konsisten terhadap pangan.
Laporan ASEAN hasil kerja sama dengan WFP dan Unicef tersebut menyebutkan, kelangkaan pangan dan infrastruktur sistem pangan buruk meningkatkan konsumsi makanan yang terkontaminasi. Setiap tahun, sekitar 52 juta orang di Asia Tenggara sakit setelah makan makanan yang tidak aman. Jutaan orang lainnya kekurangan vitamin, mineral, dan mikronutrisi lain.
Diperkirakan, 46 persen penduduk ASEAN atau setara 325 juta orang tidak mampu membeli makanan sehat. Sebagian dari ratusan juta orang itu berada di perkotaan, mengingat pertumbuhan area urban di Asia Tenggara sama pesatnya dengan banyak negara lain di Asia.
Di Indonesia, baru-baru ini Presiden Joko Widodo juga mengingatkan soal krisis pangan dunia. Dari pemberitaan beberapa media, termasuk Kompas.com, dikutip pernyataan Presiden yang menyebut bahwa, di dunia, setiap hari sebanyak 19.600 orang meninggal karena kelaparan.
Namun, Presiden meyakini Indonesia masih lebih baik. Surplus beras sejak 2019 menjadi salah satu tonggak ketahanan pangan. Klaim Presiden di satu sisi sejalan dengan Peta Rawan Pangan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang mengategorikan Indonesia memiliki tingkat kerawanan pangan rendah antara 0-9,9 persen dari total populasi. Meski demikian, Peta Kelaparan FAO 2019-2021 menunjukkan tingkat kelaparan di negeri ini 5-9,9 persen atau ada di level ketiga yang tergolong menengah.
Bisa jadi, selain beras sedang melimpah, pasokan produk pangan murah siap santap seperti halnya sosis dan minuman kemasan yang membanjiri pasar turut menyelamatkan Indonesia dari kerawanan pangan serta tentunya kelaparan.
Padahal, rata-rata produk pangan murah dan massal ini didominasi bahan penyusun tidak alami atau sangat sedikit kandungan gizinya. Penggunaan garam dan gula atau pemanis buatan disertai pengawet makanan makin mengikis kualitas produk.
Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan lembaga resmi lain, termasuk media massa seperti Kompas.id, berulang kali memublikasikan bahaya mengonsumsi rutin makanan berkualitas buruk yang dapat menyebabkan malnutrisi dan berbagai penyakit kronis.
Namun, upaya itu masih kurang merasuk hingga ke akar rumput. Kalah dengan masifnya iklan dan pemasaran berbagai produk pangan yang diragukan kualitasnya. Belum lagi efek viral yang membuat gelombang manusia mengikuti tren. Seakan semua enak dan aman dikonsumsi rutin sehari-hari. Isu kelaparan dan malnutrisi terutama di perkotaan pun dipandang sebelah mata. Bahkan, mungkin terabaikan.
Dari sisi orangtua, terlebih dengan ekonomi sulit, makanan sehat masih terlalu mahal dan tak mudah mereka akses. Akibatnya, produk pangan murah, siap saji, walau minus nutrisi itu tetap jadi pilihan utama daripada anaknya lapar dan merengek. Mereka masih punya beban pikiran dan hal lain yang harus dilakukan demi menyambung hidup di sisa hari itu.