Ketika Biaya dan Ketidaktahuan Jadi Kendala Layanan
Meski masalah kesehatan jiwa tinggi, informasi ketersediaan layanan dan biaya menjadi kendala bagi sebagian orang yang membutuhkan layanan konsultasi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Sejumlah orang yang mengalami gangguan kesehatan mental selama pandemi Covid-19 menyatakan ingin mengakses layanan psikologi. Namun, mereka terkendala biaya dan minimnya informasi layanan kesehatan mental.
Penduduk Sumedang, Jawa Barat Shinta (25), mengaku ingin berkonsultasi dengan psikolog tentang kecemasannya. Sebelumnya, ia kerap gelisah dan sulit tidur karena tekanan pekerjaan. Ia kini menganggur setelah nekat mundur dari pekerjaannya beberapa bulan silam.
Mencari pekerjaan jadi hal sulit kala pandemi. Lapangan pekerjaan relatif minim, padahal orang yang mencari pekerjaan ada banyak. Shinta merasa jalan di tempat, sementara orang lain di media sosial menunjukkan pencapaian masing-masing. Ia berhenti membuka Instagram akibat hal itu.
”Sampai sekarang saya ingin konsultasi dengan psikolog karena tidak mau self-diagnosis. Tapi, itu, kan, butuh biaya. Jadi, ya, sudah lah,” kata Shinta, akhir pekan lalu.
Ia juga mengaku tidak tahu di mana layanan konsultasi terdekat. Layanan konsultasi melalui aplikasi telemedis bukan pilihan utama baginya karena berbayar. Ia juga mengaku tidak tahu bahwa pemerintah menyediakan layanan kesehatan jiwa melalui pusat panggilan (call center) 119.
Sementara itu, lulusan universitas swasta di Jakarta, Via (22), juga terkendala biaya untuk mengakses layanan psikologi. Ia rutin berkonsultasi dengan psikiater dan mengonsumsi obat sejak 2018. Tapi, ia hentikan pada 2020.
”Semakin ke sini, semakin mahal rasanya (untuk berobat). Untung saya kenal psikolog yang sudah seperti teman sendiri. Sampai sekarang mereka masih mengontrol dan menanyakan kondisiku,” tuturnya.
Via merasa bahwa bantuan teman psikolognya akan cukup jika ditambah dengan tekad untuk sembuh. Ia kini berupaya mengontrol diri agar tidak ketergantungan pada obat. Adapun Via mengalami serangan kecemasan (anxiety attack) dan gangguan stres pascatrauma (PTSD) sejak 2018.
Via yang seorang perantau dari Jawa Timur kini tinggal di rumah teman untuk sementara sambil mencari pekerjaan. Untuk meminimalkan kecemasan, Via akan berbagi cerita dengan temannya. Hal itu membantu ia tenang.
”Kalau saya sedang tidak baik-baik saja, saya akan tidur atau scrolling konten lucu di Tiktok,” ucap Via.
Layanan Sejiwa
Masyarakat yang ingin mengakses membutuhkan layanan psikologis awal dapat mengakses layanan Sehat Jiwa (Sejiwa). Layanan ini dikembangkan pemerintah dan dapat diakses gratis oleh publik melalui pusat panggilan 119 dengan nomor sambungan (extension) 8.
Sejiwa menyediakan bantuan psikologis awal bagi orang yang ingin menceritakan masalahnya. Ada lebih dari 1.000 sukarelawan yang dapat melayani publik mulai pukul 09.00 hingga 21.00 WIB.
Saat dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Andik Matulessy mengatakan, ratusan ribu orang telah mengakses layanan Sejiwa sejak diluncurkan pada April 2020. Namun, baru puluhan ribu orang yang terlayani.
Sampai sekarang saya ingin konsultasi dengan psikolog karena tidak mau self-diagnosis. Tapi, itu, kan, butuh biaya. Jadi, ya, sudah lah.
”Sebenarnya ada kesempatan maksimal 15 menit (untuk konsultasi), tetapi ada yang sampai 30 menit atau 1 jam. Karena jumlah sukarelawan tidak banyak, ada banyak orang yang tidak bisa mengakses layanan,” kata Andik, Senin (11/10/2021).
Pada 2020, rata-rata orang yang mengakses layanan Sejiwa mengalami stres dan kecemasan akibat pandemi, seperti ketakutan tertular Covid-19. Masalah publik bergeser pada 2021. Andik mengatakan, rata-rata orang mengakses Sejiwa karena dampak turunan pandemi, seperti stres akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kekerasan dalam rumah tangga.
”Ada juga orangtua yang stres karena harus terus mendampingi anak belajar online. Ada pula beberapa orang yang ingin bunuh diri. Kami mengarahkan mereka ke psikolog di area domisili orang tersebut. Kami ada link rujukan bagi orang yang mengalami gejala (gangguan psikologis) lebih akut,” ucap Andik.
Rujukan juga diberikan untuk orang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau butuh bantuan sosial. Mereka dirujuk ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Sosial.
”Ada beberapa orang yang mengalami gejala stres ringan dan sebenarnya bisa mengatasi masalahnya. Namun, kadang mereka butuh penguatan dari orang lain,” katanya. ”Setelah bulan Juli-Agustus (2021), yang mengakses layanan ini mulai turun. Mungkin ini karena kondisi mulai membaik,” ujarnya.