Catatan Kelam Kekerasan Seksual pada Anak
Kekerasan seksual pada anak bukanlah problem baru dan sudah menjadi isu pelik dari masa ke masa. Sayangnya, tidak ada data kuat yang menegaskan gentingnya permasalahan ini sehingga penanganannya tidak optimal.

Polisi Resor Langsa, Aceh merilis pengungkapan kasus pemerkosaan terhadap seorang anak yang dilakukan oleh 10 laki-laki, Rabu (31/3/2021).
Aksi kekerasan seksual pada anak terus terjadi sekalipun dalam situasi pandemi. Tidak ada tempat dan lingkungan yang benar-benar menjamin anak terhindar dari kejahatan itu. Dibutuhkan jaminan hukum yang lebih kuat dan partisipasi masyarakat serta lingkungan terdekat anak demi mencegah kekerasan seksual.
Pandemi Covid-19 tidak menghindarkan anak-anak dari aksi kejahatan termasuk kekerasan seksual. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat pada 2020 sebanyak 419 anak menjadi korban kekerasan seksual. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya seperti pada 2019 dengan 190 anak korban kekerasan seksual.
Angka ini tidak benar-benar menggambarkan banyaknya kasus kekerasan seksual anak di Indonesia karena data berasal dari laporan pengaduan. Akan tetapi data tersebut cukup menggambarkan gentingnya problem ini.
Apalagi baru-baru ini terjadi kasus pemerkosaan seorang anak perempuan oleh oknum polisi di Markas Kepolisian Sektor Jailolo Selatan, Kabupaten Halmaheta Barat, Maluku Utara (14/6/2021). Pelaku, Brigadir Satu NI awalnya mengamankan korban dan satu temannya di Markas Polsek dengan alasan diminta mengawasi oleh rekannya yang merupakan keluarga korban.
Di Markas Polsek, korban dan temannya ditempatkan dalam ruangan yang berbeda. Pelaku kemudian memaksa korban untuk mengikuti kemauannya dengan ancaman akan dipenjarakan.
Kasus ini sekali lagi menegaskan bahwa tidak ada jaminan pasti anak-anak terhindar dari kejahatan itu sekalipun di tempat yang dianggap aman. Markas polisi yang seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi masyarakat nyatanya tidak menjamin perlindungan masyarakat, dalam hal ini anak-anak, dari kekerasan seksual.

Sejumlah aktivis dari berbagai organisasi dan elemen masyarakat menggelar aksi malam solidaritas untuk "Anak Korban Kejahatan Seksual" di Gedung Perintis Kemerdekaan, Jakarta Pusat, Rabu (9/1/2013). Acara diisi dengan testimoni kisah kasus pemerkosaan di Indonesia dan penanganannya.
Sementara di lain tempat dan waktu, kasus kekerasan seksual anak juga marak terjadi di lingkungan terdekat seperti tempat tinggal dan sekolah. Pelaku juga merupakan kerabat atau orang terdekat anak-anak seperti ayah, ibu, paman, teman atau guru. Padahal seharusnya keluarga dan lingkungan sekolah berperan penting dalam tumbuh kembang anak.
Hal ini menyuguhkan fakta yang berbanding terbalik dengan pengetahuan publik akan lokasi terjadinya kekerasan seksual. Survei yang dilakukan INFID dan IJRS pada Mei-Juli 2020 terhadap 2.210 responden menyebutkan sebagian besar publik kurang menyadari rentannya kekerasan seksual di lingkungan terdekat seperti tempat tinggal atau tempat kerja.
Hanya kurang dari 30 persen responden yang menganggap tempat tinggal dan tempat kerja rentan terjadi kekerasan seksual. Sementara sebagian besar merasa kekerasan seksual terjadi di ruang-ruang publik seperti taman, mal, sarpras transportasi, atau trotoar.
Ada dua hal yang dapat disarikan dari data-data tersebut. Pertama, aksi kekerasan seksual pada anak terus saja terjadi sekalipun di masa pandemi. Bahkan, kejadian ini melibatkan pelaku yang seharusnya berperan dalam melindungi anak-anak.
Kedua, rendahnya kewaspadaan publik terhadap kekerasan seksual di ruang-ruang privat dan tempat yang dianggap aman dan melindungi. Hal ini menentukan bagaimana masyarakat turut bertindak dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual pada anak. Kedua hal ini mengingatkan perlunya upaya lebih besar untuk mengurangi kekerasan seksual pada anak.

Problem laten
Kekerasan seksual pada anak bukanlah problem baru dan sudah menjadi isu pelik dari masa ke masa. Sayangnya, tidak ada data kuat yang menegaskan gentingnya permasalahan ini sehingga penanganannya tidak optimal.
Pada era tahun 1990-an, hasil penelitian Litbang-Data Informasi Anak Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia menyebutkan terdapat 58 peristiwa kekerasan seksual terhadap anak umur di bawah 21 tahun (Kompas, 11/9/1990). Sebagian besar korban (44 dari 67 kasus) berusia di bawah 15 tahun. Data ini dikumpulkan dari pemberitaan surat kabar di Indonesia periode 1989-Maret 1990.
KPAI mencatat pada 2020 sebanyak 419 anak menjadi korban kekerasan seksual
Saat itu, data resmi kekerasan seksual terhadap anak masih sulit didapatkan. Seiring waktu, pemerintah berusaha mengumpulkan data-data kekerasan seksual anak untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam perlindungan anak. Salah satunya dengan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2018.
Berdasarkan survei ini, satu dari 11 anak perempuan serta satu dari 17 anak laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual. Kekerasan yang dialami berwujud kontak fisik bahkan dengan paksaan dan ancaman. Tak jarang juga anak-anak ini mendapat perlakuan berupa aksi non-kontak seperti terlibat pornografi, kirim foto atau video hingga menyaksikan aksi seksual.
Tak berhenti di situ saja, aksi keji pelaku kekerasan seksual anak juga menyasar media daring. KPAI mendata laporan pengaduan kekerasan seksual anak melalui media daring apda 2020 mencapai 103 kasus. Pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah kasus yang dilaporkan tidak jauh berbeda yaitu 112 kasus (2016), 126 kasus (2017), 116 kasus (2018) dan 87 kasus (2019).
Data ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual anak sudah meluas hingga masuk ke jejaring daring. Baik di dunia maya dan dalam ranah publik kehidupan sehari-hari, anak-anak sangat rentan akan kekerasan seksual. Mereka sangat butuh pengawasan dan perlindungan dari aksi kekerasan seksual.

Para demonstran yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) berdemonstrasi menuntut pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Kolaborasi penanganan
Untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual pada anak, sebenarnya terdapat sejumlah hukum yang mengatur. Aturan ini semakin tegas setelah diakuinya hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak sebagai hasil Sidang Majelis Umum PBB pada 20 November 1989.
Indonesia telah menandatanganinya pada 26 Januari 1990. Atas dasar itu, pemerintah menetapkan berbagai peraturan perundangan terkait anak, pembentukan kelembagaan dan rencana aksi pemenuhan serta perlindungan anak.
Dalam upaya melindungi anak, negara telah menerbitkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian mengalami perubahan dalam UU Nomor 35 Tahun 2014. Melalui aturan ini, hak-hak anak dan perlindungan dari kekerasan lebih terjamin. Sanksi pidana dan denda bagi pelaku juga diatur lebih tegas.
Aturan tersebut kemudian dikuatkan dengan UU Nomor 17 Tahun 2016 untuk menempatkan upaya preventif lebih utama. Upaya ini dilakukan dengan menambah hukuman berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik serta rehabilitasi bagi pelaku.

Namun dalam penerapannya, penegakan keadilan atas kasus kekerasan seksual terhadap anak belum optimal. Seperti ditulis dalam jurnal berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban dari Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual (2020)”, penegak hukum seringkali menggunakan KUHP untuk menangani kasus kekerasan seksual anak.
Padahal KUHP belum mengatur hak-hak anak sebagai korban dalam memperoleh jaminan hukum. Dibanding menggunakan KUHP, UU Perlindungan Anak dapat memberikan perlindungan lebih baik.
Baca juga: Melawan Ancaman Prostitusi Anak
Di sisi lain, aturan-aturan tersebut belum sepenuhnya mengatur secara detil tentang kekerasan seksual. RUU Penghapusan Seksual yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 setelah pembahasannya tertunda bertahun-tahun diharapkan menjadi aturan hukum yang diandalkan dalam menangani kasus kekerasan seksual khususnya pada korban anak-anak.
Kini pembahasan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) di DPR mengatur sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual serta hak korban atas perlindungan, penanganan, pemulihan sebelum, selama, dan pasca persidangan. Sementara UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak hanya mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan persetubuhan dengan anak, pencabulan, dan eksploitasi seksual terhadap anak.

Sejumlah komunitas dan LSM peduli anak mengadakan kampanye perlindungan anak dari tindak kekerasan dan eksplotasi di Jakarta, Minggu (2/8/2015).
Pengesahan RUU PKS urgen untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang sebelumnya tidak diatur pada aturan hukum yang saat ini berlaku. Penegakan aturan hukum saja tidak cukup untuk mengurangi aksi kekerasan seksual terhadap anak-anak mengingat kompleksnya permasalahan ini.
Selama ini perlindungan anak masih dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah saja. Padahal fungsi pengawasan dan kontrol terdekat berada di tangan masyarakat, keluarga dan lingkungan sekolah.
Baca juga: Menagih Komitmen Dunia untuk Masa Depan Anak
Partisipasi dari masyarakat dapat diwujudkan dengan tidak menganggap tabu atau aib atas musibah kekerasan seksual. Sehingga tidak perlu tindakan pengucilan atau menyalahkan korban.
Perlu disadari, kasus kekerasan seksual pada anak bukan lagi masalah personal yang dapat diselesaikan secara "kekeluargaan" semata. Sebaliknya, masalah ini merupakan persoalan serius yang perlu dilaporkan dan diselesaikan melalui jalur hukum agar pelaku dapat diadili dan korban mendapatkan perlindungan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: "Invisible Women" dan Dominasi Data Laki-laki di Kehidupan Perempuan