Suu Kyi pernah bersikap keras terhadap militer Myanmar. Ia juga pernah membela militer di hadapan dunia. Semuanya berujung sama baginya: tahanan rumah.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Sehari setelah militer melakukan kudeta yang dirancang dengan baik oleh para petinggi militer Myanmar, pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pun kembali ke masa lebih dari satu dekade lalu, yaitu tahanan rumah. Rivalitasnya dengan para jenderal melucuti kebebasan baru Myanmar.
Kali ini rivalitas Suu Kyi dengan para petinggi militer Myanmar terjadi setelah ia mengecewakan banyak pendukungnya yang pernah setia di komunitas internasional. Para pemimpin Barat tetap menuntut Suu Kyi dibebaskan, tetapi tentu ia bukan lagi teladan bagi kepemimpinan demokratis.
Akan tetapi, Suu Kyi sebenarnya berada dalam situasi sulit sehingga dia memilih diam ketika militer memberhangus etnis minoritas Rohingya di Rakhine. Kalaupun dia bersuara atas nama kemanusiaan dalam merespons dampak operasi militer itu, bisa jadi dia dicap berseberangan dengan militer.
Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) Suu Kyi menang telak dalam pemilu parlemen pada November 2020 sehingga mengejutkan para jenderal yang haus kekuasaan. Mereka kemudian berteriak mengklaim pemilu curang. Namun, Komisi Pemilihan Umum Myanmar membantah klaim itu sebagai tidak memiliki dasar atau bukti yang kuat.
Siapa yang sesungguhnya menguasai Myanmar akhirnya terlihat ketika pada Senin (1/2/2021) militer menahan Suu Kyi dan para pemimpin lainnya. Peristiwa itu terjadi beberapa jam sebelum parlemen yang baru terpilih akan bersidang.
Dengan bandara ditutup dan jaringan komunikasi umumnya terputus, Myanmar kembali terisolasi dan jatuh ke dalam kegelapan mengakhiri 10 tahun kebebasan baru dan pemerintahan kuasi-sipil yang dipandang presiden ke-44 AS, Barack Obama, sebagai suar demokrasi yang baru lahir.
Stasiun televisi milik militer, Myawaddy TV, mengumumkan bahwa Myanmar kini dalam status darurat selama satu tahun.
Kini tidak jelas siapa yang bisa memimpin negeri itu keluar dari kegelapan. ”Saya yakin bahwa Aung San Suu Kyi telah menjadi kaki tangan militer,” kata diplomat veteran Amerika Serikat, Bill Richardson.
”Saya berharap ia menyadari bahwa persekutuannya dengan iblis telah menjadi bumerang baginya dan sekarang dia akan mengambil posisi yang benar atas nama demokrasi dan menjadi pembela HAM yang sejati,” ujar Bill. ”Namun, jika dia tidak bertindak, saya pikir NLD perlu mencari pemimpin baru.”
Suu Kyi, anak dari pahlawan kemerdekaan dan bapak bangsa Myanmar, menghabiskan hampir 15 tahun dalam tahanan rumah sebelum dibebaskan tahun 2010. Selama ditahan, diplomat asing, pembela HAM, dan penerima hadiah Nobel ”berarak” menuju vila tepi danaunya menuntut junta militer membebaskan perempuan elegan yang dikenal sebagai ”The Lady” yang kerap memakai bunga di rambutnya.
Sikap kerasnya terhadap junta militer menjadikan Suu Kyi sebagai simbol perlawanan damai terhadap penindas dan mengantarkannya meraih Hadiah Nobel Perdamaian.
Akan tetapi, sejak dibebaskan dan kembali ke politik, Suu Kyi mendapat kritik keras atas pertaruhan yang ia buat. Dia dicap telah menaruh hormat kepada militer dan mengabaikan kekerasan militer terhadap Muslim Rohingya pada 2017. Operasi militer itu disebut AS dan negara lain sebagai genosida, yang disangkal militer Myanmar.
Bantahan Suu Kyi atas tuduhan bahwa personel militer membunuh warga sipil Rohingya, membakar rumahnya, dan memerkosa perempuan Rohingya di Pengadilan Internasional di Den Haag, Belanda, lebih dari setahun lalu dipandang oleh sesama penerima Nobel Perdamaian, Jody Williams, sebagai pengkhianatan.
Di sana pula Suu Kyi menghadapi dilema besar jika dia tidak membelanya. Setelah menyelamatkan wajah militer di pengadilan internasional, kini kepemimpinannya dilucuti militer.
”Di luar retorika selama kampanye pemilunya, apa yang sebenarnya ia yakini. Apa arti demokrasi baginya?” Tanya Jody yang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian atas usahanya melarang ranjau darat.
Suu Kyi menyebut kritik itu tidak adil dan berkukuh bahwa ia tidak pernah menganggap dirinya sebagai ikon HAM. Ikon itu disematkan kepadanya. Bagi Suu Kyi, ia selalu seorang politisi.
Masih populer di negerinya, Suu Kyi kini sudah kehilangan pendukungnya di luar negeri. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah ia siap memimpin Myanmar mengarungi krisis terbarunya dan bagaimana ia akan melakukan itu.
Sejauh ini, ia telah menyerukan pembangkangan sipil untuk melawan kudet Militer. Namun, tidak jelas bagaimana warga Myanmar akan bereaksi dan jalanan di Yangon tetap sepi.
Pada tahun 1988 dan 2007, warga turun ke jalan untuk memprotes kediktatoran penguasa. Sekarang, tidak jelas juga apakah para jenderal akan membiarkan Suu Kyi berkuasa kembali.
”Pada titik ini masa depannya sangat kecil dan lagi pula saya rasa itulah yang diinginkan militer,” kata Larry Jagan, analis independen.
”Mereka tidak memercayainya. Mereka tidak menyukainya, dan mereka tidak mau menjadikannya bagian dari masa depan negara.”
Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa dengan popularitasnya di dalam negeri itu, berarti transisi demokrasi harus berjalan bersamanya.
”Suu Kyi akan berumur 76 atau 77 tahun ketika pemilu berikutnya digelar. Ia akan semakin lemah, tetapi tetap jadi nomor satu sepanjang ia masih hidup,” ujar Robert Taylor, cendekiawan terkemuka yang pakar dalam sejarah politik Myanmar. ”Militer akan memberinya kesempatan jika ia meraih suara mayoritas, tetapi mereka berharap tidak. (AP)