Tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dapat memicu masalah kesehatan mental bagi sebagian orang.
Oleh
TIM KOMPAS
·3 menit baca
Setahun terakhir Abin (22), pelapak daring di Jakarta Pusat mulai susah tidur. Ia baru terlelap tengah malam atau dini hari diiringi lantunan musik bertempo lambat.
Perantau dari Jawa Tengah itu berangan-angan punya karir baik dengan upah layak sehingga bisa memenuhi kebutuhan pribadi maupun orangtua. Tapi, apa daya, pandemi Covid-19 membuatnya terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) ketika baru tiga bulan bekerja.
Perasaannya hancur. Ia mengurung diri di indekos selama sepekan. Seiring waktu, timbul perasaan cemas karena tak kunjung mendapat pekerjaan. Padahal, tabungannya nyaris ludes karena pengeluaran jalan terus.
"Selama seminggu hanya bisa tidur dua jam. Setelah itu, susah tidur, terus menangis. Tidak tahu harus lakukan apa. Orangtua di kampung kondisinya juga susah," tuturnya, Kamis (7/10/2021).
Abin merasa dirinya telah gagal dalam pekerjaan dan tidak bisa membantu orangtua. Perasaan itu kerap berakhir dengan menggores tangan, mengelupas bibir sampai berdarah, dan menjambak rambutnya.
Belakangan, ia tengah berusaha menahan keinginan menyakiti diri sendiri. Caranya dengan mencoret sesuatu, menyobek kertas, nonton tayangan hiburan, atau istirahat dari media sosial dan tidak menyentuh gawai sama sekali.
"Pokoknya seharian itu buat tenangkan diri. Tapi masih belum stabil, kalau sedih tiba-tiba pingin sakiti diri sendiri lagi," ujarnya.
Selama seminggu hanya bisa tidur dua jam. Setelah itu, susah tidur, terus menangis. Tidak tahu harus lakukan apa. Orangtua di kampung kondisinya juga susah
Keinginan menyakiti diri sendiri juga kerap dialami Resa Nur Azizah (19), mahasiswa baru tahun 2020 sebuah kampus di Yogyakarta.
Bayangan teman anyar dan pengalaman seru jadi mahasiswa baru sirna sudah. Pandemi Covid-19 memaksa warga Majalengka, Jawa Barat, ini belajar daring. Tidak ada pertemuan langsung dengan kawan.
“Saya mulai menyendiri. Kayak terasa enggak ada siapa-siapa. Orangtua dua-duanya kerja sampai malam,” kata anak tunggal ini, Jumat (8/10/2021). Hanya komputer jinjing, gawai, kecemasan, dan kebosanan yang menemaninya.
Ia mudah lelah dan lebih sensitif. Waktu tidurnya tak karuan. Kadang ia tak mampu menyelesaikan tugas yang tenggat waktunya berdekatan.
Merasa diabaikan, seperti tidak diajak bicara, saja Resa langsung marah besar. Kadang, ia ingin melukai diri sendiri. “Saya sampai hampir bunuh diri, bawa-bawa pisau terus,” ungkapnya sembari memegang kepalanya.
Sementara itu, Zahra (25), guru di Jakarta Selatan, baru lulus kuliah ketika pandemi melanda Tanah Air. Ia sempat sulit mendapat pekerjaan karena banyak perusahaan merumahkan karyawan atau memutus hubungan kerja ketimbang membuka lowongan.
"Merasa rendah diri karena melihat orang lain bekerja, sedangkan saya luntang lantung untuk dapatkan pekerjaan," katanya. Situasi itu sampai membuatnya lebih sering mengurung diri dalam kamar, menangis, dan enggan bersosialisasi.
Ketika sudah punya pekerjaan, ia justru mengalami kelelahan mental. Penyebabnya, beban kerja yang berlebihan dalam satu waktu. Warga Jakarta Timur itu pun di-PHK karena tak mampu mengatasi tekanan pekerjaan.
Tekanan pekerjaan yang berat juga jadi pengalaman Shinta (25), tenaga administrasi toko kelontong. Beban kerjanya bertambah dua kali lipat selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Kondisi itu memaksa toko fisik tutup sementara dan semua transaksi dialihkan ke toko daring. Shinta kelimpungan, terlebih saat itu masa Lebaran di mana transaksi sedang tinggi-tingginya.
Warga Sumedang, Jawa Barat itu selalu kerja lembur. Pekerjaan terpaksa dibawa pulang ke indekos dan dikerjakan hingga malam. Tidak hanya kelelahan, Shinta juga sulit tidur karena gelisah. Suara notifikasi di ponselnya membuat dia berdebar-debar. Ia takut membuka aplikasi pesan singkat, khawatir jika itu menyangkut pekerjaan.
Shinta memilih mundur setelah sekitar setengah tahun bekerja. Ia memilih kesejahteraan jiwanya daripada bertahan dalam penderitaan. Keputusan itu riskan karena tak mudah mencari pekerjaan baru selama pandemi Covid-19. Kini, Shinta masih menganggur.
Pandemi Covid-19 tak hanya menelan ratusan ribu korban jiwa. banyak warga juga kesusahan karena tekanan ekonomi akibat pandemi. Dengan sisa-sisa harapan mereka bertahan menjalani hidup dalam keterbatasan.(DAN/IKI/SKA)