Kesehatan mental siapa saja rawan terganggu saat pandemi belum juga mereda. Bukan perkara sederhana, mendatangi ahli di bidang ini sedikit banyak bisa meringankan beban.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Kesehatan mental Resa Nur Azizah (19) sampai pada titik nadir saat datang pandemi Covid-19. Beberapa kali, mahasiswi ini ingin mengakhiri hidupnya. Beruntung, dukungan dari keluarga hingga profesional turut menjaganya.
Bayangan teman anyar dan pengalaman menarik sebagai mahasiswa baru sebuah kampus di Yogyakarta pada 2020 sirna sudah. Pandemi Covid-19 memaksa warga Majalengka, Jawa Barat, ini belajar secara daring. Tidak ada pertemuan langsung dengan kawan atau pelesiran.
”Saya mulai menyendiri. Kayak terasa enggak ada siapa-siapa. Orangtua dua-duanya kerja sampai malam,” kata anak tunggal ini, Jumat (8/10/2021). Hanya komputer jinjing, gawai, kecemasan, dan kebosanan yang menemaninya.
Pertemuan virtual via internet atau telepon tidak memberikan kepuasan seperti tatap muka. Ia mudah lelah dan lebih sensitif. Waktu tidurnya tak karuan. Bahkan, kadang ia tak mampu menyelesaikan tugas yang tenggatnya berdekatan.
Merasa diabaikan, seperti tidak diajak bicara saja, Resa langsung marah besar. Kadang, ia ingin melukai diri sendiri. ”Saya sampai hampir bunuh diri, bawa-bawa pisau terus,” ungkapnya sembari memegang kepalanya.
Ketidakstabilan emosi itu mulai ia sadari ketika neneknya pergi selamanya. Saat itu, ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. ”Orangtua sering di luar kota. Saya sama nenek. Waktu nenek meninggal, saya merasa kesepian,” kenangnya.
Virus korona baru semakin membuatnya kian dekat dengan kesunyian. Kadang ia berteriak sendiri. Resa pun meyakini, dirinya tidak baik-baik saja. Ia membutuhkan bantuan profesional, seperti psikolog dan psikiater.
Akan tetapi, orangtuanya belum menyadarinya. Alih-alih didukung, perempuan berhijab ini malah dirundung stigma, seperti lemah hingga kurang shalat. Ia bahkan pernah menjalani rukiah. Mendatangi psikolog dianggap mengalami sakit jiwa, gila.
”Tapi, ini sudah enggak wajar. Saya harus ke psikolog. Saya sampai kabur ke rumah teman seminggu. Saya sampai diseret-seret pulang,” kata Resa yang didukung beberapa kawannya. Orangtuanya pun mengabulkan keinginannya.
Bersama temannya, ia menempuh perjalanan hampir 60 kilometer atau sekira 2 jam ke Rumah Sakit Ibu dan Anak Cahaya Bunda, Kota Cirebon, Jawa Barat. Sebenarnya, katanya, ada layanan psikolog di daerahnya. Namun, ia belum sreg.
Ia pun berjumpa psikolog Herlina S Dhewantara. Resa juga berkonsultasi dengan psikiater di salah satu rumah sakit di Cirebon. Ia didiagnosis sebagai bipolar, gangguan mental yang ditandai perubahan emosi secara drastis.
Keceriaannya bisa menjelma kesedihan dalam waktu singkat. Itu sebabnya, ia diminta sepekan sekali bertemu psikolog dan sebulan sekali dengan psikiater. Dalam sehari, ia harus menelan empat obat.
Ini sudah enggak wajar. Saya harus ke psikolog. Saya sampai kabur ke rumah teman seminggu. Saya sampai diseret-seret pulang.
Perlahan, orangtuanya mulai memahami kondisinya, termasuk menemaninya berobat. Resa juga berusaha mengabarkan pentingnya kesehatan mental melalui aplikasi sosial video. Rekamannya saat konsultasi dengan profesional dilihat hingga 2 juta kali.
”Kalau enggak merasa baik-baik saja, yuk ke psikolog dan psikiater,” ucapnya dalam video. Namun, belum semua warganet mendukungnya. Tidak sedikit yang menuding dirinya manja, lemah, tidak beriman, dan lainnya. Ia pun menutup akunnya karena merasa tidak nyaman.
Kini, mahasiswi profesi kebidanan itu lebih banyak mengisi waktu dengan mendengar siniar motivasi, olahraga, melukis, hingga menari. Ia juga berkomitmen melanjutkan pengobatan saat di Yogyakarta. ”Ketika kita merasa enggak baik-baik saja, it’s oke. Ada profesional,” ujarnya.
Herlina mengatakan, Resa hanya salah satu dari sekian banyak anak muda yang mengalami gangguan mental saat pandemi. Sejak tahun lalu, hampir setiap hari ia menerima empat klien. ”Paling banyak anak kelas XII atau mahasiswa semester I,” ujar Ade, sapaannya, yang bertugas sejak 2015 di RSIA Cahaya Bunda.
Sebagian besar kliennya merasa cemas hingga depresi saat pandemi. Anak muda, lanjutnya, rentan mengalami itu karena harus menerima pembatasan mobilitas masyarakat. Padahal, di usia itu, mereka membutuhkan ruang eksplorasi dan bergaul.
Peran profesional
Selain remaja, orang dewasa juga tidak luput dari gangguan mental saat pandemi. Apalagi, ketika puncak kasus pada Juli dan Agustus lalu. Sirene ambulans hingga pengumuman korban meninggal datang silih berganti. Rasa kesepian saat isolasi juga mengganggu mental.
”Bahkan, setelah negatif (Covid-19) muncul lagi kecemasan. Ada klien yang setiap magrib langsung cemas. Ternyata, dia teringat saat isolasi mandiri waktu magrib dan ditinggal suaminya. Padahal, ia harus urus dua anaknya yang positif,” ungkapnya.
Ade menilai, pandemi menunjukkan pentingnya kesehatan mental. Itu sebabnya, ia praktik dari pagi hingga selepas magrib untuk klien. Setiap klien bisa menghabiskan waktu dua hingga tiga jam konsultasi. Ade lebih banyak mendengar.
Saking sibuknya, ibu dua anak ini tumbang juga karena Covid-19 Juli lalu. Padahal, waktu itu, kasus melonjak dan ruang isolasi penuh. Keluarganya sampai pusing mencari ruangan. Untungnya, ia hanya gejala ringan, yakni batuk dan hilang penciuman, sehingga bisa isolasi mandiri.
Jika orang lain khawatir dan menyalahkan dirinya, perempuan berusia 53 tahun ini berupaya berpikir jernih saat kena Covid-19. ”Ini waktunya saya istirahat. Sebelumnya, saya enggak off (libur) 10 hari dan dua kali ke luar kota. Dukungan keluarga dan teman juga sangat membantu,” ujarnya.
Ia berusaha mengendalikan apa yang bisa dijangkau, seperti pikirannya. Adapun kondisi pandemi Covid-19 di luar kendalinya. ”Setelah hari ke-10 isolasi, ada yang telekonseling. Saya terima saja,” katanya.
Selain bekerja di dua rumah sakit, alumnus Universitas Gadjah Mada ini juga mendirikan dinamikaGaMa, konsultan psikologi di Cirebon sejak 2012. Tidak hanya melayani instansi, pihaknya juga menggelar setidaknya tiga kali webinar gratis terkait kesehatan mental, termasuk dengan siswa SMAN 1 Palimanan Cirebon.
Ade juga bergabung dengan sukarelawan psikolog Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) tiga bulan terakhir. Layanan psikologis daring itu gratis. ”Ada klien yang terdampak PHK (pemutusan hubungan kerja) sampai ditinggal istrinya meninggal karena Covid-19,” katanya.
Rini S Minarso, psikolog di Cirebon, juga mencurahkan waktu dan tenaganya untuk kesehatan mental warga di tengah pandemi. Selain bertugas di Puskesmas Plered, Puskesmas Beber, dan RSUD Arjawinangun, ia juga sukarela berbagi ilmu.
Juli lalu, misalnya, ia membuka layanan konsultasi gratis untuk jurnalis di Cirebon. Saat itu, sejumlah jurnalis terpapar Covid-19 dan menjalani isolasi mandiri. Rini mendengar dan memberikan masukan agar mengurangi kecemasan pewarta.
Sebelum itu, Rini juga kerap bekerja sama dengan dinas sosial serta lembaga pemerhati perempuan dan anak untuk mendampingi anak berhadapan dengan hukum hingga korban kekerasan seksual. ”Ini bentuk empati. Kalau ada yang bisa saya lakukan, mengapa tidak?” katanya.
Rini, Ade, dan Resa merupakan sedikit orang yang berjuang merawat kesehatan mental dengan peran masing-masing. Memang tidak mudah, apalagi saat pandemi. Namun, dukungan keluarga hingga profesional bisa menjaga kesehatan jiwa.