Bagaimana kehidupan sosial dan karakter kita setelah era internet mendominasi?
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Sebelum hadirnya internet, kita lebih mudah paham bahwa manusia bukanlah makhluk sempurna. Sesekali, kita membiarkan diri sendiri yang tidak mampu berkonsentrasi, kelelahan, atau ingin bersantai sejenak. Kita juga maklum bila sesekali rekan kerja, atasan, atau bawahan terlambat dari tenggat, mengeluh sedang ada masalah keluarga, dan mangkir dari tempat kerja.
Internet mengubah segala-galanya. Bila dulu ada waktu jelas yang dialokasikan untuk tidur, sekarang kita lebih banyak terus terjaga. Tengah malam, kita merasa sayang meninggalkan drama Korea yang sedang ditonton, dan akan keterusan. Atau kita sulit menutup komputer, apalagi mitra kerja di belahan dunia lain sedang sibuk beraktivitas dan tidak jarang mengajak berdiskusi yang harus segera direspons.
Sistem produksi
Dulu, keuntungan dapat diperoleh lebih besar. Sekarang, bisnis daring menyebabkan semua informasi terbuka dan harga dengan mudah dibandingkan. Penjual berlomba-lomba menurunkan harga, dan pelbagai promo disodorkan untuk menarik pembeli sehingga batas keuntungan menjadi sangat tipis. Akibatnya, agar memperoleh keuntungan yang signifikan, atau supaya bisnis dapat terus bertahan, jam kerja menjadi lebih panjang, dan kita dituntut untuk terus memikirkan inovasi produk dan pemasaran.
Saya tidak ingin mengeluh apalagi mengajak pembaca untuk menjadi pesimistis. Saya hanya ingin berbagi perenungan bahwa hidup yang diperantarai internet berbeda karakteristiknya dengan hidup sebelum masa internet mendominasi kita. Sebagian dari perubahan itu telah terjadi saat ini. Semuanya berdampak mendasar pada psikologi manusia.
Bila tidak hati-hati, psikologi dapat sekadar menjadi alat dari sistem produksi yang menuntut manusia menjadi makhluk sempurna.
Salah satunya ialah sistem produksi yang ada seolah menuntut manusia untuk menjadi makhluk sempurna. Siap berkompetisi dengan mesin dan manusia lain, memiliki literasi data dan teknologi, sigap dengan informasi lengkap dan terkini, kreatif dan inovatif, serta pandai menangkap peluang. Bila tidak demikian, ia mungkin dikalahkan, tidak dapat bertahan, atau hanya mampu bertahan hidup dalam pelbagai keterbatasan.
Padahal, manusia memiliki keterbatasannya, dapat kelelahan, kadang sedih karena ditinggalkan orang yang dicintai, marah karena diperlakukan tidak adil, kesepian karena tidak mempunyai teman, jatuh sakit, dan mungkin sulit berkonsentrasi kerja dalam keadaan demikian.
Lebih lagi, tidak semua manusia dilahirkan dengan perangkat yang istimewa. Ada yang memiliki keterbatasan fisik. Tidak semua memiliki inteligensi tinggi, kreatif, ataupun inovatif. Ada yang terlahir dengan kebutuhan-kebutuhan khusus, atau disabilitas serius. Ada pula yang dibesarkan dalam keluarga yang disfungsional atau sangat berkekurangan. Lingkungan bukannya mengayomi dan memberi dukungan pertumbuhan, tetapi malah mempersulit individu bertumbuh.
Peran psikologi
Tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis dasar, kompetisi yang seolah tidak berkesudahan, dan kelelahan dapat memunculkan berbagai masalah lanjutan. Bila tidak hati-hati, psikologi dapat sekadar menjadi alat dari sistem produksi yang menuntut manusia menjadi makhluk sempurna.
Untuk dapat terus berperan signifikan, tampaknya psikologi perlu menjalankan fungsi kritis dalam penelitian ataupun intervensi untuk menyumbangkan pengetahuan psikologi dan penanganan, yang temuannya akan sekaligus menghadirkan keseimbangan.
Dari sisi kognisi, membantu manusia mengembangkan metakognisinya seoptimal mungkin. Sebab, kita perlu memiliki literasi data, berpikir kompleks, cepat dan terbuka, serta kritis dalam mengolah informasi yang diperoleh dari media sosial. Penting pula agar manusia tetap memimpin dalam kerja sama dengan teknologi.
Dari sisi sikap kerja, psikologi perlu merancang pembelajaran untuk meningkatkan ketangguhan, kemampuan bersikap terbuka, kemampuan berpikir kreatif dan inovatif, serta kesigapan menangkap peluang.
Kecemasan dan ketegangan berkompetisi dapat menjebak orang-orang muda untuk sibuk dengan diri sendiri karena khawatir dikalahkan, didahului oleh orang lain, atau kehilangan kesempatan untuk mempunyai peran signifikan dalam dunia kerja. Manusia jadi tidak terlatih bekerja sama dan menganggap itu tidak penting.
Dapat pula terjadi, orang muda tidak bersosialisasi sekadar karena panik, kewalahan mengelola situasi, atau kelelahan. Atau karena mereka lahir di era internet dan dibesarkan bertahun-tahun dalam pandemi dan pascapandemi sehingga meski merasa terisolasi, tidak mengerti bagaimana caranya membangun relasi.
Kita tak lagi memiliki kesempatan, waktu, dan energi untuk bersosialisasi dan memberikan perhatian secara riil kepada orang lain. Tentang ini, justru psikologi perlu selalu mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk hidup dengan keunikan khas manusiawi, dengan kebutuhan psikologis dasar yang harus tetap dipenuhi.
Berhubungan dekat dan saling memberi perhatian dengan orang lain itu penting untuk kebahagiaan dan kesehatan mental. Relasi yang sifatnya parasosial melalui media sosial mungkin tidak terhindarkan dan baik saja dilakukan, tetapi akan lebih baik bila juga ada relasi yang lebih otentik dan langsung.
Peran dalam memastikan manusia tetap bahagia dan sehat mental dalam hidup yang diperantarai internet sangat penting untuk tetap dipertahankan dan diperkuat oleh psikologi. Perspektif ini perlu menjadi bagian yang utuh dalam membantu manusia masa kini beradaptasi dengan berbagai tantangan baru. Bukan sekadar dibahas ketika diperlukan intervensi bagi siswa yang mengalami serangan panik, atau pekerja yang depresi.
Pada akhirnya, berelasi nyata dengan orang lain juga memungkinkan kita memiliki kepedulian sosial. Dengan demikian, kita dapat terus mempertahankan nilai-nilai baik, seperti kesabaran, kerja sama, dan keinginan menolong, sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang diperlukan dalam masyarakat jaringan.