Peningkatan tingkat infeksi Covid-19 dan berkurangnya pergerakan orang ternyata berkaitan dengan peningkatan prevalensi gangguan depresi mayor dan gangguan kecemasan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah meningkatkan kasus gangguan depresi mayor dan kecemasan lebih dari 25 persen di seluruh dunia pada tahun 2020. Perempuan dan anak muda menjadi kelompok yang banyak terdampak.
Temuan mengenai dampak pandemi terhadap kondisi psikis masyarakat ini dilaporkan di jurnal The Lancet edisi 8 Oktober 2021. Studi terbaru ini merupakan yang pertama menilai dampak global pandemi pada gangguan depresi mayor dan gangguan kecemasan, mengukur prevalensi dan beban gangguan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan lokasi di 204 negara dan wilayah pada tahun 2020.
Tinjauan literatur sistematis dilakukan untuk mengidentifikasi data survei populasi yang diterbitkan antara 1 Januari 2020 dan 29 Januari 2021. Dengan menggunakan alat meta-analisis pemodelan penyakit, data dari studi yang memenuhi syarat digunakan untuk memperkirakan perubahan prevalensi gangguan depresi mayor dan gangguan kecemasan akibat Covid-19 berdasarkan usia, jenis kelamin, dan lokasi, termasuk di lokasi yang tidak ada studi yang memenuhi syarat.
Perkiraan tingkat infeksi Covid-19 harian dan pergerakan orang digunakan sebagai indikator dampak pandemi pada populasi. Tinjauan sistematis mengidentifikasi 5.683 sumber data unik, dengan 48 di antaranya memenuhi kriteria inklusi. Sebagian besar penelitian berasal dari Eropa Barat (22) dan Amerika Utara yang berpenghasilan tinggi (14), sedangkan yang lain dari Australasia (5), Asia Pasifik berpenghasilan tinggi (5), Asia Timur (2), dan Eropa Tengah (1).
Meta-analisis menunjukkan bahwa peningkatan tingkat infeksi Covid-19 dan berkurangnya pergerakan orang dikaitkan dengan peningkatan prevalensi gangguan depresi mayor dan gangguan kecemasan. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara yang paling terpukul oleh pandemi pada tahun 2020 memiliki peningkatan prevalensi gangguan terbesar.
Secara global, studi menemukan, kasus gangguan depresif berat dan gangguan kecemasan meningkat masing-masing sebesar 28 persen dan 26 persen pada 2020. Wanita lebih terpengaruh daripada pria, dan orang yang lebih muda lebih terpengaruh daripada kelompok usia yang lebih tua.
Sementara dari sebarannya, negara-negara dengan tingkat infeksi Covid-19 yang tinggi dan pengurangan besar dalam pergerakan orang memiliki peningkatan terbesar dalam prevalensi gangguan depresif berat dan gangguan kecemasan.
”Temuan kami menyoroti kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem kesehatan mental untuk mengatasi beban depresi berat dan gangguan kecemasan yang terus meningkat di seluruh dunia,” kata penulis utama studi, Damian Santomauro, dari Queensland Center for Mental Health Research, School of Public Health, University of Queensland, Australia.
Upaya untuk mengatasi masalah ini, menurut Santomauro, harus menargetkan faktor-faktor yang berkontribusi yang telah diperburuk oleh pandemi. Meningkatkan perawatan bagi mereka yang mengalami gangguan mental harus menjadi pusat upaya untuk meningkatkan layanan dukungan.
”Bahkan, sebelum pandemi, sistem perawatan kesehatan mental di sebagian besar negara secara historis kekurangan sumber daya dan tidak terorganisasi dalam pemberian layanan mereka. Memenuhi permintaan tambahan untuk layanan kesehatan mental karena Covid-19 akan menjadi tantangan, tetapi kita juga tidak bisa diam saja,” katanya.
Sebelum pandemi Covid-19, gangguan depresif berat dan gangguan kecemasan yang dapat meningkatkan risiko hasil kesehatan lain, seperti bunuh diri, merupakan kontributor utama beban penyakit global. Gangguan ini memengaruhi jutaan pria dan wanita dari segala usia di seluruh dunia.
Jika tidak ada pandemi, perkiraan model menunjukkan akan ada 193 juta kasus gangguan depresi mayor (2.471 kasus per 100.000 penduduk) secara global pada tahun 2020. Namun, analisis menunjukkan ada 246 juta kasus (3.153 per 100.000) atau meningkat 28 persen (tambahan 53 juta kasus). Lebih dari 35 juta kasus tambahan terjadi pada wanita, dibandingkan dengan hampir 18 juta kasus pada pria.
Perkiraan model juga menunjukkan akan ada 298 juta kasus gangguan kecemasan (3.825 per 100.000 penduduk) secara global pada tahun 2020 seandainya pandemi tidak terjadi. Analisis menunjukkan sebenarnya ada 374 juta kasus (4.802 per 100.000) selama tahun 2020, meningkat 26 persen (tambahan 76 juta kasus). Hampir 52 juta kasus tambahan terjadi pada wanita, dibandingkan dengan sekitar 24 juta kasus pada pria.
Orang yang lebih muda lebih terpengaruh oleh gangguan depresi mayor dan gangguan kecemasan pada tahun 2020 daripada kelompok usia yang lebih tua. Prevalensi tambahan gangguan ini memuncak di antara mereka yang berusia 20-24 tahun (1.118 kasus tambahan gangguan depresi mayor per 100.000 dan 1.331 kasus tambahan gangguan kecemasan per 100.000) dan menurun seiring bertambahnya usia.
Alize Ferrari, anggota tim penulis dari Pusat Riset Kesehatan Mental Universitas Queensland, Australia, mengatakan, pandemi Covid-19 telah memperburuk banyak ketidaksetaraan yang ada dan determinan sosial dari gangguan kesehatan mental. Meski demikian, karena berbagai alasan, perempuan selalu lebih mungkin terkena dampak sosial dan ekonomi yang lebih buruk dari pandemi.
Tanggung jawab perawatan dan pekerjaan rumah tangga cenderung jatuh pada perempuan, dan karena perempuan lebih mungkin menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, yang meningkat pada berbagai tahap pandemi.
Tanggung jawab perawatan dan pekerjaan rumah tangga cenderung jatuh pada perempuan, dan karena perempuan lebih mungkin menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, yang meningkat pada berbagai tahap pandemi. Penutupan sekolah dan pembatasan yang lebih luas yang membatasi kemampuan kaum muda untuk belajar dan berinteraksi dengan teman sebayanya, ditambah dengan meningkatnya risiko pengangguran, juga berarti bahwa kaum muda juga lebih terpengaruh oleh gangguan depresi mayor dan gangguan kecemasan selama pandemi.
Dengan data ini, penulis mengharapkan pembuat kebijakan mempertimbangkan faktor-faktor mendasar seperti ini sebagai bagian dari langkah-langkah untuk memperkuat layanan kesehatan mental.
Para penulis mengakui bahwa penelitian mereka dibatasi oleh kurangnya data berkualitas tinggi tentang efek pandemi Covid-19 pada kesehatan mental di banyak bagian dunia, terutama negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Akibatnya, mereka mengatakan, perkiraan ekstrapolasi yang dihasilkan untuk negara-negara yang kekurangan data harus ditafsirkan dengan hati-hati, dan menyerukan peningkatan cakupan dan kualitas data secara global.