Min Aung Hlaing, Jenderal Pemberangus Tunas Demokrasi di Myanmar
Min Aung Hlaing dituding memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi. Proses demokratisasi yang berlanjut di Myanmar bisa membuat ia diadili dan kehilangan kekayaan.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Transisi demokrasi Myanmar yang dimulai pada 2011 resmi berakhir pada Senin (1/2/2021) dini hari. Militer menangkapi para pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), termasuk presiden dan sejumlah politisi lain, lalu menetapkan keadaan darurat sampai 2022. Militer Myanmar mengulangi yang mereka lakukan pada 1990.
Selepas penetapan keadaan darurat pada Senin siang, militer menunjuk Wakil Presiden Myanmar Letnan Jenderal (Purn) Myint Swe sebagai pelaksana tugas presiden. Tidak lama setelah ditunjuk, ia menyerahkan seluruh kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Min Aung Hlaing. Panglima angkatan bersenjata Myanmar, Tatmadaw, itu mendapat kekuasaan dari Myint Swe sesuai dengan konstitusi 2008.
Dalam konstitusi susunan Tatmadaw itu, presiden dapat menyerahkan kekuasaan pada militer jika negara dalam keadaan darurat. Konstitusi itu disahkan 18 tahun selepas militer menolak mengakui kemenangan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi dalam pemilu 1990. Dari 492 kursi parlemen yang diperebutkan di pemilu 1990, sebanyak 392 kursi dimenangi NLD.
Pada pemilu 8 November 2020, NLD memenangi 396 dari 498 kursi parlemen. Sementara Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan (USDP) hanya mendapat 33 kursi. Padahal, partai yang disokong militer itu butuh sekurangnya 167 kursi untuk bisa mengukuhkan kekuasaan militer melalui parlemen.
Konstitusi 2008 juga menjamin Tatmadaw mendapat alokasi 25 persen kursi parlemen tanpa harus ikut pemilu, mirip cara pembentukan Fraksi ABRI di DPR/MPR Indonesia pada masa Orde Baru. Apabila USDP mendapat 167 kursi dan Tatmadaw sudah mengamankan 166 alias 25 persen kursi pemilu 2020, militer menduduki total 333 dari 664 kursi parlemen Myanmar. Hasil pemilu tidak sesuai harapan dan Tatmadaw pun menolak hasil pemilu 2020.
Pengajar di University of New South Wales, Melissa Crouch, menyebut bahwa hasil pemilu 2020 menjegal ambisi Hlaing untuk terus berkuasa. Pada Juli 2021, Hlaing harus pensiun dari militer. Jika tidak punya jabatan sipil, ia akan kehilangan kekuasaannya.
Sejak beberapa tahun lalu, Hlaing sudah menunjukkan keinginan untuk menjadi presiden. Sejak lama pula ia dan Tatmadaw melihat, konstitusi sekarang tidak memberinya peluang mendapat kekuasaan melalui proses demokrasi. ”Dia menimbang kini, tidak ada cara bisa berkuasa melalui pemilu,” kata Herve Lemahieu, pengamat Myanmar di Lowy Institute.
Perjalanan karier
Sejumlah diplomat di Yangon menyebut, kudeta 1 Februari 2021 sepenuhnya soal Hlaing. ”Ini kudeta Min Aung Hlaing, bukan kudeta militer. Ini tentang posisi dan kekuasaannya,” kata Mark Farmaner yang memimpin lembaga Burma Campaign.
Pernyataan senada disampaikan Justice for Myanmar. Kelompok itu menuding Hlaing memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi. Sebagai Panglima Tatmadaw, Hlaing berkuasa atas Myanmar Economic Corporation (MEC) dan Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL). Badan usaha milik Tatmadaw itu menjadi aktor utama perekonomian Myanmar.
”Jika proses demokrasi berlanjut dan ada penyelidikan atas kejahatannya, dia dan keluarganya akan kehilangan sumber kekayaan,” demikian pernyataan Justice for Myanmar.
Hlaing dimasukkan dalam daftar penerima sanksi Amerika Serikat sejak Desember 2019. Hukuman itu buah dari perintahnya dalam operasi militer terhadap orang Rohingya pada 2017.
Bukan sekali itu saja, Hlaing juga bertanggung jawab pada operasi militer yang menyebabkan ratusan ribu warga Rohingya mengungsi. Sebagai Komandan Tatmadaw di Negara Bagian Shan, ia ikut mendukung pemberangusan Revolusi Saffron pada 2007. Revolusi itu sebutan atas unjuk rasa besar-besaran untuk memprotes kenaikan aneka harga selepas subsidi minyak dan gas dicabut junta.
Selanjutnya pada 2009, ia memimpin operasi menghadapi Tentara Aliansi Demokrasi Nasional (NDAA). Kesuksesan pada operasi itu dinilai menjadi salah satu alasan Hlaing ditunjuk menjadi Kepala Staf Gabungan Tatmadaw pada Juni 2010. Pejabat sebelumnya, Shwe Mann, pensiun dan menjadi politisi sipil.
Jabatan itu menjadi batu loncakan Hlaing untuk posisi lebih tinggi, Panglima Tatmadaw. Sejak Maret 2011, ia menduduki jabatan itu sebagai pengganti Than Shwe. Sejak 1992, Shwe menjadi orang paling berkuasa di Myanmar dengan menduduki jabatan sebagai Panglima Tatmadaw, kepala negara, sekaligus perdana menteri. Kala mundur pada 2011, jabatan Shwe dibagi kepada Jenderal (Purn) Thein Sein sebagai Presiden Myanmar dan Hlaing sebagai Panglima Tatmadaw.
Sein segera menjanjikan transisi demokrasi di negara yang dikuasai junta militer sejak 1962. Sebaliknya, Hlaing berulang kali menekankan pentingnya keterlibatan militer dalam politik. Hlaing menjadi bagian dari tentara yang menikmati hak istimewa militer di Myanmar.
Tanpa prestasi menonjol
Tidak mudah bagi Hlaing untuk bergabung dengan Tatmadaw. Setelah tiga kali mencoba, Hlaing akhirnya diterima di sekolah calon perwira pada 1974. Selama pendidikan calon perwira, ia dikenal pendiam dan cenderung tidak mudah bergaul. Ia pun termasuk taruna biasa tanpa prestasi menonjol.
Pada 1977, ia lulus dan menjadi letnan dua. Teman-teman sekelasnya mengingat karier Hlaing relatif lambat. Karena itu, mereka terkejut kala Hlaing ditunjuk menjadi komandan Tatmadaw di Shan pada 2002. Mereka lebih terkejut lagi pada penunjukan Hlaing di 2010 dan 2011. Kini, teman-teman sekelasnya menantikan manuver lanjutan dari mantan mahasiswa hukum di Rangoon Arts and Science University itu. (AP/AFP/REUTERS)