Bagaimana korban berani bersuara bila masyarakat membela pelaku atas nama ”kesucian agama” dan bersikap sangat ”moralistis” yang justru membungkam suara korban dan mempersulit terungkapnya kasus?
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Belum lama ini terungkap kasus kekerasan seksual amat parah yang dilakukan HW (36 tahun), pemimpin dan guru sebuah pesantren di Kota Bandung. Ia melakukan kekerasan seksual pada belasan santriwati hingga hamil dan melahirkan selama lima tahun terakhir. Saat kejadian, korban berusia antara 13 dan 16 tahun. Terungkapnya kasus kekerasan seksual ini menambah laporan-laporan kekerasan seksual lain yang dilakukan oleh tokoh otoritas dan pemimpin agama.
Saya jadi ingat novel terkenal yang kemudian diangkat menjadi film dengan pemain utamanya Demi Moore, Scarlet Letter. Isu yang diangkat oleh novel tersebut ternyata masih sangat relevan dengan masa kini. Novel berkisah mengenai situasi pada tahun 1642 di Boston, ketika seorang perempuan yang melahirkan tanpa suami dicaci-maki penuh kemarahan oleh sesama perempuan dan laki-laki. Ia diarak dan dipertontonkan di depan massa. Seorang perempuan berteriak, ”Harusnya ia ditelanjangi saja, tidak tahu malu!”
Hester, demikian nama perempuan yang melahirkan tanpa suami itu, seharusnya dihukum gantung. Tetapi seorang pendeta muda yang sangat dihormati dan berpengaruh dalam masyarakat, Arthur Dimmesdale, memberi saran kepada penguasa agar hal tersebut tidak dilakukan.
Sudah terlalu lama pelaku kekerasan seksual diuntungkan oleh sikap masyarakat yang hipokrit dan munafik.
Sang pendeta penyelamat ini kemudian mendesaknya untuk menjelaskan siapa laki-laki yang menghamilinya. Hester bungkam. Ia memperoleh penghukuman dengan ke mana-mana diharuskan mengenakan baju bertuliskan ”A” berwarna kemerahan (scarlet) di dadanya. ”A” merupakan tanda adultery (perzinahan) atau adulterer (pezinah). Ia dicap sebagai pendosa.
Baru di akhir cerita terungkap bahwa sebenarnya laki-laki yang menghamili Hester adalah Dimmesdale, sang pendeta muda yang demikian karismatik itu, yang menanyai Hester di depan umum; ”Siapa bapak anakmu?” Sangat konyol, memilukan sekaligus memuakkan. Bertahun-tahun ia tampil seolah pahlawan, di atas kesendirian, penderitaan, dan penghukuman yang dialami perempuan yang telah dihamilinya.
Pandangan bias
Apakah terungkapnya kasus kekerasan seksual oleh HW dapat memengaruhi cara pandang kita yang sering sangat bias mengenai seksualitas dan kekerasan seksual? Bagaimana korban berani bersuara bila masyarakat membela pelaku atas nama ”kesucian agama” dan bersikap sangat ”moralistis” yang justru membungkam suara korban dan mempersulit terungkapnya kasus?
Sudah terlalu lama pelaku kekerasan seksual diuntungkan oleh sikap masyarakat yang hipokrit dan munafik. Vanderheyden (1999) dan Zerbe Taylor (2002) menggunakan istilah ”adiksi agama” dan ”obsesi terhadap spiritualitas” dalam artian negatif. Contohnya, dalam keluarga atau komunitas diberlakukan aturan yang sangat ketat. Dapat terkait ritual ibadah, cara berbusana, cara berhubungan dengan kelompok lain, dan perilaku seksual. Bila anggota mangkir atau berperilaku berbeda, ia dapat dikenai hukuman berat seperti dicap ”pendosa”, dipukuli atau bahkan dianggap bukan bagian dari keluarga lagi.
Pada keluarga dan komunitas semacam ini, nilai-nilai kebaikan dan keteladanan mengenai hal tersebut mungkin tidak diajarkan. Yang diajarkan adalah ketakutan akan dosa dan penghukuman dari Tuhan. Serta bahwa pemimpin agama adalah ”Wakil Tuhan” yang suci dan harus diikuti kata-katanya. Dengan Tuhan dikonsepkan sebagai penghukum, tokoh otoritas dapat berlindung di balik konsep tersebut untuk keuntungan dirinya sendiri.
Maka ia sibuk mengajarkan ”ini salah”, ”itu dosa”, mudah melekatkan cap buruk dan dengan kejam menghukum pihak lain, tetapi perilaku dirinya sendiri tidak terjaga. Yang mengklaim diri sebagai pemilik kebenaran itu memanfaatkan posisinya untuk melakukan berbagai hal yang dikutuknya sebagai dosa, termasuk melakukan kekerasan atau manipulasi seksual. Orang-orang di sekitarnya yang mengetahuinya berpura-pura tutup mata saja. Atau mencari-cari alasan untuk menolak mengakui fakta tersebut dan menutupi apa yang terjadi.
Kekacauan spiritual
Hingga kini ada korban yang mengalami ketidakadilan yang berlapis-lapis. Ketika melaporkan kasusnya ke proses hukum, penegak hukum memintanya untuk mencari dan membawa sendiri pihak-pihak yang bersedia menjadi saksi, agar laporannya dapat diproses. Suatu hal yang mustahil dan tidak berperikemanusiaan untuk dituntut dari korban.
Bila pelaku kekerasan dan masyarakat bersekongkol menutupi apa yang terjadi, apa yang dapat kita harapkan? Masyarakat akan meniru perilaku pemimpinnya. Dan yang tersisa dalam diri korban hanya teror, rasa takut, dan ketidakberdayaan.
Korban bungkam, dan masih pula dihukum oleh masyarakat. Maka kita mengerti betapa trauma yang dialami dan stigma yang diterima dapat menghadirkan rasa bingung dan kekacauan, hilangnya kepercayaan diri, kebencian kepada diri sendiri, hingga keinginan mengakhiri hidup.
Sebenarnya bukan hanya korban yang mengalami kekacauan spiritual. Banyak dari kita pun mengalami kekacauan spiritual itu. Ketika masyarakat menunjuk korban sebagai pendosa, serta membiarkan pelaku tak terjangkau hukum dan terus berkhotbah mengenai agama dan kebenaran, bukankah masyarakat mengalami kekacauan spiritual juga?
Sebagian warga masyarakat menolak Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta mendesak dicabutnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Daripada memberikan perlindungan bagi generasi muda agar tidak menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual, orang sibuk memindahkan wacana, berbicara mengenai moralitas yang kosong untuk mengaburkan persoalan dan berpolitik.
Terungkapnya kasus HW menyadarkan kita bahwa yang sering melekatkan kata ”dosa” kepada pihak lain itu barangkali malah lebih banyak dosanya. Sebenarnya ia-lah yang paling kacau secara spiritual. Meski membawa-bawa nama agama, sesungguhnya sikap pengecut dan kemunafikannya yang merusak kesucian dan nama baik agama.