Pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 24,17 triliun untuk tiga jenis bantalan sosial. Tambahan itu diharapkan menjaga daya beli masyarakat yang tertekan oleh kenaikan harga barang.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyiapkan tiga bantalan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat yang berisiko terdampak kebijakan bahan bakar minyak. Sebanyak Rp 24,17 triliun anggaran dialokasikan untuk tiga jenis bantuan tersebut. Targetnya, bantuan bisa dieksekusi mulai pekan ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seusai rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (29/8/2022), menyebutkan, ketiga jenis bantalan sosial meliputi bantuan langsung tunai, bantuan subsidi upah, dan bantuan dari dana transfer umum.
Bantuan langsung tunai (BLT) akan diberikan kepada 20,65 juta keluarga penerima manfaat. Menurut rencana, bantuan dibayarkan dua kali oleh Kementerian Sosial melalui kantor Pos Indonesia di seluruh Tanah Air, yakni Rp 300.000 mulai pekan ini dan sisanya menjelang Desember 2022.
Adapun bantuan subsidi upah akan diberikan kepada 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp 3,5 juta per bulan. Setiap pekerja mendapat bantuan senilai Rp 600.000 yang dibayarkan sekali oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
Selain itu, kata Sri Mulyani, Presiden Jokowi juga meminta pemerintah daerah untuk menggunakan 2 persen dana transfer umum (DTU) guna membantu sektor transportasi, seperti angkutan umum, ojek, dan nelayan, serta memberikan perlindungan sosial tambahan.
Secara keseluruhan, total anggaran yang dialokasikan untuk tiga bantalan sosial itu mencapai Rp 24,17 triliun. Jumlahnya terdiri dari Rp 12,4 triliun untuk BLT, Rp 9,6 triliun untuk bantuan subsidi upah, serta Rp 2,17 triliun untuk bantuan sektor transportasi dan perlindungan sosial tambahan.
”Selama ini, kan, setiap bulan pemerintah pusat mengirim dana alokasi umum dan DBH (dana bagi hasil). (Alokasi bantuan DTU) Itu, 2 persen dari DAU dan DBH, diminta untuk diberikan kepada masyarakat dalam bentuk bantuan-bantuan untuk transportasi dan juga untuk ojek, nelayan, dan tambahan bantuan sosial,” ujarnya.
Kementerian Keuangan juga akan menerbitkan peraturan menteri guna mengatur 2 persen dana transfer umum yang hendak diberikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi transportasi. Menurut dia, bantuan sosial yang diberikan oleh Kementerian Sosial sudah cukup besar, tetapi pemerintah daerah tetap diminta berpartisipasi.
”Semoga berbagai bantalan sosial itu melindungi daya beli masyarakat yang memang pada hari-hari ini dihadapkan pada tekanan kenaikan harga serta mengurangi angka kemiskinan di Indonesia,” ujarnya.
Presiden meminta seluruh bantuan hasil pengalihan subsidi BBM itu sudah dan akan mulai dieksekusi pekan ini. Menurut dia, eksekusi BLT diharapkan bisa segera dilakukan. Demikian pula dengan bantuan upah yang sebelumnya pernah dilakukan oleh pemerintah.
Menteri Sosial Tri Rismaharini menambahkan, bantuan tersebut di luar bantuan sosial rutin yang diberikan selama ini. Berdasarkan pengalaman Kementerian Sosial dan PT Pos Indonesia (Persero), penyaluran bantuan hingga di lokasi terjauh dapat diselesaikan tidak sampai dua minggu. ”Saat ini (bantuan) sebetulnya sudah siap, tetapi nanti per 1 September, sekalian bantuan sosial yang rutin,” ujarnya.
Dampak kenaikan
Sebelumnya, Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengalkulasi kenaikan harga pertalite dan biosolar, masing-masing Rp 2.850 per liter, cukup untuk mengompensasi kebutuhan anggaran BBM bersubsidi hingga akhir tahun. Menurut dia, menaikkan harga pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.500 per liter serta harga biosolar dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 8.000 per liter bisa berdampak pada terkereknya inflasi ke level 6,8-7,2 persen tahun ini.
”Kenaikan harga BBM bersubsidi dapat memberikan efek lanjutan pada kenaikan harga bahan pangan, bahan bangunan, dan transportasi. Setiap ada inflasi, yang paling terkena imbasnya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah karena porsi bahan pangan dalam konsumsi mereka paling besar,” ujar Satria.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menyatakan, untuk mencapai defisit anggaran di bawah 3 persen produk domestik bruto (PDB), efisiensi anggaran perlu dilakukan sejak tahun ini.