Narasi Piring Kosong
Piring kosong merupakan simbol hak atas pangan. Piring kosong menjadi pengingat bagi banyak orang untuk memerangi kelaparan, menghargai makanan, dan meredam laju kenaikan inflasi.
Empty plate atau piring kosong kembali mengemuka belakangan ini. Tak hanya menjadi simbol memerangi kelaparan dan mengurangi sisa atau sampah makanan, piring kosong juga menjadi simbol meredam dampak kenaikan tingkat inflasi.
Istilah itu pertama kali populer dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ketahanan Pangan Dunia di Roma, Italia, pada Juni 2008. Sejumlah organisasi masyarakat mendatangi forum itu dengan membawa piring kosong, simbol hak atas pangan. Piring kosong itu juga simbol harapan bahwa jangan sampai KTT menghasilkan kebijakan kosong bagi kaum marginal.
Pada 2020, Presiden China Xi Jinping menggunakan istilah piring kosong untuk mengatasi sampah makanan yang semakin menggunung di China. Banyak media setempat dan internasional menyebut kebijakan itu sebagai ”kampanye piring kosong” atau ”operasi piring kosong” Xi Jinping.
”Setiap butir makanan di piring merupakan hasil kerja keras. Kita harus tetap menjaga rasa krisis tentang ketahanan pangan,” ujar Xi Jinping dalam pidato penyampaian misi pengurangan sampah makanan di China (The Guardian, 12 Agustus 2020).
Banyak media setempat dan internasional menyebut kebijakan itu sebagai ”kampanye piring kosong” atau ”operasi piring kosong” Xi Jinping.
Piring kosong juga kerap kali disebut dalam peringatan Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober. Dalam berbagai kesempatan, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) juga menggunakan frasa itu.
Pada 6 Juli 2022, FAO membangun kembali narasi tentang kisah piring-piring kosong, ”A Tale of Empty Plates”. Narasi itu membungkus gerakan memerangi kelaparan dan bahaya rawan pangan akibat imbas pandemi Covid-19, konflik geopolitik, serta kenaikan harga pangan dan energi.
Dalam narasi berbasis infografik visual itu, FAO menyebutkan, pada 2021, sebanyak 828 juta orang di dunia menghadapi bahaya kelaparan. Jumlah itu tiga kali lipat dari populasi di Indonesia. Di Indonesia, sebanyak 1,9 juta orang atau sekitar 0,7 persen dari total populasi masuk dalam kategori keluarga rawan pangan.
Setiap hari, masih banyak orang yang tidak mendapat makanan yang cukup. Di sisi lain, banyak orang yang menganggap sepiring makanan kebanyakan sehingga menyisakan dan membuangnya. Alangkah baiknya jika mereka yang mampu turut berbagi beban dengan negara untuk meredam dampak inflasi yang berpotensi menambah penduduk miskin dan kekurangan pangan.
Baca juga: Sampah Makanan Indonesia Mencapai Rp 330 Triliun
Food Bank, organisasi sosial dan nirlaba di Amerika Serikat dan Inggris, sebenarnya sejak lama mengusung konsep itu. Food Bank kerap menggelar penggalangan donasi tahunan untuk memberi makan pengangguran di kedua negara tersebut.
Dalam konteks saat ini, inflasi tinggi di kedua negara itu memunculkan persoalan baru, yakni krisis biaya hidup yang dialami para pekerja berpenghasilan rendah atau pas-pasan. Harga barang dan energi naik, tetapi pendapatan penduduk tetap.
Ibarat kantong bolong. Uang masuk akan kembali keluar dalam sekejap. Hal itu membuat banyak pekerja berpenghasilan pas-pasan mulai beralih ke Food Bank untuk mendapatkan bantuan makanan bersama para pengangguran.
Pada 16 September 2022, misalnya, Food Bank di Flint, Michigan, Amerika Serikat, menggalang donasi dengan target 50.000 dollar AS melalui gerakan mangkuk kosong. Mangkuk kosong hasil karya seniman dan siswa Flint Institute of Arts itu menjadi pengingat bagi banyak orang. Mangkuk kosong adalah simbol makanan yang hilang yang dialami oleh tetangga-tetangga kita.
Mangkuk kosong adalah simbol makanan yang hilang yang dialami oleh tetangga-tetangga kita.
Kisah Indonesia
Setiap negara, termasuk Indonesia, sebenarnya memiliki kisah piring atau mangkuk kosong masing-masing. Kenaikan tingkat inflasi berpotensi membuat kisah itu semakin kelabu.
Kisah piring kosong tidak hanya milik keluarga miskin dan rawan miskin, tetapi juga bakal menjadi kisah tergerusnya penghasilan keluarga kelas menengah. Ingat, Lembaga Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menyebutkan, setiap kenaikan 10 persen harga pangan akan menurunkan 5 persen pendapatan keluarga.
Baca juga: Hati-hati Lubang Krisis Biaya Hidup
Agar kisah tersebut tak menjadi pilu, setiap negara meningkatkan pengeluaran fiskalnya untuk memberikan perlindungan sosial. Pemerintah Indonesia memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Rp 150.000 per bulan bagi keluarga tidak mampu. BLT itu diberikan selama empat bulan kepada 20,6 juta keluarga penerima manfaat.
Pemerintah juga menyalurkan bantuan subsidi upah bagi 16 juta pekerja bergaji maksimal Rp 3,5 juta per bulan sebesar Rp 600.000. Melalui Badan Pangan Nasional dan Perum Bulog, pemerintah juga bakal menyalurkan 20 kilogram beras bagi keluarga tidak mampu secara bertahap hingga akhir tahun ini. Selain itu, pemerintah pusat juga meminta pemerintah daerah meredam laju kenaikan inflasi dengan memanfaatkan dana alokasi umum atau bagi hasil.
Baca juga: Jaga Daya Beli, Pemerintah Siapkan Tiga Bantalan
Perlindungan sosial itu hanya sebagai bantalan hidup sementara. Tanpa ada kenaikan penghasilan masyarakat, kenaikan harga BBM dan dampaknya ke multisektor tetap memunculkan krisis biaya hidup. Negara bakal terus mengeluarkan dana perlindungan sosial.
Sementara itu, masih banyak perusahaan yang belum benar-benar pulih dari dampak pandemi Covid-19 juga terimbas inflasi. Biaya produksi dan operasional meningkat akibat kenaikan harga bahan baku dan biaya transportasi logistik. Mereka pasti akan berpikir panjang menghitung kemampuan keuangan untuk menambah biaya operasional, ekspansi usaha, dan upah pekerja.
Kondisi itu memaksa keluarga miskin dan keluarga berpenghasilan pas-pasan bertahan hidup agar piring mereka tetap terisi. Butuh berbagai upaya konkret agar kisah piring kosong Indonesia tak kelabu. Tak cukup jika hanya bersandar pada negara.
Baca juga: Fenomena ”Lunchflation”