Mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso pernah dilarang mengikuti perayaan HUT Polri selama 10 tahun. Ada sosok berkuasa yang tidak menyukai keberadaannya ketika itu, yaitu Presiden Soeharto.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
Di tengah penantian menyambut hari ulang tahun ke-42 Kepolisian Negara Republik Indonesia, mantan Kapolri Jenderal (Pol) (Purn) Hoegeng Iman Santoso mendapatkan satu memo yang melarang dirinya untuk ikut hadir di dalam upacara. Ada satu tokoh yang tidak menghendaki kehadirannya. Baru sepuluh tahun kemudian, Hoegeng diundang kembali.
Kepiluan hati Hoegeng saat tidak diundang di hari kebesaran Polri pada tahun 1987 masih dirasakan putranya, Aditya Soetanto, yang akrab disapa Didit. Padahal, ayahnya saat itu telah mempersiapkan segala sesuatunya demi bisa menghadiri acara Hari Bahayangkara, termasuk membatalkan menjadi saksi pernikahan salah seorang anggota keluarga. Namun, semua pupus begitu saja lewat memo yang diterimanya waktu itu.
”Saya lihat begitu kecewanya beliau. Saya sungguh bisa merasakan bagaimana perasaan beliau saat itu. Sedih banget. Sedih banget karena beliau sangat cinta dengan institusinya. Sangat cinta,” ucap Didit, yang dihubungi dari Jakarta, Rabu (1/7/2020).
Mantan Kapolri Jenderal (Pol) (Purn) Hoegeng Iman Santoso mendapatkan satu memo yang melarang dirinya untuk ikut hadir di dalam upacara HUT Bhayangkara ke-42. Ada satu tokoh yang tak menghendaki kehadirannya.
Ada spekulasi yang muncul pada waktu itu. Hoegeng (Kapolri 1968-1971) dikenal sebagai salah seorang penanda tangan Petisi 50, sebuah kelompok yang tidak disukai Presiden Soeharto. Bahkan, akibat petisi itu, kelompok musik The Hawaian Seniors yang dipimpinnya kemudian dilarang tampil di TVRI (Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa, 2009).
Satu dekade berselang, pada 1997, Hoegeng mendapat undangan kembali untuk mengikuti upacara HUT Bhayangkara. Saat itu, undangan langsung datang dari Kapolri Jenderal (Pol) Dibyo Widodo.
”Bapak langsung terlihat semringah. Sampai dateng ke tukang jahit, diukur lagi, lengkap dengan atributnya,” kenang Didit.
Hoegeng pun datang ke Markas Brimob Kelapa Dua, Bogor, didampingi seorang ajudan dari mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), yang saat ini menjabat Kapolda Bali Inspektur Jenderal Petrus Reinhard Golose.
”Saya sangat terharu mendapatkan kehormatan menghadiri acara peringatan ini. Kesempatan yang seperti ini yang saya rindukan. Sudah tahunan saya tidak boleh datang,” kata Hoegeng waktu itu.
Selepas pensiun dari Polri, mungkin mayoritas publik menilai, Hoegeng sebagai mantan Kapolri akan menurunkan harta benda yang melimpah ruah kepada anak-anaknya. Namun, bayangan itu tidak bisa serta-merta diamini Hoegeng dan keluarga.
”Beliau (Hoegeng) tak memberikan kami materi. Padahal, kalau dilihat posisinya, apa yang tidak enak. Namun, buat kami, tak ada masalah. Mau jadi pejabat atau tidak, sama saja buat kami,” kata Didit.
Hoegeng, lanjut Didit, selalu menyampaikan kepada anak-anaknya, entah mau jadi anak buah atau pemimpin, ibaratkan seperti memegang pedang dengan dua mata sisi yang tajam.
Pesan Hogeng, jika dirimu bisa menguasai pedang itu, kamu bisa membantu banyak orang. Namun, jika kamu tidak bisa menguasai pedang itu, lehermu sendiri akan putus.
”Jadi, kekuasaan atau jabatan apa pun merupakan suatu amanah. Jangan sampai disalahgunakan,” kata Didit menafsirkan pesan tersebut.
Menurut Didit, tak ada yang lebih berharga dibandingkan dengan nilai-nilai yang telah diajarkan Hoegeng kepada anak-anaknya. Kejujuran dan tepat waktu. Kedua hal itu selalu ditekankan Hoegeng kepada keluarga semasa hidup.
”Itu harta kami. Nilai-nilai yang selalu menjadi patokan dari beliau,” ucap Didit.
Pesan Hogeng, jika dirimu bisa menguasai pedang itu, kamu bisa membantu banyak orang. Namun, jika kamu tidak bisa menguasai pedang itu, lehermu sendiri akan putus.
Sosok panutan
Pada usia Polri yang menginjak 74 tahun hari ini, sosok Hoegeng muncul kembali setelah kasus penjemputan personel Polres Sula, Maluku Utara, terhadap Ismail Ahmad (41) yang mengunggah ke media sosial guyonan Gus Dur terkait dengan tiga polisi jujur, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng. Berkaitan dengan tindakan itu, Polres Sula ditegur oleh Polda Maluku Utara.
Tak beberapa lama setelah kejadian, Polri dikritik masyarakat sipil karena tindakan sebagian personel Polri dianggap bisa mengganggu kebebasan berekspresi dan demokrasi.
Situasi itu, menurut pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, merefleksikan bahwa masyarakat kehilangan seorang sosok yang didambakan sebagai sosok polisi yang jujur dan bisa mengemban amanah, seperti Hoegeng.
”Artinya, sekarang sudah empat dekade beliau (Hoegeng) meninggalkan Polri. Akan tetapi, sosoknya masih identik menjadi sosok yang sangat diidamkan oleh masyarakat,” tutur Bambang.
Situasi itu merefleksikan bahwa masyarakat kehilangan seorang sosok yang didambakan sebagai sosok polisi yang jujur dan bisa mengemban amanah, seperti Hoegeng.
Ini sebenarnya, ujar Bambang, harus menjadi cambuk bagi generasi muda kepolisian bahwa selama empat dekade nyaris tidak ada tokoh yang bisa menyamai Hoegeng. Artinya, pembangunan sumber daya manusia di Polri dipertanyakan.
”Kapolri sudah berganti sekian banyak, tetapi tidak ada sosok yang bisa mendekati sosok Hoegeng. Ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bagaimana Polri mencetak generasi mudanya,” tutur Bambang.
Hoegeng seharusnya tidak dipandang sebagai sosok yang terlalu mengawang-awang bagi generasi muda. Sosok itu nyata pernah ada dan menjadi orang nomor satu di Polri.
Perubahan zaman tentu memiliki tantangan yang juga jelas berbeda. Begitu pula antara masa kepemimpinan Hoegang dan Kapolri sekarang.
Namun, menurut Bambang, substansinya tetap sama bahwa kejujuran, rasa hormat, jiwa korsa yang tinggi harus tetap dilestarikan di tubuh Polri. Visi-misi Polri bersama rakyat juga seharusnya kembali digaungkan sehingga Polri bukan menjadi sosok yang jauh dari rakyat.
”Ini harus menjadi prioritas bagi pembangunan SDM Polri. Sebab, kalau tidak, generasi selanjutnya akan semakin pragmatis dan semakin jauh dengan masyarakat. Itu pun tidak menutup kemungkinan distrust semakin berkembang,” tutur Bambang.