Dewan Keamanan PBB Coba Galang Satu Suara untuk Myanmar
DK PBB menyerukan pemulihan kekuasaan sipil menyusul kudeta tak berdarah militer Myanmar. Status darurat juga dituntut untuk dicabut.
NEW YORK, RABU — Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan pertemuan darurat terkait dengan Myanmar, Selasa (2/2/2021), tetapi tidak dapat menyetujui pernyataan tentang kudeta militer negara itu.
Para diplomat mengatakan, negosiasi akan dilanjutkan karena China dan Rusia yang meminta lebih banyak waktu untuk bersikap.
Dalam draf yang beredar, DK PBB menyerukan dikembalikannya kekuasaan sipil menyusul kudeta tak berdarah di Myanmar pada 1 Februari ini.
Pemimpin yang terpilih secara demokratis, Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan politisi senior lainnya ditangkap dan ditahan pascakudeta itu.
Teks yang dirancang oleh Inggris itu juga menyerukan militer Myanmar untuk ”segera membebaskan mereka yang ditahan secara tidak sah”. Draf itu juga menuntut agar keadaan darurat satu tahun dicabut dan ”agar semua pihak mematuhi norma-norma demokrasi”. Namun, draf itu tidak menyebutkan sanksi.
Untuk dapat diadopsi, draf itu memerlukan dukungan dari China. Beijing adalah pendukung utama Myanmar di PBB dan memiliki hak veto sebagai anggota tetap DK PBB.
Selama krisis Rohingya pada 2017, China menggagalkan inisiatif apa pun di dewan untuk bertemu di Myanmar atau mengeluarkan pernyataan bersama.
Baca juga: AS Ancam Jatuhkan Sanksi Lagi kepada Myanmar, DK PBB Gelar Sidang Darurat
Beijing bersikeras bahwa penumpasan militer brutal terhadap minoritas Muslim adalah masalah internal negara itu. Langkah China ini dimengerti karena juga menghadapi tekanan serupa dalam kaitan dengan Uighur.
”China dan Rusia telah meminta lebih banyak waktu,” kata seorang diplomat. Pengakuan itu muncul setelah digelar pertemuan melalui konferensi video secara tertutup di New York yang berlangsung lebih dari dua jam. ”Sebuah pernyataan masih dalam pembahasan,” kata diplomat lain, yang juga enggan disebutkan namanya.
Diplomat Swiss, Christine Schraner Burgener, Utusan PBB untuk Myanmar, memberi pengarahan kepada 15 anggota DK PBB tentang perkembangan terakhir pada pertemuan itu.
”Dia mendesak anggota dewan untuk secara kolektif mengirimkan sinyal yang jelas guna mendukung demokrasi di Myanmar,” menurut juru bicara PBB, Stephane Dujarric.
Inggris, yang memegang kursi keketuaan bergilir DK PBB untuk Februari ini, telah lama merencanakan pertemuan di Myanmar pekan ini. Pertemuan itu lalu dipercepat sehubungan terjadi kudeta di Myanmar.
Para diplomat mengungkapkan, China menuntut pertemuan itu dilakukan secara tertutup. Kementerian Luar Negeri China pada awal pekan ini telah meminta semua pihak di Myanmar untuk ”menyelesaikan perbedaan”.
Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward mengatakan kepada wartawan setelah pertemuan bahwa dirinya berharap DK PBB akan ”dapat berbicara dengan satu suara”. ”Diskusi akan dilanjutkan di antara anggota DK tentang langkah-langkah selanjutnya,” ujarnya.
Seandainya Dewan Keamanan bertindak tegas sejak hari pertama, kita mungkin tidak berada dalam situasi di mana nyawa dan kebebasan orang-orang di seluruh Myanmar sekarang menghadapi risiko yang lebih besar.
Lembaga pembela hak asasi manusia (HAM), Amnesty International dan Human Rights Watch, merilis pernyataan yang berisi seruan agar DK PBB mengambil sikap tegas.
”Seandainya Dewan Keamanan bertindak tegas sejak hari pertama, kita mungkin tidak berada dalam situasi di mana nyawa dan kebebasan orang-orang di seluruh Myanmar sekarang menghadapi risiko yang lebih besar," kata Sherine Tadros dari Amnesty International.
Dia meminta DK PBB untuk memberlakukan ”sanksi keuangan yang rinci” kepada para pemimpin militer Myanmar dan ”embargo senjata global yang komprehensif” di negara itu. Louis Charbonneau, Direktur Human Rights Watch, juga menuntut ”sanksi yang jelas” kepada para pemimpin kudeta.
Partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Suu Kyi memenangi pemilihan pada November tahun lalu dengan telak. Namun, militer Myanmar kini mengklaim bahwa pemilihan tersebut dinodai oleh penipuan.
Baca juga: AS Ancam Jatuhkan Sanksi Lagi kepada Myanmar, DK PBB Gelar Sidang Darurat
Pertemuan DK PBB dengan topik Myanmar terakhir dilakukan pada September tahun lalu dan juga berlangsung secara tertutup. Deklarasi bersama DK PBB terakhir tentang negara itu diadopsi pada 2018.
Pemerintah Amerika Serikat pada Selasa menyatakan, penangkapan para pemimpin sipil di Myanmar sebagai kudeta. Washington bertekad mencari cara untuk menjatuhkan lebih banyak sanksi atau hukuman lain kepada militer dan perwira negara itu.
Perebutan kekuasaan militer di Myanmar menimbulkan tantangan bagi pemerintahan Biden yang baru berusia dua pekan. Washington menyatakan ingin mendukung gerakan demokrasi yang goyah secara global, tetapi juga ingin menghindari negara-negara, seperti Myanmar, mendekat ke China.
”AS akan bekerja erat dengan mitra kami di seluruh kawasan dan dunia untuk mendukung penghormatan terhadap demokrasi dan supremasi hukum di Burma serta untuk mempromosikan akuntabilitas bagi mereka yang bertanggung jawab untuk membalikkan lintasan demokrasi Burma,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price.
Baca juga: Militer Myanmar Takut Kehilangan Kekuasaan Politik dan Ekonomi
Burma adalah nama lama Myanmar. Deplu AS menyatakan, apa pun hukuman yang diputuskan, AS akan memberikan bantuan kemanusiaan langsung kepada rakyat Myanmar.
Washington memberi bantuan senilai 135 juta dollar AS kepada Myanmar sepanjang tahun lalu. Jika ada, kecil kemungkinan dampak hukuman baru AS terhadap militer Myanmar.
Washington telah memberikan sanksi kepada banyak pemimpin militer negara itu dan menahan bantuan dari militer secara keseluruhan.
Langkah itu diambil merespons tindakan keras militer yang diduga dilakukan dan menyulut pengungsian besar-besaran warga etnis minoritas Myanmar, Rohingya, keluar dari Myanmar. (AP/AFP/REUTERS/BEN)