Kudeta Myanmar dan Sikap ASEAN
Mata dunia tertuju pada ASEAN. Langkah ASEAN menemani Myanmar mewujudkan perdamaian di dalam negerinya akan menjadi langkah besar dan penting dalam mewujudkan cita-cita stabilitas keamanan di Asia Tenggara.
Hanya selang tiga bulan dari pelaksanaan pemilu demokratis dan kemenangan sipil di bawah Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), krisis politik kembali terjadi di Myanmar.
Tepat di hari yang seharusnya ditetapkan untuk pelantikan anggota parlemen baru, 1 Februari 2021, militer di bawah Jenderal Min Aung Hlaing justru mengumumkan negara dalam keadaan darurat dan menangkap secara paksa pemimpin sipil de facto, Aung San Suu Kyi, dan sejumlah pemimpin sipil lainnya.
Baca juga: Myanmar Kembali Masuki Masa Suram
Sinyal ancaman kudeta militer ini sebenarnya sudah terasa beberapa hari sebelum terjadi. Ketegangan antara kelompok militer dan pemerintahan sipil terkait hasil pemilu yang tidak sesuai harapan kubu militer, sudah diprediksi akan berujung pada kudeta. Dalih kecurangan pemilu dipakai meskipun kecurangan itu belum dapat dibuktikan melalui prosedur hukum yang berlaku.
Kudeta militer ini bukan pertama kali terjadi di Myanmar. Junta militer yang mengambil alih kekuasaan tahun 1962 baru memenuhi janjinya untuk melaksanakan pemilu hampir 30 tahun kemudian, setelah terjadi kerusuhan besar tahun 1988. Namun, pola yang sama dipakai junta tahun 1990 ketika pemilu tahun itu dimenangi NLD dan menyisakan kekalahan partai yang didukung militer, National Unity Party. Sejak pemilu ini, junta menorehkan ketidaksukaan terhadap NLD.
Kudeta militer ini bukan pertama kali terjadi di Myanmar.
Reaksi global dan sikap ASEAN
Aksi kudeta 1 Februari 2021 ini menuai kecaman dari dunia internasional. Amerika Serikat, Australia, India, Inggris, Jepang, Kanada, dan Sekjen PBB secara tegas mengecam aksi ini. Tak ketinggalan negara-negara ASEAN juga menunjukkan responsnya.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan sikap yang mendesak semua pihak di Myanmar untuk menahan diri dan mengedepankan dialog untuk mencari solusi bersama dengan menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam ASEAN.
Senada dengan Indonesia, Malaysia dan Singapura juga menyatakan perhatian yang serius terhadap proses demokrasi di Myanmar. Namun, sikap berbeda ditunjukkan Kamboja, Thailand, dan Filipina. Ketiganya berdalih bahwa ini urusan dalam negeri Myanmar.
Baca juga: Militer: Myanmar dalam Status Kondisi Darurat Selama Setahun
Di tengah perbedaan pandangan negara anggotanya, Brunei Darussalam yang tahun ini memegang tampuk keketuaan ASEAN berhasil mengambil langkah cepat dengan merumuskan empat poin pernyataan sikap melalui Sekretariat ASEAN.
Chairman’s Statement semacam ini merupakan langkah yang lazim dilakukan di ASEAN ketika tidak dapat menyetujui sebuah pernyataan bersama mengenai perkembangan situasi. Meskipun demikian, pernyataan tersebut tetap dikonsultasikan kepada anggota ASEAN lainnya, termasuk Myanmar (Sharon Seah, 2021).
Sebagaimana diprediksi, pernyataan sikap ini tentu tak jauh dari prinsip pakem di ASEAN terkait non-interferensi. Meskipun harus diakui, pernyataan Ketua ASEAN kali ini jauh lebih tegas dengan penekanan: “stabilitas politik di negara anggota ASEAN adalah penting untuk mencapai Komunitas ASEAN yang damai, stabil, dan makmur.”
Pertanyaannya, apakah ASEAN benar-benar tidak memiliki kewenangan untuk proaktif memperhatikan situasi Myanmar yang dianggap sebagai urusan domestiknya?
Baca juga: Rakyat Myanmar Melawan lewat Pembangkangan Sipil
Di satu sisi dapat dipahami bahwa kudeta militer ini adalah murni masalah internal Myanmar. Pertama, kudeta militer ini menegaskan bahwa Tatmadaw pada dasarnya tidak pernah bersungguh-sungguh menyerahkan kekuasaan kepada sipil. Meskipun junta militer telah dibubarkan tahun 2011, politik domestik Myanmar tidak pernah jauh dari campur tangan militer.
Konstitusi 2008 yang dibentuk oleh Tatmadaw dan terus berlaku hingga hari ini sejak awal jelas dikonstruksikan untuk memberikan keistimewaan kepada junta. Militer tetap menancapkan pengaruhnya dalam pemerintahan melalui partai yang didukung penuh oleh militer. Militer mempunyai jatah 25 persen dari keseluruhan kursi di parlemen. Posisi Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Keamanan Perbatasan harus di tangan militer.
Posisi Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Keamanan Perbatasan harus di tangan militer.
Kedua, pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh militer pada akhirnya menunjukkan suramnya masa depan kepemimpinan sipil yang stabil di Myanmar. Bahkan, dengan alasan kecurangan pemilu yang tidak terbukti saja, bisa menjadi dasar bagi militer untuk melakukan kudeta.
Selama Konstitusi 2008 yang mengizinkan militer untuk melakukan kudeta dan upaya lain untuk memperkecil kekuatan militer, tak diubah, akan sulit bagi Myanmar menegakkan pemerintahan sipil yang stabil.
Namun, memang diakui langkah mengamendemen konstitusi juga tidak mudah. Justru kekhawatiran bahwa parlemen yang baru dilantik akan mengubah Konstitusi 2008 tampaknya menjadi alasan utama di balik kudeta ini. Jelas bahwa kepentingan militer akan terganggu dengan rencana amendemen ini.
Baca juga: Suu Kyi dan Rivalitasnya dengan Para Jenderal
Alih-alih melihat “keberhasilan” kudeta ini sebagai kemenangan militer, situasi saat ini tampaknya harus dilihat secara berbeda. Kemenangan telak NLD dalam pemilu November 2020 (83 persen) pada dasarnya merepresentasikan aspirasi warga Myanmar untuk mengakhiri kekuasaan militer.
Di satu sisi, angka ini tentu mengganggu porsi 25 persen militer di parlemen. Di sisi lain, angka ini tidak bisa diabaikan, sekaligus harus mampu dibuktikan bahwa 83 persen warga Myanmar pro-pemerintahan sipil akan mampu membawa situasi kembali ke tangan sipil.
Di sisi lain, harus pula dipahami bahwa kudeta militer ini mempunyai dampak regional, terutama terhadap citra ASEAN sebagai satu-satunya organisasi regional di kawasan. Bagaimanapun juga, piagam ASEAN dengan tegas telah menyatakan komitmennya untuk menjunjung tinggi prinsip demokrasi, hak asasi manusia, penegakan hukum, dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Jelas bahwa pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh militer merupakan pencederaan terhadap prinsip ini. Hal inilah yang ditegaskan dalam pernyataan sikap para pemimpin ASEAN segera setelah krisis politik Myanmar terjadi. Lebih lanjut pernyataan sikap ini menyerukan bahwa mengingat stabilitas politik di negara anggota ASEAN adalah penting dalam mencapai Komunitas ASEAN yang damai, stabil, dan makmur, maka ASEAN mendorong upaya dialog, rekonsiliasi, dan kembali ke situasi normal sesuai keinginan dan kepentingan rakyat Myanmar.
Meski demikian, harus diakui pula bahwa tujuan prinsip demokrasi yang dimaksud dalam Piagam ASEAN sejak awal tidak ditujukan untuk mengubah sistem politik negara anggotanya menjadi demokrasi liberal.
Baca juga: Kudeta Bangkitkan Protes Terbuka Sejumlah Komponen Masyarakat Myanmar
Merujuk pada Luhulima (2016), corak demokratisasi di ASEAN adalah “gated democracy” atau “demokrasi berpintu gerbang”, artinya tekanan regional dan internasional untuk melakukan perubahan politik di negara-negara ASEAN dibendung oleh prinsip-prinsip ASEAN sendiri yang menempatkan hukum nasional sebagai prioritas dalam demokrasi di ASEAN. Akibatnya, ASEAN tidak beranjak jauh dari posisinya sebagai dependent variable dari kepentingan negara-negara anggotanya yang masih beragam nilai dan sistem politiknya.
Jelas bahwa pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh militer merupakan pencederaan terhadap prinsip ini.
Pertaruhan reputasi ASEAN
Terlepas dari kegamangan ASEAN sendiri terhadap prinsip demokrasi yang dianutnya, pernyataan sikap pemimpin ASEAN yang dilandaskan pada komitmen terhadap penegakan demokrasi, ini sangat tepat waktu (timely) meskipun terdapat perbedaan pandangan di antara negara anggotanya. Sebagian negara anggota ASEAN menganggap ini sebagai masalah internal Myanmar.
Dalih prinsip non-interferensi mungkin saja dipakai, tetapi tidak mungkin untuk kedua kalinya citra ASEAN harus dipertaruhkan terkait Myanmar. Setelah ASEAN dianggap tidak bertaring menghadapi Myanmar di kasus Rohingya, tentu krisis politik Myanmar ini akan kembali mempertaruhkan reputasi ASEAN.
Baca juga: Militer Myanmar Takut Kehilangan Kekuasaan Politik dan Ekonomi
Poin yang dirumuskan dalam pernyataan sikap tersebut patut diapresiasi. Penekanan pada dialog dan konsultasi sesuai dengan prinsip-prinsip ASEAN dan dengan cara itu pula ASEAN sebaiknya membuka diri terhadap Myanmar. Dalam waktu dekat, tentu tepat bagi ASEAN untuk membuka dialog dengan pemimpin junta Myanmar, bukan dalam rangka mencampuri urusan dalam negerinya, melainkan membawa Myanmar kembali ke jalan demokratisasi yang telah dirintis tertatih-tatih selama satu dekade ini.
Persoalan yang dihadapi Myanmar ini pada akhirnya membuka kembali perdebatan yang sempat terjadi di ASEAN sewaktu merumuskan Komunitas Keamanan ASEAN yang dipelopori Indonesia. Indonesia pada dasarnya tetap mendukung prinsip non-interferensi dalam urusan dalam negeri masing-masing negara anggota ASEAN, tetapi Indonesia menginginkan agar prinsip tersebut tidak dimaknai secara kaku (rigid) dan diterapkan secara lebih fleksibel.
Dengan demikian, Indonesia mengharapkan negara anggota ASEAN akan lebih terbuka terhadap saran dari sesama anggota lainnya jika terjadi persoalan atau krisis. Namun, ide Indonesia yang dianggap terlampau jauh dan radikal saat itu ditentang negara anggota lainnya.
Dengan prinsip non-interferensi yang fleksibel, tentu proses dialog antara para pemimpin ASEAN dengan pemerintah junta militer di Myanmar dapat dilakukan. Proses dialog ini bisa dalam bentuk retret khusus terkait isu Myanmar maupun fokus khusus terhadap Myanmar di ASEAN Summit 2021.
Baca juga: Dewan Keamanan PBB Coba Galang Satu Suara untuk Myanmar
Janji pemimpin junta untuk melakukan pemilu dalam waktu satu tahun ini merupakan salah satu hal krusial yang dapat dikawal ASEAN. Kepastian akan pelaksanaan pemilu ini penting bagi ASEAN mengingat dampak lebih besar yang akan terjadi jika junta militer berkuasa secara berkelanjutan di Myanmar, terutama terhadap kelompok etnis minoritas.
Meskipun sikap diam Aung San Suu Kyi terkait perlakuan militer terhadap etnis Rohingya di International Court of Justice di Den Haag, telah menorehkan ketidakpercayaan internasional terhadap komitmennya akan proteksi HAM dan kekecewaan di kelompok masyarakat sipil di Myanmar dan jejaringnya di Asia Tenggara.
Selanjutnya, kembali ke pernyataan sikap ASEAN terhadap Myanmar terkait relevansi stabilitas negara anggota terhadap pencapaian Komunitas ASEAN, apa yang terjadi di Myanmar adalah juga bagian persoalan ASEAN yang harus disikapi. Sejalan dengan semangat people-centered dari Komunitas ASEAN, yang salah satu pilarnya Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN, jelas mengindikasikan bahwa hubungan damai ini tidak hanya antar-negara ASEAN, tetapi juga hubungan damai di dalam negeri masing-masing (Anwar, 2007).
Sekali lagi, mata dunia internasional tertuju pada ASEAN. Langkah ASEAN menemani Myanmar mewujudkan perdamaian di dalam negerinya akan menjadi langkah besar dan penting dalam mewujudkan cita-cita stabilitas keamanan di Asia Tenggara.
Lidya Cristin Sinaga, Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI.