Bauran kebijakan diharapkan dapat meredam kenaikan inflasi, bahkan potensi stagflasi di Indonesia. Cukupkah langkah-langkah itu?
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Jalan pangan global semakin terjal di tengah tren pemulihan permintaan dan meredanya pandemi Covid-19. Perang Rusia-Ukraina ditambah restriksi ekspor sejumlah negara produsen pangan memperlambat laju penurunan harga pangan dan energi. Stagflasi atau perekonomian yang tidak bertumbuh dibarengi dengan kenaikan inflasi pun menanti.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menyebutkan, harga pangan dunia masih tinggi kendati mulai turun dua bulan terakhir ini. Namun, kenaikan harga pangan masih berpotensi terjadi akibat restriksi ekspor, hambatan logistik, anomali cuaca, dan perang Rusia-Ukraina.
FAO merilis, Indeks Harga Pangan FAO (FFPI) pada Mei 2022 sebesar 157,4, turun tipis 0,6 persen secara bulanan dan naik 22,8 persen secara tahunan. FFPI sempat berada di level tertinggi dalam sejarah pada Maret 2022, yakni 159,7, dan mulai turun pada April 2022 menjadi 158,3.
Sepanjang Mei 2022, harga minyak nabati, susu, dan gula mulai turun. Namun, harga serealia dan daging justru naik. Harga gandum internasional naik 5,6 persen secara bulanan dan 56,2 persen secara tahunan, masih 11 persen di bawah rekor harga tertinggi pada Maret 2008.
Kenaikan harga gandum itu terjadi lantaran larangan ekspor gandum India dan penurunan produksi di Ukraina akibat perang. Selang tak lama, India juga mengumumkan pembatasan ekspor 10 juta ton gula per 1 Juni 2022.
Stagflasi atau kondisi ekonomi yang tidak bertumbuh dibarengi dengan kenaikan inflasi pun menanti.
International Food Policy Research Institute (IFPRI) menyebutkan, sejak invasi Rusia atas Ukraina pada 24 Februari 2022, jumlah negara yang membatasi ekspor bertambah. Per 1 Juni 2022, sebanyak 20 negara masih aktif membatasi ekspor komoditas pangan, tujuh negara menerapkan perizinan khusus ekspor dan tiga negara menaikkan pajak atau pungutan ekspor. Komoditas itu, antara lain, gandum, gula, beras, daging, minyak sawit mentah (CPO), serta minyak dan biji bunga matahari.
Tak hanya itu, sektor pertanian global bakal semakin tertekan akibat larangan dan pembatasan ekspor pupuk. Para petani bakal menanggung kenaikan biaya produksi pertanian. IFPRI menyebutkan, empat negara masih aktif membatasi ekspor pupuk, dua negara menerapkan perizinan khusus ekspor, dan satu negara menaikkan pajak ekspor pupuk.
Kondisi tersebut membuat negara-negara produsen pangan di dunia dihadapkan pada dilema. Mengamankan stok dan harga di dalam negeri untuk menekan tingkat inflasi atau mengekspor komoditasnya demi menjaga keberlangsungan dunia usaha dan petani serta devisa dan pendapatan negara. Meski berpotensi digugat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), negara-negara tersebut tetap memilih melindungi ekonomi domestik.
WTO sebenarnya tidak optimal memerangi proteksionisme pangan sejak Amerika Serikat berperang tarif dengan China. Bahkan negara-negara anggota WTO yang menyerukan reformasi WTO dan mendorong perdagangan multilateral juga memiliki kepentingan untuk melindungi kepentingan domestik. Sebanyak 60 negara, termasuk Indonesia, meminta WTO melonggarkan regulasi tentang subsidi dan cadangan pangan.
Permintaan itu merupakan salah satu bagian dari pembahasan tiga draf teks yang akan diputuskan dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO Ke-12 pada 12-15 Juni 2022 di Geneva, Swiss. Ketiga teks itu meliputi rancangan keputusan menteri tentang reformasi perdagangan pertanian, rancangan deklarasi menteri tentang perdagangan dan ketahanan pangan, serta rancangan deklarasi menteri tentang pembebasan komoditas pangan yang dibeli Program Pangan Dunia (WFP) PBB untuk tujuan kemanusiaan dari larangan ekspor.
Sama seperti kebanyakan negara lain, Indonesia tengah bergelut mengendalikan harga pangan dan energi di dalam negeri karena imbas kenaikan harga komoditas global. Rembetannya ke inflasi domestik sudah mulai terasa. Serangkaian kebijakan diambil untuk menjaga bisnis atau ekspor tetap berjalan, kebutuhan domestik terpenuhi, serta pendapatan negara dan daya beli tetap terjaga.
Di sektor pangan, kebijakan yang diambil antara lain membuka-menutup ekspor CPO dan sejumlah produk turunan, menerapkan kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik (DMO), menyubsidi harga kedelai impor Rp 1.000 per kg dan minyak goreng. Pemerintah juga mendistribusikan minyak goreng curah seharga Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg dan mencari alternatif negara sumber impor gandum.
Tantangan tersebut semakin bertambah kala penyakit mulut dan kuku muncul. Empat daerah di Jawa Timur (Mojokerto, Gresik, Sidoarjo, dan Lamongan) dan satu kabupaten di Aceh (Aceh Tamiang) telah ditetapkan sebagai daerah wabah PMK. Per 31 Mei 2022, total kasus PMK yang terkonfirmasi mencapai 29.998 ekor. Ini membuat pemerintah berupaya mempercepat impor daging sapi dan kerbau beku guna menstabilkan stok dan harga daging sapi di dalam negeri.
Di sektor fiskal, pemerintah memfokuskan APBN 2022 untuk menjaga daya beli dan harga sejumlah energi. Selain untuk penanganan pandemi Covid-19, anggaran negara itu juga digunakan untuk tambahan subsidi energi, kompensasi bahan bakar minyak dan listrik, serta bantuan sosial. Konsekuensinya, defisit APBN 2022 bisa melebar di bawah 4,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Bauran kebijakan itu diharapkan dapat meredam kenaikan inflasi, bahkan potensi stagflasi di Indonesia. Cukupkah langkah-langkah itu?
Di sektor moneter, Bank Indonesia tetap mempertahankan suku bunga acuan di tengah kenaikan inflasi dan kenaikan suku bunga acuan sejumlah bank sentral negara lain. Hal ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit di tengah tren positif pemulihan ekonomi.
Bauran kebijakan itu diharapkan dapat meredam kenaikan inflasi, bahkan potensi stagflasi di Indonesia. Cukupkah langkah-langkah itu? Belum. Masih dibutuhkan satu lagi pilar penjaga ekonomi Indonesia, yakni korporasi swasta. Itikad baik menjaga ekonomi dengan tidak memanfaatkan situasi mengejar keuntungan sebesar-besarnya dibutuhkan untuk menjaga Indonesia.