AS Ancam Jatuhkan Sanksi Lagi pada Myanmar, DK PBB Gelar Sidang Darurat
Presiden Joe Biden menyeru masyarakat internasional bersatu dalam satu suara untuk menekan militer Myanmar. Ia juga melontarkan ancaman untuk kembali menjatuhkan sanksi pada Myanmar.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Amerika Serikat menggalang kecaman dan tekanan dunia pada militer Myanmar untuk memulihkan kembali demokrasi di negara itu. Presiden AS Joe Biden mengeluarkan ancaman untuk kembali menjatuhkan sanksi pada Myanmar. Terkait situasi di Myanmar, Dewan Keamanan PBB pada Selasa (2/2/2021) dijadwalkan menggelar sidang darurat membahas isu Myanmar.
Desakan agar ada pemulihan demokrasi Myanmar disampaikan Washington setelah militer Myanmar, Senin (1/2/2021), melancarkan kudeta serta menangkap dan menahan pemimpin de facto pemerintahan sipil, Aung San Suu Kyi, dan sejumlah politisi Myanmar lainnya. Biden menyeru masyarakat internasional untuk bersatu dalam satu suara guna menekan militer Myanmar agar segera melepaskan kekuasaan yang telah mereka rebut.
”AS mencabut sanksi terhadap Burma selama dekade terakhir berdasarkan kemajuan menuju demokrasi,” kata Biden dalam sebuah pernyataan di Washington. Burma adalah nama lama Myanmar.
”Pembalikan kemajuan itu patut ditinjau kembali merujuk pada hukum dan otoritas sanksi kami, diikuti dengan tindakan yang sesuai,” lanjut Biden.
Sebelum kudeta, Washington bersama beberapa negara Barat lainnya telah mendesak militer Myanmar untuk ”mematuhi norma-norma demokrasi”. Desakan itu disampaikan AS dan sejumlah negara lewat pernyataan pada tanggal 29 Januari 2021. Desakan itu disampaikan setelah panglima tertinggi militer Myanmar mengancam akan mencabut konstitusi negara itu.
Gerakan di media sosial
Dari Myanmar dilaporkan, banyak warga di negara itu menyuarakan kemarahan mereka di media sosial sepanjang awal pekan ini. Data di Facebook menunjukkan, lebih dari 334.000 orang telah menggunakan tagar #SaveMyanmar untuk menyuarakan penentangan mereka terhadap kudeta. Sebagian warga mengubah foto profil menjadi hitam untuk menunjukkan kesedihan mereka atas kondisi terbaru di negeri itu.
Para pendukung demokrasi memasang foto Suu Kyi sebagai foto profil medsos mereka. ”Kami sebagai warga negara Myanmar tidak setuju dengan langkah saat ini dan ingin meminta perhatian para pemimpin dunia. PBB dan media dunia, bantulah negara kami, para pemimpin kami, rakyat kami, dari tindakan menyakitkan ini,” kata salah satu pesan yang unggahannya tersebar secara luas.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengecam keras kudeta dan penahanan Suu Kyi. Ia melalui akun media sosial Twitter berseru, ”Suara rakyat harus dihormati dan para pemimpin sipil harus dibebaskan.” Inggris kemudian memanggil Duta Besar Myanmar di London Kyaw Zwar Minn ke Departemen Luar Negeri Inggris. Dalam pertemuan itu, London mengajukan protes resminya melalui Dubes Kyaw Zwar Minn mengenai situasi di Myanmar.
Seruan keprihatinan juga disampaikan Pemerintah India, China, dan Rusia secara terpisah. ”Kami mencatat perkembangan di Myanmar dengan keprihatinan yang mendalam. India selalu teguh dalam mendukung proses transisi demokrasi di Myanmar. Kami percaya bahwa supremasi hukum dan proses demokrasi harus ditegakkan,” kata Kementerian Luar Negeri India dalam sebuah pernyataan.
Seruan mitra dekat
Adapun China, yang dekat dengan Myanmar dan beberapa kali menentang upaya intervensi pihak luar di Myanmar, menyerukan semua pihak untuk mengurai dan menyelesaikan perbedaan. ”China adalah tetangga yang bersahabat bagi Myanmar dan berharap berbagai pihak di Myanmar akan menyelesaikan perbedaan mereka dengan tepat di bawah kerangka konstitusional dan hukum untuk melindungi stabilitas politik dan sosial,” kata juru bicara Kemlu China, Wang Wenbin, dalam konferensi pers.
Kemlu Rusia dalam sebuah pernyataan menyerukan penyelesaian situasi secara damai di Myanmar sesuai dengan hukum yang berlaku. Semua pihak di Myanmar, demikian pernyataan Kremlin, didorong segera menggelar kembali dialog politik.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres ”dengan keras” mengecam penahanan militer terhadap Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan para tokoh sipil lainnya di Myanmar. ”Perkembangan ini merupakan pukulan serius bagi reformasi demokrasi di Myanmar,” kata juru bicara PBB, Stephane Dujarric, dalam sebuah pernyataan.
Dewan Keamanan PBB dijadwalkan akan menggelar sidang darurat, Selasa (2/2/2021), untuk membahas situasi di Myanmar.
Presiden Dewan Eropa Charles Michel juga mengecam keras kudeta di Myanmar. Ia mengatakan, hasil pemilu Myanmar pada November tahun lalu yang dimenangi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi harus dihormati.
Seruan serupa disampaikan Pemerintah Australia. ”Kami menyerukan kepada militer untuk menghormati supremasi hukum, untuk menyelesaikan sengketa melalui mekanisme yang sah, dan untuk segera membebaskan semua pemimpin sipil dan lainnya yang telah ditahan secara tidak sah,” kata Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne.
Seruan juga disampaikan Pemerintah Bangladesh, tetangga dekat Myanmar yang menampung ribuan pengungsi etnis Rohingya dari Myanmar. ”Kami berharap proses demokrasi dan pengaturan konstitusional akan ditegakkan di Myanmar. Sebagai tetangga dekat dan ramah, kami ingin melihat perdamaian dan stabilitas di Myanmar,” kata Kemlu Bangladesh dalam sebuah pernyataan.
Sementara Jepang mendesak militer Myanmar untuk membebaskan Suu Kyi dan memulihkan demokrasi. ”Kami meminta pembebasan para pemangku kepentingan termasuk penasihat negara Aung San Suu Kyi,” kata Kemlu Jepang dalam sebuah pernyataan. Tokyo mendesak pemulihan sistem politik demokrasi di Myanmar.
Seruan serupa dilontarkan Pemerintah Turki, yang pernah mengalami upaya kudeta militer pada 2016. Ankara mengecam keras pengambilalihan kekuasan di Myanmar dan menyerukan pembebasan para politisi. ”Turki menentang semua jenis kudeta dan kami mengharapkan pembebasan segera para pemimpin terpilih, tokoh politik, dan warga sipil yang telah ditahan,” kata Kemlu Turki. (AP/AFP/REUTERS)