Di Masa Pandemi, KDRT Terus Jadi Momok bagi Perempuan
Di masa pandemi dan pembatasan sosial tak semua merasakan suasana ”surga” di keluarga. Ada pula anggota keluarga, terutama perempuan dan anak, yang malah lebih berisiko mengalami kekerasan di masa-masa ini.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Situasi kekerasan dalam rumah tangga pada pandemi Covid-19 diperkirakan terus meningkat seiring bertambah lama waktu keluarga tinggal di rumah. Selain kekerasan fisik dan psikis, sejumlah perempuan dan anak juga mengalami kekerasan seksual. Bahkan, sejumlah perempuan rentan menjadi korban perdagangan orang.
Meskipun menjadi korban, sejumlah perempuan dan anak tidak berdaya karena pelakunya adalah orang terdekat. Mereka juga menghadapi pandangan negatif dari masyarakat. Di situasi yang kurang menguntungkan ini, mereka pun kesulitan mengakses lembaga layanan untuk korban kekerasan di masa pandemi.
Hal ini terungkap dalam acara Friday Talk ”Strategi Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Masa Pandemi Covid-19” yang digelar secara daring oleh Institut Kapal Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan) Jumat (3/7/2020) petang.
Sejumlah pendamping Sekolah Perempuan di beberapa daerah dan aktivis perempuan lain menyampaikan situasi perempuan di masa pandemi yang sangat rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena dipengaruhi kesulitan ekonomi dan berbagai faktor lainnya.
”Tantangan pendamping di masa Covid-19 adalah sangat berisiko melakukan pendampingan langsung. Namun, beberapa tetap melakukan pendampingan, seperti di Jombang, walaupun daerah merah, mau tidak tetap harus dilakukan konsultasi karena kasusnya mendesak,” tutur Veni Siregar, Koordinator Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) bagi korban kekerasan.
Menurut Veni, selama pandemi, sejumlah pendamping korban juga cukup kewalahan menerima laporan-laporan secara daring. Pendamping juga menghadapi tantangan pendampingan korban saat proses hukum karena berisiko terhadap penularan virus korona baru.
Tantangan lain, saat proses sidang berlangsung secara daring, terjadi diskriminasi terhadap korban, yakni pelaku boleh berada dalam tahanan, tetapi korban diminta datang ke pengadilan dan sidangnya direkam.
Untuk layanan korban, selain jam layanan untuk korban terbatas, perhatian dari pemerintah daerah juga sangat minim, terutama untuk visum layanan korban. Visum terhadap korban kekerasan ini menjadi syarat utama dalam proses hukum. Untuk visum atas kekerasan fisik, pendamping bisa mengatasinya, tetapi visum kekerasan seksual membutuhkan dukungan dari pemerintah karena biayanya cukup besar.
Selama pandemi Covid-19, menurut Veni, angka kekerasan terhadap perempuan cukup besar, terutama kekerasan psikis, seksual, dan fisik yang terjadi dalam lingkup KDRT. Kalau dilihat dari laporan lembaga layanan, angka kekerasan cukup tinggi.
Selama ini, KDRT merupakan benang kusut yang sulit diurai. Alih-alih permasalahannya mendapatkan dukungan hukum, banyak perempuan korban KDRT malah dikriminalkan.
Ketika perempuan membela diri dan melawan memukul pelaku saat dia dipukul, justru dia yang dituduh melakukan kriminal.
”Ketika dalam kasus KDRT korban dan pelaku saling melapor, laporan pelaku yang didahulukan. Misalnya, dalam satu kasus, ketika perempuan membela diri dan melawan memukul pelaku saat dia dipukul, justru dia yang dituduh melakukan kriminal,” papar Veni.
Dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) periode 1 Januari sampai dengan 19 Juni 2020, dilaporkan terjadi 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.848 kekerasan seksual terhadap anak, baik perempuan maupun laki-laki. Adapun kasus KDRT lebih dari 300 kasus.
Kekerasan dalam berbagai sistem
Kendati perempuan sangat rentan terhadap berbagai kekerasan, Yusnaningsih Kasim, Koordinator Capacity Building Kapal Perempuan, mengungkapkan, kekerasan terus berlangsung dalam berbagai ruang. Mulai sistem sosial, budaya, tradisi dan adat, serta tafsir hukum dan dalil agama, hingga sistem hukum, pendidikan, dan ekonomi.
”Secara sosial, jika perempuan melawan, dianggap tidak patuh karena dia melawan suami. Jadi, salahnya perempuan kalau dia mengalami kekerasan. Inilah yang melanggengkan kekerasan terjadi kepada perempuan,” kata Yusnaningsih, yang akrab disapa Ulfa.
Dalam tradisi, juga masih sering ditemui berbagai kekerasan terhadap perempuan atas nama tradisi. Meskipun sudah dibawa ke ranah hukum, sering kali kasus ditarik karena alasan akan diselesaikan secara adat.
Dalam diskusi tersebut, sejumlah perempuan, pemimpin/anggota Sekolah Perempuan di daerah, membawakan testimoni terkait KDRT, yakni Indotang (Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulsel), Rinta Yusna (Gresik, Jatim), Yemy Sally (Kupang, NTT), Yulianti Puti (Padang, Sumbar), dan Lulu (Lombok, NTT).
Adapun Rinta Yusna, yang selama ini pendamping lapangan Sekolah Perempuan di Gresik, memaparkan kasus yang menghebohkan di media sosial, yakni seorang suami yang menjual istrinya di saat pandemi.
Korban tidak tahu jika dirinya sedang dijual oleh suaminya.
”Kejadian itu terjadi di desa dampingan saya. Perempuan tersebut bukan hanya korban KDRT, melainkan juga termasuk praktik perdagangan orang dan kejahatan siber karena menggunakan teknologi daring untuk menggunakan transaksinya. Sementara korban tidak tahu jika dirinya sedang dijual oleh suaminya,” tutur Rinta.
Kasus tersebut akhirnya terungkap dan ditangani kepolisian Jatim. Korban kemudian mendapat penanganan dari lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Gresik. Namun, tanggapan masyarakat atas kasus tersebut justru lebih banyak menyalahkan korban.
Sementara itu, Indotang, menyampaikan testimoni bagaimana dia menjadi korban KDRT dan bisa bertahan melewati berbagai tantangan. Bahkan, sejak beberapa tahun lalu, dia bergabung dengan Sekolah Perempuan, menyosialisasikan pencegahan KDRT dan perkawinan anak.
”Saya adalah perempuan korban KDRT; ketika anak saya delapan bulan, saya ditinggalkan suami. Dulu, saya malu keluar rumah, saya sekarang tidak malu lagi, bahkan saya bergabung dengan perempuan lain. Saya berjualan sayur keliling untuk menghidupi anak saya agar mendapat pendidikan lebih baik,” ujar Indotang, yang kini anaknya sudah berusia 13 tahun.