Hati-hati Lubang Krisis Biaya Hidup
Harga pangan dunia masih tinggi. UNCTAD menyebutkan, setiap kenaikan 10 persen harga pangan akan menurunkan 5 persen pendapatan keluarga.
Serba naik dan serba mahal. Itulah yang dialami masyarakat dunia saat ini, termasuk Indonesia, menyusul kenaikan harga pangan dan energi. Bila tak dimitigasi, krisis biaya hidup bisa terjadi.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, harga pangan dunia masih tinggi kendati mulai turun dua bulan terakhir ini. Namun, kenaikan harga pangan masih berpotensi terjadi akibat restriksi ekspor pangan, hambatan logistik, anomali cuaca, dan perang Rusia-Ukraina.
Indeks Harga Pangan FAO (FFPI) pada Mei 2022 sebesar 157,4, turun tipis 0,6 persen secara bulanan dan naik 22,8 persen secara tahunan. FFPI sempat berada di level tertinggi dalam sejarah pada Maret 2022, yakni 159,7, dan mulai turun pada April 2022 menjadi 158,3.
Kenaikan harga pangan itu ditambah lonjakan harga energi mulai membawa efek lanjutan, yaitu krisis biaya hidup. Lembaga Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) melaporkan, negara-negara yang memiliki utang besar sudah mulai terpapar krisis itu.
Bahkan, penduduk miskin negara tersebut rentan jatuh ke ”lubang” yang lebih dalam, yakni kelaparan. Negara-negara tersebut berada di kawasan Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa Timur, Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Timur, Amerika Latin, dan Karibia.
UNCTAD juga menyebutkan, setiap kenaikan 10 persen harga pangan akan menurunkan 5 persen pendapatan keluarga. Kehilangan pendapatan sebesar 5 persen itu semakin menambah beban hidup keluarga, mengingat mereka masih harus mengeluarkan biaya untuk kebutuhan lain, seperti kesehatan.
Setiap kenaikan 10 persen harga pangan akan menurunkan 5 persen pendapatan keluarga. Kehilangan pendapatan sebesar 5 persen itu semakin menambah beban hidup keluarga.
Penurunan pendapatan itu justru terjadi saat penghasilan mereka belum pulih dari imbas pandemi Covid-19. Organisasi Buruh Dunia (ILO) mencatat, 60 persen pekerja di seluruh dunia memiliki pendapatan yang lebih rendah dari sebelum pandemi.
Beban hidup
Bagaimana dengan Indonesia? Di tengah tren positif pemulihan ekonomi domestik, kenaikan inflasi membayangi. Inflasi tersebut terjadi akibat kenaikan harga sejumlah pangan pokok, gas dan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi, serta biaya produksi dan logistik. Faktor lainnya adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 11 persen.
Kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) global juga merembet ke Indonesia. Harga minyak goreng sawit melonjak tinggi. Masyarakat juga sempat kesulitan memperoleh minyak goreng lantaran minyak goreng dan bahan bakunya banyak yang diekspor.
Tak hanya itu, Indonesia juga terimbas kenaikan harga gandum, kedelai, daging, dan jagung global. Belum lagi persoalan ”penyakit” tahunan atau musiman, yakni harga cabai dan bawang merah juga turut melanda, serta munculnya wabah penyakit mulut dan kuku.
”Saya sempat shocked. Pembeli mengeluh, pedagang juga mengeluh. Terasa sekali memang beban hidup meningkat akibat kenaikan harga semua kebutuhan pokok, kecuali beras,” kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan seusai mengunjungi Pasar Cibubur, Jakarta Timur, Kamis (16/6/2021).
Baca juga : Jalan Terjal Menjinakkan Harga
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menuturkan, kenaikan harga pangan olahan atau makanan jadi tidak terelakkan. Hal itu disebabkan, antara lain, oleh kenaikan harga bahan baku, biaya logistik, energi, dan PPN.
Saat ini, biaya produksi sudah naik hingga 10 persen sehingga menyebabkan profit mereka turun. Sejumlah pelaku usaha dan industri pangan olahan mulai menghitung ulang modal, keuntungan, dengan biaya produksi.
”Mereka sudah mulai menaikkan harga produknya sekitar 5 persen pada awal semester II-2022,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi Mei 2022 cenderung meningkat ke level 3,55 persen secara tahunan, tertinggi sejak Desember 2017. Sementara Bank Indonesia memperkirakan inflasi pada 2022 bisa mencapai 4,2 persen atau di atas sasaran inflasi yang ditetapkan pemerintah sebesar 2-4 persen.
Di sisi lain, pendapatan masyarakat, khususnya pekerja, mulai meningkat pada tahun ini. Namun, hal itu dibarengi dengan tren kenaikan pengeluaran konsumsi masyarakat. BPS menunjukkan, rata-rata upah buruh/karyawan/pegawai pada Februari 2022 sebesar Rp 2,89 juta per bulan, naik 1,12 persen dibandingkan Februari 2021. Namun, besaran upah itu masih lebih rendah dari tahun 2019 atau sebelum pandemi yang sebesar 2,91 juta per bulan.
Sementara itu, pengeluaran konsumsi penduduk pada 2021 sebesar Rp 1,22 juta per bulan, naik 3,17 persen dari 2020. Berdasarkan pos pengeluarannya, penduduk Indonesia menghabiskan Rp 622.800 per bulan untuk konsumsi makanan dan Rp 641.700 untuk konsumsi non-makanan. Dengan kenaikan harga pangan dan energi pada 2022, pengeluaran konsumsi penduduk diperkirakan akan semakin meningkat.
Baca juga : Inflasi dan Pengangguran Bayangi Tren Positif Pertumbuhan Ekonomi
Pilihan kebijakan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah harus mengantisipasi dan mewaspadai dampak yang ditimbulkan dari hambatan pertumbuhan global dan lonjakan inflasi. Tantangan inflasi global, dan pengetatan moneter menimbulkan situasi pilihan kebijakan yang sangat sulit yang dihadapi oleh semua negara di dunia.
”Perang di Rusia-Ukraina telah menyebabkan disrupsi sisi produksi sehingga mendorong kenaikan ekstrem harga-harga komoditas global,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di Jakarta, Jumat (20/5/2022).
Menghadapi hal tersebut, pemerintah dihadapkan kepada dua alternatif kebijakan. Pertama, segera mengembalikan stabilitas harga atau mengendalikan inflasi. Pilihan ini dilakukan dengan pengetatan moneter dan fiskal yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pilihan kedua adalah tetap mendukung akselerasi pemulihan ekonomi yang telah terpukul sangat dalam akibat pandemi.
Menurut Sri Mulyani, pilihan kebijakan yang sangat sulit ini perlu dikelola dengan baik. Jika tidak, akan menciptakan kondisi global yang disebut stagflasi, yaitu fenomena inflasi tinggi yang dibarengi dengan resesi, seperti yang pernah terjadi pada periode awal 1980 dan 1990 akhir.
”Kondisi stagflasi akan memberikan imbas negatif ke seluruh dunia, terutama terhadap negara-negara berkembang. Perubahan risiko global ini harus menjadi fokus perhatian dan harus kita kelola secara tepat langkah dan tepat waktu, hati-hati namun efektif,” katanya.
Risiko global akan menciptakan kondisi global yang disebut stagflasi, yaitu fenomena inflasi tinggi yang dibarengi dengan resesi, seperti yang pernah terjadi pada periode awal 1980 dan 1990 akhir.
Baca juga : ”Daur Ulang” Hasil ”Booming” Komoditas Guna Jaga Tren Pertumbuhan
Pada tahun ini, pemerintah memfokuskan APBN 2022 untuk menjaga daya beli dan harga sejumlah energi. Selain untuk penanganan pandemi Covid-19, anggaran negara juga digunakan untuk tambahan subsidi energi, kompensasi bahan bakar minyak dan listrik, serta bantuan sosial. Konsekuensinya, defisit APBN 2022 bisa melebar di atas 4,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Sementara itu, Senior Resident Representative Dana Moneter Internasional (IMF) untuk Indonesia, James P Walsh, dalam wawancara dengan harian Kompas di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (8/6/2022), menuturkan, terdapat dua hal yang menjadi perhatian IMF terkait risiko stagflasi. Pertama, inflasi tinggi harus direspons dengan kebijakan moneter berupa suku bunga tinggi agar inflasi bisa ditarik turun.
Kebijakan moneter ini berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi. Risiko stagflasi bagi Indonesia akan memengaruhi neraca perdagangan karena perlambatan ekonomi dari mitra-mitra dagang penting seperti Amerika Serikat dan China. Perlambatan pertumbuhan ekonomi AS bukanlah hal yang baik untuk kinerja ekspor Indonesia.
Kedua, lanjutnya, dengan adanya tren inflasi tinggi yang terjadi di seluruh dunia berarti semakin tinggi juga tingkat ketidakpastian soal aset keuangan, terutama soal nilai tukar mata uang dan tingkat suku bunga bank sentral. ”Tren suku bunga tinggi di negara-negara maju berarti aliran modal keluar menuju negara safe haven akan semakin kencang. Kombinasi dari kedua potensi risiko ini perlu diantisipasi oleh Pemerintah Indonesia,” ujarnya.