Masa Depan Kesehatan Jiwa Kita
Dampak pandemi bagi kesehatan jiwa kian nyata. Namun, kekurangpahaman, stigma, dan keterbatasan akses layanan jadi masalah besar. Tanpa dukungan lingkungan sosial, ekonomi, dan spiritual, jiwa sehat akan sulit terwujud.
Tidak ada sehat tanpa jiwa yang sehat. Meski sering digaungkan, banyak dirasakan, khususnya selama pandemi, dan dampaknya nyata di depan mata, kesehatan jiwa masih menjadi hal yang jauh bagi kita. Kekurangpahaman, stigma, dan terbatasnya akses masih jadi persoalan besar.
Sebelum Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020, para ahli sudah mengkhawatirkan menyebar luasnya kecemasan akibatnya masifnya informasi, baik benar maupun keliru, tentang penyakit baru tersebut.
Saat lonjakan kasus berlangsung yang disertai pemberlakuan pembatasan mobilitas masyarakat ataupun karantina wilayah, kecemasan itu terasa nyata. Belum lagi kabar tidak enak, terutama soal kematian, yang banyak beredar di berbagai media sosial, grup percakapan, dan informasi komunitas.
Kini, saat kasus positif Covid-19 mulai melandai di banyak negara, kecemasan itu masih ada. Bahkan, pada sebagian orang berkembang menjadi gangguan cemas. Tak sedikit pula yang mengalami depresi. Sebagian penyintas Covid-19 pun mengalami gangguan cemas meski sebelumnya tak punya riwayat gangguan tersebut.
Baca juga: Tekanan Ekonomi Picu Masalah Kesehatan Jiwa
Jika nantinya pun pandemi Covid-19 dinyatakan usai seiring makin luasnya vaksinasi dan ditemukannya obat untuk mengatasi penyakit tersebut, berbagai luka jiwa akibat pandemi itu diperkirakan masih ada. Bahkan, masalah jiwa yang menyertai pandemi itu diprediksi masih ada hingga 10-20 tahun ke depan.
Pandemi yang telah berlangsung hampir dua tahun telah mengubah kita. Pertarungan melawan korona, baik yang berjuang langsung menghadapi dan menangani serangan virus, terkurung di rumah demi menghindari penyebaran virus, maupun terdampak akibat melemahnya ekonomi, membawa lara, duka, ketakutan, ketakberdayaan, bahkan kehancuran pada banyak orang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyambut Hari Kesehatan Jiwa Dunia 10 Oktober 2021 menyebut ada hampir 1 miliar orang atau 1 dari 7 manusia di bumi mengalami gangguan mental. Gangguan itu bisa dialami siapa saja dan di mana saja, tak kenal jenis kelamin, usia, tingkat ekonomi, pendidikan, keimanan, dan mata pencarian.
Jika nantinya pandemi Covid-19 usai seiring makin luasnya vaksinasi dan ditemukannya obat untuk mengatasi penyakit tersebut, berbagai luka jiwa akibat pandemi itu diperkirakan masih ada.
Depresi menjadi gangguan utama dan salah satu beban terbesar penyakit global. Selain itu, gangguan mental lain yang banyak diidap meliputi gangguan cemas dan skizofrenia. Menurut perkiraan WHO, kerugian akibat hilangnya produktivitas gara-gara depresi dan kecemasan di seluruh dunia mencapai 1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 14.000 triliun setiap tahun.
Sebelum pandemi, Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebut, pada penduduk berumur lebih dari 15 tahun, ada 9,8 persen atau lebih dari 20 juta orang mengalami gangguan mental emosional, 6,1 persen atau sekitar 12 juta orang mengalami depresi, dan sekitar 450.000 orang pengidap skizofrenia atau psikosis yang merupakan gangguan jiwa berat.
Baca juga: Mental Pun Goyah Diterpa Pandemi
Sementara hasil swaperiksa yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada April-Oktober 2020 atau sebelum puncak pandemi 1 dan 2 di Indonesia menunjukkan 67,4 persen responden mengalami gangguan cemas, 67,3 persen depresi, dan 74,2 persen alami trauma psikologi. Makin panjang pandemi, intensitas berbagai gangguan jiwa itu diprediksi terus meningkat (Kompas, 15 Oktober2020).
Belum lagi kasus pasung dan penelantaran penderita skizofrenia atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang masih menjadi momok bagi Indonesia dalam penegakan hak asasi manusia. Kementerian Kesehatan menyebut ada 6.452 kasus pasung dan 452 kasus pemasungan kembali pada 2020.
Sementara itu, laporan Human Rights Watch dalam Living in Chains, 2020, yang mengutip data pemerintah menyebut, ada 57.000 orang dengan gangguan mental yang pernah dipasung minimal sekali dalam hidupnya dan diperkirakan ada 15.000 orang yang hidup dalam pasungan pada November 2019.
Kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang juga perlu mendapat perhatian. Belum lagi kasus kenakalan remaja hingga bunuh diri yang menunjukkan ”sakitnya” masyarakat kita.
Akses terbatas
Meski persoalan kesehatan jiwa itu nyata, penanganannya selama ini jauh dari memadai. Masalah ini memang dihadapi banyak negara. Namun, terbatasnya akses layanan kesehatan jiwa dan rendahnya pengetahuan masyarakat Indonsia tentang kesehatan jiwa membuat persoalan ini perlu mendapat perhatian serius akibat perubahan kondisi demografis.
Kementerian Kesehatan pada 2019 menyebut ada 48,1 persen atau 247 kabupaten/kota yang memiliki puskesmas yang mampu melayani kesehatan jiwa. Selain itu, ada 34 rumah sakit jiwa (RSJ) pemerintah dan 9 RS jiwa swasta serta satu rumah sakit ketergantungan obat di 28 provinsi. Enam provinsi tidak memiliki RSJ dan belum semua RS umum pemerintah mampu memberikan layanan kesehatan jiwa.
Layanan yang tersedia pun pemanfaatannya belum optimal. Sebagian puskesmas memang bisa mendiagnosis gangguan jiwa, tetapi banyak juga yang hanya memberikan surat rujukan bagi pasien untuk berobat ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Sebagian puskesmas juga sudah dilengkapi psikolog klinis, khusus di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi banyak daerah belum memiliki kemampuan itu.
Sementara itu, hingga Oktober 2020, ada 1.053 psikiater dan 2.800-an psikolog klinis di Indonesia yang sebagian besar terkumpul di kota-kota besar. Layanan kesehatan jiwa juga dinilai relatif mahal, terutama untuk layanan di fasilitas swasta. Namun, layanan kesehatan jiwa di sejumlah fasilitas kesehatan, khususnya milik pemerintah, sudah ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Baca juga: Kesehatan Jiwa, Dampak Tak Kasatmata Virus Korona
Selama pandemi, banyak muncul aplikasi dan usaha rintisan untuk membantu masyarakat menyelesaikan persoalan jiwa mereka. Sebagian berbayar, tetapi ada juga yang percuma. Meski demikian, ketersediaan layanan konseling daring itu melalui panggilan telepon ataupun panggilan video, masih jauh dari kebutuhan masyarakat.
Dalam kondisi serba terbatas itu, masyarakat sebenarnya bisa menjadi penyangga untuk mencegah dan mengurangi makin beratnya persoalan jiwa yang dihadapi penderita. Namun, buruknya stigma tentang kesehatan jiwa sering kali menjadi penghambat para penderita untuk memperoleh layanan, baik berkonsultasi ke psikolog maupun berobat ke psikiater. Masyarakat yang mengunjungi dua tenaga profesional kesehatan jiwa itu sering dituding gila.
Stigma tersebut bersumber dari rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan jiwa. Gangguan jiwa masih sering dipandang sebagai masalah lemahnya keimanan atau penyakit gaib. Karena itu, penanganannya pun banyak yang hanya bertumpu pada pengobatan alternatif hingga terlambat ditangani secara medis.
Keterlambatan penanganan medis itu membuat banyak penderita gangguan jiwa tidak mampu mengelola dengan baik gangguan yang dihadapi hingga makin parah. Situasi itu berdampak besar pada menurunnya produktivitas dan kesejahteraan pasien, keluarga, ataupun masyarakat sekitar. Dari sekitar 12 juta penderita depresi di Indonesia, diperkirakan hanya 1 juta yang mendapat pertolongan medis.
Kurangnya pemahaman masyarakat dan dukungan keluarga itu juga membuat banyak penderita gangguan jiwa harus bertarung sendiri melawan berbagai kerumitan pikiran dan perasaan yang mereka hadapi.
Pada penderita gangguan cemas, mereka harus melawan segala pikiran buruk dan ketakutan atas sesuatu yang sering kali tidak nyata hingga sangat menyiksa diri mereka. Sementara pada penderita depresi, mereka harus berjuang membangkitkan semangat mereka, menentang ketidakpedulian mereka atas segala sesuatu, termasuk hidupnya sendiri, menghadapi mimpi buruk, hingga keinginan untuk mati.
Bagi masyarakat awam yang tidak memahami, semua keluhan dan gejala yang dialami penderitan gangguan jiwa itu merupakan sesuatu yang janggal dan sulit dibayangkan. Terlebih, kondisi fisik mereka umumnya baik-baik saja, tidak ada luka, nyeri, atau peradangan seperti yang terjadi pada orang yang fisiknya sakit. Karena itulah, penderita gangguan jiwa ini sering dituding manja, pemalas, tidak punya iman, atau gila.
Pembangunan kesehatan jiwa berbasis masyarakat itu dinilai banyak pihak lebih efektif guna mengatasi berbagai keterbatasan akses dan layanan kesehatan jiwa. Namun, upaya itu seharusnya diikuti dengan penguatan dan peningkatan investasi negara terhadap kesehatan jiwa, khususnya yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Menurut catatan WHO, banyak negara rata-rata hanya mengalokasikan 2 persen dari anggaran kesehatan mereka untuk kesehatan jiwa. Bantuan negara donor ataupun swasta untuk menangani kesehatan jiwa juga sangat kurang dibandingkan dengan bantuan untuk penanganan penyakit lain.
Padahal, setiap 1 dollar AS yang diinvestasikan untuk penanganan depresi dan kecemasan akan diperoleh hasil 5 dollar AS. Sementara untuk setiap 1 dollar AS yang diinvestasikan guna mengatasi ketergantungan obat akan diperoleh hasil hingga 7 dollar AS dalam bentuk pengurangan kasus kejahatan dan biaya penegakan hukum.
Di luar biaya, aturan untuk membangun sistem kesehatan mental yang baik dan komprehensif perlu segara diwujudkan. Sudah hampir tujuh tahun Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Namun, aturan turunannya berupa peraturan pemerintah ataupun peraturan Menteri Kesehatan hingga kini belum ada. Akibatnya, UU tersebut tidak bisa operasional di tingkat bawah karena pemerintah daerah tidak memiliki petunjuk teknis untuk melakukan berbagai upaya penanganan kesehatan jiwa.
Karena itu, peringatan Hari Kesehatan Jiwa Dunia 2021 yang bertema ”Kesetaraan Kesehatan Jiwa untuk Semua” selayaknya menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk terus memperbaiki sistem layanan kesehatan jiwa sekaligus membangun masyarakat yang sadar, paham, dan peduli dengan kesehatan jiwa.
Saat ini, kita sedang berkejaran dengan waktu agar persoalan kesehatan jiwa tidak makin memburuk. Dampak kesehatan jiwa akibat pandemi dipastikan akan makin terasa ke depan.
Perubahan komposisi penduduk dengan banyaknya penduduk usia produktif dan melonjaknya jumlah penduduk lanjut usia juga dipastikan akan terus meningkatkan jumlah penderita gangguan jiwa. Prevalensi gangguan mental emosional umumnya akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya usia.
Di sisi lain, distribusi masyarakat juga berubah. Pada 2035, dua dari tiga penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Situasi itu akan membuat masyarakat lebih mengalami tekanan akibat keras dan ketatnya persaingan kehidupan di kota serta lemahnya dukungan sosial dibandingkan dengan masyarakat di perdesaan. Tanpa dukungan lingkungan sosial, kondisi ekonomi dan spiritual yang baik, jiwa sehat akan sulit diwujudkan.
Jika sistem kesehatan jiwa Indonesia tidak dibenahi dari sekarang, Indonesia harus siap menghadapi berbagai persoalan kesehatan jiwa di masa depan yang akan menurunkan produktivitas bangsa. Situasi itu dipastikan akan makin menghambat keinginan Indonesia untuk mencapai bonus demografi dan mewujudkan generasi emas 2045.