Pelanggengan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Keagamaan
Manipulasi informasi dan penyangkalan atas nama baik menjadi faktor yang melanggengkan kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan. Ditambah lagi kebanyakan kasus kekerasan seksual tersebut tidak dilaporkan.
Lembaga pendidikan keagamaan merupakan salah satu lembaga pendidikan yang sangat diminati oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terindikasi dari banyaknya orangtua yang mengirimkan anaknya ke lembaga pendidikan keagamaan.
Terdapat beragam motivasi yang melatarbelakangi hal tersebut. Tidak hanya agar anaknya dapat mengenyam pendidikan yang terbaik dengan keterampilan dan ilmu yang diberikan, tetapi juga karena orangtua memandang lembaga pendidikan keagamaan merupakan wadah yang strategis untuk mendidik anak menghadapi dunia yang penuh tantangan ini.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi realitas tersebut, seperti lembaga pendidikan keagamaan menawarkan lebih banyak komponen penguatan keagamaan dengan mendidik adab/sopan santun (character building) dan tingkah laku; tempat untuk membekali anak dengan disiplin dan kepemimpinan. Terlebih lagi, orangtua memandang lembaga pendidikan keagamaan sebagai lingkungan yang kondusif untuk perkembangan anak, dan merupakan ruang yang paling aman yang dapat menjaga anaknya dari berbagai pengaruh buruk perkembangan zaman saat ini.
Namun, pada awal Desember 2021, masyarakat Indonesia terenyak dengan pemberitaan tentang pemerkosaan yang dilakukan salah seorang pimpinan lembaga pendidikan keagamaan terhadap belasan anak didiknya yang berusia 13-17 tahun sepanjang 2016-2021. Mencuatnya kasus ini menambah catatan panjang kelamnya potret kekerasan seksual di institusi pendidikan, termasuk institusi pendidikan keagamaan.
Baca Juga: Agama dan ”Pendosa”
Data Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2015-2020 menunjukkan bahwa kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan berada di posisi kedua (19 persen) setelah di perguruan tinggi (27 persen). Pelaku kekerasan di lembaga pendidikan terbanyak adalah guru/ustaz sebanyak 22 kasus (43 persen), kemudian kepala sekolah 8 kasus (15 persen), dosen 10 kasus (19 persen), peserta didik lain 6 kasus (11 persen), pelatih 2 kasus (4 persen), dan pihak lain 3 kasus (5 persen).
Terdapat tiga tipe pelaku dan korban kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan, yaitu (1) pemilik lembaga/kiai/anak pemilik/anak kiai dengan santri; (2) guru dengan santri; (3) santri dengan santri. Ketiga tipe ini memiliki perbedaan signifikan terhadap upaya dan proses penanganan terhadap kasus yang terjadi.
Berdasarkan catatan pengalaman lembaga pendamping korban dalam proses pendampingan kasus, dari ketiga jenis tersebut, kasus yang sangat sulit untuk ditangani adalah tipe yang pertama karena kuasa yang dimiliki oleh pelaku sangat tinggi, di mana ia adalah pemegang trah kekuasaan utama. Sementara tipe yang paling mudah untuk ditangani adalah tipe yang ketiga, di mana pelaku dan korban sama sekali tidak memiliki kuasa atau hubungan ke pemegang kuasa. Di sini terlihat jelas, bagaimana peran kuasa memengaruhi upaya penanganan kasus.
Relasi kuasa
Banyak orang berpikir kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan, terjadi karena faktor fisik yang ditunjukkan korban, mulai dari tuduhan terhadap pakaiannya yang seksi atau tingkah lakunya yang dinilai tidak sesuai dengan etika moral di masyarakat. Namun, sebaliknya, fakta di lapangan menunjukkan penyebab utama terjadinya pemerkosaan adalah karena adanya ketimpangan relasi kuasa yang terjadi antara pelaku dan korban.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017, relasi kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan, dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan, dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antarjender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. Dengan kata lain, terdapat pihak sub-ordinat, yang harus menerima perlakuan dari pihak super-ordinat, termasuk paksaan untuk menjadi obyek tindakan seksual.
Dalam kasus kekerasan seksual, adanya kuasa yang dimiliki pelaku atas korban membuat pelaku merasa berhak dan merasa tidak bersalah ketika melakukan kejahatan tersebut.
Terdapat dua unsur penting dalam relasi kuasa tersebut, yakni (1) bersifat hierarkis yang meliputi posisi antar-individu yang lebih rendah atau lebih tinggi; (2) adanya ketergantungan, di mana seseorang bergantung pada orang lain karena status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi. Kedua unsur relasi kuasa tersebut menimbulkan kekuasaan yang berpotensi disalahgunakan (penyalahgunaan keadaan). Dalam kasus kekerasan seksual, adanya kuasa yang dimiliki pelaku atas korban membuat pelaku merasa berhak, dan merasa tidak bersalah ketika melakukan kejahatan tersebut.
Manipulasi informasi
Manipulasi informasi digunakan untuk melanggengkan relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi berulang kali. Tak heran apabila kerap terjadi kasus kekerasan seksual yang melibatkan pihak yang memiliki otoritas atas informasi. Misalnya antara pimpinan dan staf di tempat kerja, oknum senior dan yunior di sekolah/perguruan tinggi, oknum pendidik dan siswa/mahasiswa di dunia pendidikan, dan bahkan oknum pemuka agama dan pengikutnya.
Di lembaga pendidikan agama, termasuk di pesantren, modus manipulasi ini juga terjadi dengan pola yang memiliki kekhasan tersendiri. Ada yang dimanipulasi dengan alasan untuk memindahkan ilmu, mengancam dengan berbagai dalih seperti ancaman akan terkena azab, tidak akan lulus, hingga hafalan ilmu akan hilang.
Baca Juga: Konsep ”Persetujuan” dalam Kekerasan Seksual
Salah satu contoh kasus yang menarik untuk dicermati adalah kasus kekerasan seksual di sebuah pesantren di Jombang, di mana modus operandi pelaku dengan menyebutkan apabila ”vagina perempuan adalah jalan mulia, karena dari situlah pemimpin dilahirkan”. Selain itu, disebutkan pula apabila ”melakukan hubungan seksual adalah perbuatan mulia, Ayah ngeman sampean (Ayah peduli padamu)...”. Pelaku juga mengatakan menguasai ilmu metafakta yang membuatnya bisa menikahi siapa saja. Ini semua adalah bentuk upaya doktrinisasi/penggiringan bahwa pelaku berhak untuk melakukan persetubuhan dengan korban (melegitimasi terjadinya kekerasan seksual).
Para korban yang umumnya peserta didik berada dalam kondisi tidak berdaya (powerless) karena relasi kuasa korban dengan guru/ustaz, yang dipandang memiliki kuasa otoritas keilmuan dan juga termasuk tokoh masyarakat. Kepemilikan (kuasa) terhadap informasi membuat pelaku leluasa menciptakan relasi kuasa antara dirinya dan para korban.
Penyangkalan atas nama baik
Setelah mencuatnya kasus-kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan tersebut muncul beragam komentar dari berbagai pihak. Namun, anehnya, diskusi yang berkembang alih-alih memperbincangkan upaya–upaya untuk pemenuhan hak korban, justru malah gencar melakukan ”penyangkalan” dengan pola-pola yang dikemas sedemikian rupa untuk penggiringan opini publik.
Dari hasil pengamatan dan catatan pengalaman beberapa lembaga pendamping, terdapat beberapa pola penyangkalan yang kerap dilakukan, antara lain (a) memperdebatkan tentang izin keberadaan lembaga pendidikan tersebut, misalnya dengan menyatakan apabila lembaga X tidak mempunyai izin; (b) menyatakan apabila lembaga pendidikan Y merupakan lembaga syiah yang dibenarkan dengan praktik kawin muthah-nya; (c) menyatakan apabila pelaku (guru/uztaz) bukan individu yang mempunyai latar belakang keilmuan atau berbasis lembaga pendidikan berbasis keagamaan dengan prasyarat tertentu (misalnya tidak mengaji kitab kuning, dan lain sebagainya).
Baca Juga: Stop Kekerasan Perempuan dan Anak!
Menariknya, upaya ”penyangkalan” tersebut tidak hanya dilakukan oleh lembaga pendidikan keagamaan yang bersangkutan atau instansi dari lingkungan yang terasosiasi dengan lembaga pendidikan keagamaan lainnya, tetapi juga dilakukan oleh para pemangku kepentingan lainnya, baik dari elemen pemerintah maupun dari lembaga penegak hukum. Ini terindikasi salah satunya dari realitas di mana kasus ini sudah terjadi pada 2016, tetapi baru muncul ke publik pada Desember 2021, terlepas dari beragam klarifikasi yang dilontarkan belakangan, untuk menjustifikasi hal ini. Dalam hal ini, penting untuk digarisbawahi bahwa upaya ’penyangkalan’ ini dilakukan secara sistematis, tecermin dari bagaimana pola-pola ini dikemas dan dihidangkan ke publik.
Penyangkalan atas terjadinya kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan keagamaan merupakan bentuk nyata masifnya praktik rape culture dalam masyarakat kita. Rape culture merupakan suatu lingkungan yang menganggap kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat sebagai hal wajar dan mudah untuk dimaafkan (pemakluman terhadap kekerasan seksual). Hal ini tecermin dalam berbagai praktik pemakluman yang terjadi, mulai dari penggunaan bahasa yang menunjukkan diskriminasi seksual antara laki-laki dan perempuan, ketidakberpihakan kepada korban, dan penyalahan terhadap korban (victim blaming).
Ini pula yang menjadi penyebab mengapa banyak kasus kekerasan seksual terus terjadi dan sulit ditangani karena masyarakat abai terhadap pemenuhan hak korban.
Parahnya, fenomena rape culture memiliki konsekuensi besar terhadap langgengnya praktik kekerasan seksual di sekitar kita karena ia bersifat laten dan sistemik, serta sudah mengakar di masyarakat sehingga masyarakat tidak menyadari bahwa itu sudah ada dan bahkan menjadi bagian dalam budaya kita. Ini pula yang menjadi penyebab mengapa banyak kasus kekerasan seksual terus terjadi dan sulit ditangani karena masyarakat abai terhadap pemenuhan hak korban.
Perlindungan korban
Maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan, salah satunya terjadi karena kurangnya pengawasan. Undang-Undang Pesantren, misalnya, tidak mengatur kewajiban tentang membangun ruang aman bagi semua komunitas pesantren, termasuk pengawasan kekerasan seksual.
Undang-undang tersebut juga tidak memuat hak-hak santri dan santriwati untuk bebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Selain itu juga tidak ada kewajiban penyelenggara pendidikan untuk memiliki mekanisme prosedur operasi standar (SOP) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan keagamaan. Karena itu, harus didorong langkah-langkah responsif dari Kementerian Agama untuk melakukan pencegahan, dan mengembangkan panduan penanganan kekerasan seksual.
Kebanyakan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan juga tidak dilaporkan dan tidak tertangani karena korban memilih diam. Salah satu penyebabnya adalah kebanyakan institusi pendidikan keagamaan, khusnya pesantren, belum memiliki sistem untuk perlindungan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang menjamin perlindungan, kerahasiaan, dan keamanan korban.
Baca Juga: Catatan Kelam Kekerasan Seksual pada Anak
Dengan demikian, keberadaan sistem penanganan dan perlindungan korban menjadi sebuah keniscayaan di lembaga pendidikan tersebut. Sistem ini harus memiliki (a) instrumen pencegahan seperti kode etik yang mengikat semua pihak yang ada di lembaga pendidikan tersebut; (b) mekanisme pelaporan dan hotline yang terjamin kerahasiaannya, sehingga korban merasa nyaman untuk melaporkan kasusnya; (c) pendokumentasian kasus; (d) penyediaan pendampingan, baik pendampingan psikologis maupun pendampingan hukum, serta (e) mekanisme dan jaringan untuk perujukan; serta (f) memastikan pemulihan korban, termasuk restitusi.
Selain itu, upaya pencegahan perlu dilakukan secara terus-menerus dan melibatkan banyak pihak. Meningkatkan kesadaran akan kekerasan seksual sekaligus mengupayakan layanan-layanan yang bisa diakses oleh korban, sehingga lembaga pendidikan keagamaan dapat menjadi ruang aman, bagi semua pihak baik laki-laki maupun perempuan.
(Nur Aisyah, Pemerhati Masalah Sosial, Pendiri Cahaya Setara Indonesia (CSI))