Stop Kekerasan Perempuan dan Anak!
Kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi ancaman. Penegakan hukum yang tegas menjadi kunci mewujudkan keadilan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
Peringatan Hari Ibu Ke-93 tanggal 22 Desember lalu diwarnai oleh peristiwa kekerasan seksual pada perempuan, bahkan anak-anak yang semakin banyak terkuak di akhir tahun ini.
Peristiwa ini mengingatkan kita betapa masih rentannya posisi perempuan di lingkungan sosialnya. Penegakan aturan yang tegas harus segera diwujudkan agar kaum perempuan betul-betul mendapat jaminan atas hak dan keadilan di mata hukum.
Hari Ibu diperingati tidak hanya untuk mengingat peran perempuan sebagai ibu yang menjalankan perannya dalam keluarga, tetapi lebih luas bermakna bahwa perempuan juga memiliki peran besar dalam pembangunan bangsa.
Mengingat penetapan Hari Ibu di Indonesia tak lepas dari Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta pada 22 hingga 25 Desember 1928, yang menjadi tonggak sejarah kebangkitan perjuangan kaum perempuan dalam merebut dan mengisi kemerdekaan.
Tanggal 22 Desember kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu melalui keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959. Suara lantang Kongres I Perempuan saat itu menyuarakan ketidakadilan yang masih dialami para perempuan untuk mendapatkan haknya atas pendidikan, nilai-nilai perkawinan, dan kesejahteraan.
Sembilan puluh tiga tahun berlalu, apa yang disuarakan Kongres Perempuan itu masih relevan dengan kondisi saat ini, di mana perempuan masih mendapat perlakuan tidak adil dalam banyak hal. Perempuan masih rentan mengalami kekerasan dan ketidakadilan dalam lingkungan sosialnya.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) yang dihimpun melalui aplikasi SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) per 20 Desember 2021 mencatat, ada 17.141 perempuan yang menjadi korban kekerasan.
Bahkan, sebanyak 48,3 persen (8.282 korban) di antaranya anak-anak. Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara tercatat sebagai lima provinsi dengan jumlah korban perempuan kasus kekerasan terbanyak.
Baca juga: Di Masa Pandemi, KDRT Terus Jadi Momok bagi Perempuan
Kekerasan seksual
Kekerasan seksual mendominasi jenis kekerasan yang dialami korban. Sebanyak 8.101 kasus kekerasan seksual dilaporkan atau yang berhasil dihimpun unit layanan penanganan kekerasan yang dibentuk di daerah selama tahun 2021. Diikuti kasus kekerasan fisik (7.173 kasus) dan kekerasan psikis (6.514 kasus), lainnya adalah kasus eksploitasi, trafficking, dan penelantaran.
Data menunjukkan bahwa perempuan masih tidak aman, bahkan di dalam ruang privat, yaitu rumahnya sendiri. Hampir 60 persen perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sebanyak 20 persen korban adalah ibu rumah tangga dan kelompok umur 25-44 tahun (28,6 persen) tergolong banyak mendapat tindak kekerasan ini.
Fasilitas umum juga tempat yang masih tidak aman bagi perempuan untuk menjalankan aktivitasnya. Sebanyak 12,4 persen kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan terjadi di fasilitas umum, seperti di dalam moda transportasi publik.
Sementara data Komnas Perempuan sepanjang tahun 2011-2019 tercatat 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal, rumah tangga, dan ranah publik.
Dari jumlah itu, sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik berupa kasus perkosaan (9.039 kasus), pelecehan seksual (2.861 kasus), dan cybercrime bernuansa seksual (91 kasus).
Komnas Perempuan mencatat, dari Januari sampai Oktober 2021 sudah ada 4500 laporan kasus kekerasan pada perempuan, artinya rata-rata kasus per bulan 400 hingga 500 kasus. Meski belasan ribu perempuan sudah menjadi korban kekerasan, masih banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Hasil riset Komnas Perempuan tahun 2020 menyebut, 80,3 persen perempuan korban kekerasan selama pandemi justru memilih diam. Hal ini selaras dengan temuan Jajak Pendapat Kompas November lalu, yakni 61,1 persen publik juga berpendapat korban kekerasan lebih memilih diam karena ketakutan akan stigma negatif dan dikriminalisasikan.
Baca juga: Penegakan Hukum untuk Tangani Kekerasan pada Perempuan dan Anak
Ranah pendidikan
Diamnya para korban yang tidak berani mengungkap atau melaporkan kasus kepada pihak berwenang membuat kasus kekerasan pada perempuan yang sudah diperjuangkan sebelum bangsa ini merdeka hanya menjadi fenomena gunung es.
Terungkapnya sejumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah pendidikan di akhir tahun ini menjadi keprihatinan yang mendalam akan kebiadaban yang dilakukan oleh oknum pendidik. Ironisnya itu juga terjadi di institusi pendidikan berbasis keagamaan.
Data Kementerian PPPA mengungkap, meski hanya 2,9 persen kasus kekerasan yang dilaporkan terjadi di sekolah, namun data menjabarkan korban terbanyak adalah pelajar (40 persen) dan separuh dari korban adalah anak-anak usia 0-17 tahun. Miris!
Laporan yang masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan antara tahun 2018-2019 sebanyak 88 persen dilakukan oleh guru dan 12 persen oleh kepala sekolah. Sebanyak 40 persen pelaku adalah guru olahraga, 13,3 persen guru agama, sisanya adalah guru mata pelajaran lain dan wali kelas.
Padahal di dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jelas disebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kejahatan seksual dan kekerasan, termasuk di satuan pendidikan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Tak terbayangkan, di masa pandemi ketika pendidikan anak-anak terancam kehilangan capaian pembelajarannya, mereka justru mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari orang yang harusnya menjadi panutan.
Tak dapat dimungkiri relasi kuasa yang dimiliki guru membuat anak sebagai korban menjadi takut, terintimidasi, tak berani berbuat apa-apa, dan akhirnya memilih diam.
Tak sedikit pula anak-anak yang menjadi korban karena usianya yang masih belia tidak tahu apa yang sedang mereka alami, sementara masa depan mereka sudah hancur.
Padahal keberanian korban untuk berani buka suara dan melaporkan pelaku menjadi jalan untuk menghentikan kebiadaban pelaku. Misalnya, kasus perkosaan di Pondok Pesantren Madani Boarding School di Kota Bandung berhasil dibungkam pelaku selama 5 tahun, bahkan sampai membuahkan 9 bayi baru terungkap. Tak berlebihan jika kekerasan seksual di ranah pendidikan disebut dalam kondisi darurat.
Baca juga: Menanti Undang-Undang yang Berpihak Pada Korban
Pertegas aturan hukum
Oleh karena itu, salah satu subtema pada peringatan Hari Ibu tahun 2021 adalah ”Perempuan Indonesia: Saatnya untuk Bicara Suaramu Keberanianmu” sangat relevan dengan maraknya kasus kekerasan pada perempuan pada tahun ini.
Memang tidak mudah bagi korban untuk berani bersuara karena ibarat ”sudah jatuh tertimpa tangga”, korban menanggung beban ganda. Selain menjadi korban juga terkadang justru tidak mendapat jaminan rasa keadilan di mata hukum, belum lagi menghadapi stigma negatif dari masyarakat.
Akhirnya tak sedikit kasus yang diselesaikan secara kekeluargaan sehingga tidak sampai ke ranah hukum, akibatnya pelaku tidak jera bahkan bisa mengulang kembali perbuatannya. Sementara korban kehilangan masa depannya dan menanggung akibat perbuatan pelaku seumur hidup.
Karenanya, ketegasan hukum bagi pelaku dan perlindungan optimal untuk korban yang diharapkan pada RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) untuk segera disahkan menjadi UU tidak bisa ditawar lagi.
RUU ini akan lebih menajamkan proses hukum yang selama ini tidak mudah bagi korban dalam memperjuangkan keadilan, termasuk mendapatkan hak-haknya kembali, seperti hak untuk melanjutkan pendidikan.
Bahkan, menurut Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, tak cukup ketegasan hukum sebagai kebijakan yang harus benar-benar menyelesaikan substansi yang ada.
Menurut Qibtiyah, diperlukan juga komitmen bersama antara pemerintah, DPR, tokoh agama, jaringan masyarakat sipil, termasuk media untuk bergerak bersama-sama menyelesaikan masalah ini, disamping aspek budaya dan pemahaman agama yang harus diluruskan.
Sudah terlalu lama perjalanan memperjuangkan keadilan bagi korban kekerasan seksual sejak diinisiasi Komnas Perempuan tahun 2012. Sudah waktunya kekerasan pada perempuan dan anak yang menjadi penyakit kronis menahun bangsa ini dihentikan. Dengan demikian kaum perempuan bisa semakin berdaya dengan pendidikan yang baik dan rasa aman ikut berperan dalam pembangunan bangsa. (LITBANG KOMPAS)