Universitas Indonesia mengukuhkan Elizabeth Kristi Poerwandari sebagai Guru Besar Fakultas Psikologi. Dalam pidatonya, ia menjelaskan dampak teknologi bagi kesehatan mental.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan teknologi di era industri 4.0 tidak hanya menghadirkan kemudahan bagi manusia, tetapi juga berdampak pada munculnya gangguan kesehatan mental. Karena itu, penerapan ilmu psikologi yang inovatif dibutuhkan untuk meminimalkan dampak buruk penggunaan teknologi terhadap kondisi kesehatan mental.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Elizabeth Kristi Poerwandari mengatakan, era industri 4.0 ditandai, antara lain, dengan otomasi, kecerdasan buatan, dan realitas virtual. Era ini turut memengaruhi psikologi manusia, lalu berpengaruh ke kehidupan pribadi dan sosial masyarakat.
”Permasalahan kesehatan mental itu terkait dengan bagaimana manusia bereksistensi dengan alam teknologi,” kata Kristi saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, secara daring, di Universitas Indonesia, Sabtu (16/10/2021).
Sejumlah persoalan kesehatan mental yang muncul, seperti stres, depresi, dan cemas. Ada juga yang terobsesi menjadi sempurna di media sosial. Hal itu dipicu, antara lain, individu mengalami pembandingan sosial. Di sisi lain, teknologi memampukan individu menciptakan realitas baru di dunia maya.
Permasalahan kesehatan mental itu terkait dengan bagaimana manusia bereksistensi dengan alam teknologi.
Pemanfaatan teknologi yang semakin masif saat pandemi Covid-19 juga meminimalkan interaksi tatap muka. Hal itu menurunkan kemampuan individu untuk berempati. Menurut Kristi, dalam komunikasi virtual, individu sulit menangkap ekspresi wajah dan bahasa tubuh orang lain. Hal itu memicu kesalahpahaman dan perundungan menjadi lebih mudah terjadi.
Beberapa orang akhirnya menarik diri dari kehidupan sosial di dunia nyata dan fokus pada dunia virtual. Fenomena ini terjadi di Jepang dan disebut hikikomori.
Perkembangan teknologi ikut menggeser perilaku seksual publik. Kehadiran aplikasi kencan memfasilitasi anak muda yang sulit berteman karena minimnya pertemuan tatap muka. Namun, selain untuk mencari teman, aplikasi kencan juga digunakan untuk mencari pasangan seksual tanpa komitmen. Munculnya aplikasi ini juga sejalan dengan munculnya istilah-istilah baru, seperti friend with benefit, casual sex, dan hook-up.
Menurut Kristi, di era digital, sebagian orang mencari keintiman melalui aplikasi kencan. Model hubungan konvensional—yang umumnya dimulai dari berkenalan, tatap muka, hingga pendekatan—berubah. ”Ikatan emosional dan komitmen dianggap merepotkan. Konsep keintiman, komitmen, dan kesetiaan mungkin kini dimaknai secara berbeda,” ucap Kristi.
Menurut Kristi, persoalan masyarakat digital tidak dapat diatasi secara individualis, tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Sebab, tidak semua orang dapat dituntut menjadi cerdas atau tangguh. Beberapa orang tidak memiliki keistimewaan, sedangkan semua individu berhak mendapat kehidupan berkualitas.
Adapun ilmu psikologi punya peran strategis dalam hal ini. Publik perlu difasilitasi untuk paham tentang tubuh, ruang, konteks sosial, dan hubungan semuanya. Pendekatan ini dinilai relevan untuk merespons turunnya empati di masyarakat.
”Selama ini psikologi bekerja dengan asumsi bahwa dunia bekerja secara mekanis, dapat diramal dan dikendalikan. Ada pula teori relasi antarindividu melalui tatap muka. Tapi, sejauh apa teori yang ada relevan (dengan masa kini)? Apa ada pendekatan penelitian yang perlu diperbaiki?” kata Kristi.
Kristi menambahkan, ilmu psikologi perlu menjadi pengetahuan dasar sekaligus relevan untuk menjawab tantangan zaman. Hasil penelitian perlu digunakan juga untuk membantu manusia menguasai lingkungan dan menjaga kesehatan mental.
Lebih jauh, ilmu psikologi dinilai perlu mendukung inovasi bagi kesejahteraan semua orang. Masukan yang terbuka dan krisis tentang ilmu psikologi pun dibutuhkan.
Selain Kristi, Rektor UI Ari Kuncoro turut mengukuhkan empat guru besar lainnya, yakni dua Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, satu Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi UI, dan satu Guru Besar Fakultas Ilmu Komputer UI. Hingga 13 Oktober 2021, guru besar UI berjumlah 290 orang.