Hoegeng adalah Simbol Kejujuran
Kamis, 14 Oktober 2021, adalah peringatan 100 tahun Hoegeng. Kiprahnya dalam penegakan hukum tak pandang bulu. Membicarakan Hoegeng adalah bicara kejujuran, persoalan yang dihadapi dalam penegakan hukum saat ini.
”Hoegeng sungkem ke ibunya. ’Saya tidak punya pekerjaan Bu.’ Ibunya mengatakan, ’Kalau kamu jujur, kami masih bisa makan nasi garam.’”
Kutipan itu saya petik dari Merry Roeslani, istri almarhum Kepala Polri (1968-1971) Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santosa. Merry menceritakan kisah itu kepada pers berbarengan dengan peluncuran buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan karya Suhartono, 19 November 2013. Hoegeng identik dengan kejujuran, ketegasan, dan kesederhanaan.
Kamis, 14 Oktober 2021, adalah peringatan 100 tahun Hoegeng. Tak banyak aktivitas yang digelar untuk mengenang seabad Hoegeng. Hoegeng meninggal pada 14 Juli 2004. Namun, laku moral Hoegeng patut diteladani generasi sekarang ini. Dalam obituari meninggalnya Hoegeng, Chris Siner Key Timu, rekan Hoegeng di Petisi 50, menulis di harian Kompas, 15 Juli 2004, ”Bangsa, masyarakat, dan negara kehilangan seorang tokoh panutan, seorang yang senantiasa hidup dalam kejujuran, sekaligus sebagai simbol bagi kejujuran yang hidup. Almarhum bukan hanya menjadi simbol kejujuran bagi kepolisian, tetapi juga bagi seluruh jajaran birokrasi, bahkan simbol kejujuran bagi seluruh masyarakat.”
Kiprah Hoegeng dalam penegakan hukum tidak pandang bulu. Siapa pun yang melanggar hukum dan merugikan negara akan dikejarnya. Berbagai kisah telah dipaparkan bagaimana seorang cukong mengirimkan barang-barang mewah ke rumah dinas Hoegeng di Medan, Sumatera Utara. Hoegeng mengultimatum cukong untuk mengambilnya dalam tiga jam. Karena tidak diambil, sebagaimana dilaporkan majalah Tempo, 16 Agustus 2021, Hoegeng memerintahkan anak buahnya untuk meletakkan barang-barang itu di pinggir jalan. Barang- barang itu diambil orang-orang yang melintas. Dalam bahasa sekarang, apa yang dialami Hoegeng adalah gratifikasi. Sebuah pencanggihan istilah dari penyuapan.
Chris Siner menulis, Hoegeng berencana menangkap seorang penyelundup besar yang datanya sudah mencukupi untuk ditahan. Hanya karena sang penyelundup disebut-sebut mempunyai backing dari Cendana, Hoegeng ingin menyampaikan penangkapannya tersebut kepada Presiden Soeharto. ”Yang membuatnya kaget adalah ketika Pak Hoegeng sampai di Cendana, orang yang direncanakan akan ditangkap oleh kepolisian itu ternyata sedang berbincang-bincang dengan Soeharto. Seperti yang dikatakannya, sejak itu Pak Hoegeng sekuku hitam pun tidak percaya lagi....”
Baca juga: Menanti Kapolri Ideal, Berkaca pada Hoegeng
Masih menurut Chris, ”Rupanya peristiwa itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai Kepala Polri oleh Presiden Soeharto. Alasan yang dikemukakan Soeharto adalah untuk regenerasi. Namun, yang kemudian membuat Pak Hoegeng merasa aneh ialah ketika menanyakan siapa yang akan menggantikannya, Soeharto mengatakan Mohammad Hassan. Secara spontan Pak Hoegeng mengatakan kepada Soeharto bahwa usia Mohammad Hassan lebih tua darinya, hanya untuk menunjukkan bahwa alasan regenerasi itu hanyalah dibuat-buat. Alasan sesungguhnya adalah Soeharto ingin menyingkirkan seorang Kepala Polri yang jujur.”
Hoegeng, sang polisi jujur, kemudian diberhentikan Presiden Soeharto. Hoegeng ditawari menjadi duta besar. Namun, ditolaknya karena dubes adalah jabatan diplomat.
Hoegeng adalah pelopor kewajiban penyelenggara negara melaporkan kekayaan, 46 tahun lalu. Gagasan itu baru terwujud saat reformasi dengan lahirnya Tap MPR Nomor XI/MPR/1998. Namun, Tap MPR beserta aturan turunannya, UU No 28/1999, seakan mandul karena banyak penyelenggara negara, mayoritas anggota DPR, mengingkarinya.
Hoegeng, sang polisi jujur, kemudian diberhentikan Presiden Soeharto. Hoegeng ditawari menjadi duta besar. Namun, ditolaknya karena dubes adalah jabatan diplomat.
Bicara Hoegeng adalah bicara kejujuran. Mungkin karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi—pada satu masa— mengambil slogan kampanye berani jujur hebat. Namun, waktu berlalu. Nilai kejujuran kian memudar. Kejujuran menjadi barang langka. Slogan KPK itu dipelesetkan menjadi berani jujur pecat. Para pemberantas korupsi yang sudah mengabdi belasan tahun harus meninggalkan KPK. Mereka dinilai tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Secara terbuka, Pimpinan KPK mengumumkan, 57 pegawai yang tak lolos bertanda merah dan tidak bisa dibina lagi.
Namun, belakangan, legitimasi tes wawasan kebangsaan dipersoalkan. Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo atas persetujuan Presiden Joko Widodo berniat menarik 57 pegawai KPK itu menjadi aparatur sipil negara Polri. Sebuah langkah berani. Meskipun langkah itu belum disambut karena masih butuh pendetailan, pernyataan politik Jenderal Listyo paling tidak mengoreksi legitimasi tes wawasan kebangsaan serta vonis tanda merah.
Baca juga: Hoegeng, yang ”Ditinggal” di Hari Bhayangkara
Peringatan seabad Hoegeng terasa sepi. Suasana kemurungan justru terasa memprihatinkan di lingkungan Polri. Munculnya tagar ”percumaLaporPolisi” merupakan sinyal peringatan agar Polri berbenah diri. Video viral polisi membanting mahasiswa adalah kampanye buruk untuk Polri. Butuh tindakan koreksi agar cita-cita mewujudkan polisi yang presisi dan humanis menjadi kenyataan, bukan hanya slogan.
Saya tidak tahu apakah sejarah sedang berulang di negeri ini. Tersingkirnya orang-orang jujur yang telah berjuang untuk memberantas korupsi di negeri ini. Mereka kini terpinggirkan dengan berjualan nasi goreng, membuka kedai kopi, berjualan online (daring) untuk tetap memelihara dan menjaga integritas dan kejujuran. Sama dengan yang dikatakan Hoegeng, ”Selesaikan tugas dengan kejujuran karena kita bisa makan dengan nasi garam.”
Belajarlah dari Hoegeng. Kecuali kejujuran dan integritas yang dimulai dari diri sendiri, juga ada kesediaan dan kerelaan hidup sederhana.
Belajarlah dari Hoegeng. Kecuali kejujuran dan integritas yang dimulai dari diri sendiri, juga ada kesediaan dan kerelaan hidup sederhana. Namun, dunia memang telah berubah. Era sekarang adalah era reproduksi citra, era hedonistik, era pamer kemewahan, dan era transaksional.
Memang, butuh penelitian mendalam apa yang sedang terjadi di negeri ini? Mengapa korupsi merajalela? Mengapa kursi lurah sampai diperjualbelikan untuk mendapatkan uang? Mengapa dalam bangsa besar ini tak bisa lagi melahirkan orang besar macam Hoegeng? Mengapa demokrasi menjadi sangat jual beli? Mengapa pimpinan DPR bisa mengatur perkara di KPK? Mengapa komisioner KPK bisa membocorkan informasi perkara di KPK kepada tersangka? Mengapa bangsa ini selalu mendapat perlawanan dalam perang melawan korupsi? Apakah ini terkait dengan manusia Indonesia?
Butuh penelitian mendalam. Penelitian sosial manusia Indonesia dan korupsi. Mungkin Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bisa melakukan penelitian sosial menyangkut akar-akar korupsi di negeri ini.