Kudeta Bangkitkan Protes Terbuka Sejumlah Komponen Masyarakat Myanmar
Kemarahan dan kebencian publik terhadap militer Myamar melonjak di media sosial. Sebagian besar pengguna mengubah foto profil akun mereka dengan foto pemimpil sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
YANGON, SELASA — Kudeta militer di Myanmar membangkitkan aksi pembangkangan sipil hingga protes terbuka dari berbagai lapisan masyarakat negara itu. Ada yang membuat kebisingan dengan membunyikan klakson kendaraan dan membunyikan kaleng serta alat dapur, Selasa (2/1/2021) malam.
Petugas medis di sedikitnya 20 rumah sakit melakukan kampanye pembangkangan sipil. Bagi mereka, kudeta adalah ancaman bagi demokrasi yang sedang tumbuh di Myanmar. Kelompok-kelompok milisi berbasis kesukuan di Myanmar juga mengeluarkan kecaman mereka terhadap aksi kudeta itu.
”Kediktatoran harus digagalkan,” kata seorang dokter Myanmar dalam sebuah pernyataan menentang kudeta militer.
Seruan dokter tersebut adalah bagian dari aksi pembangkangan sipil yang dilakukan para petugas medis di sedikitnya 20 rumah sakit pemerintah.
Para dokter dan petugas medis lainnya mengancam akan berhenti bekerja di tengah pandemi Covid-19 jika militer tidak mengembalikan kekuasaan kepada pemerintahan sipil yang telah terpilih secara demokratis melalui pemilu.
Kami tidak dapat menerima diktator dan pemerintah yang tidak dipilih rakyat.
”Kami tidak dapat menerima diktator dan pemerintah yang tidak dipilih rakyat,” kata seorang dokter yang berpartisipasi dalam kampanye tersebut.
”Mereka (militer) dapat menangkap kami kapan saja. Kami telah memutuskan untuk menghadapinya. Kami semua telah memutuskan untuk tidak pergi ke rumah sakit,” katanya.
Sejauh ini tidak diperoleh konfirmasi dari militer Myanmar atas boikot para dokter itu dan tanda-tanda meluasnya penentangan atas langkah militer.
Salah satu kelompok pemuda terbesar Myanmar dan federasi serikat mahasiswanya juga menyerukan kampanye pembangkangan sipil itu. Mereka bergabung dengan para dokter dari seluruh negeri, termasuk sebuah rumah sakit terbesar di Myanmar yang berada di Naypyidaw dengan 1.000 tempat tidur.
Di kota Yangon, warga memukul-mukul panci dan membunyikan klakson mobil setelah gelap sebagai protes mereka.
Kemarahan terhadap militer terpantau melonjak di media sosial. Sebagian besar pengguna Facebook, misalnya, mengubah foto profil akun mereka dengan foto penasihat negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, atau warna merah khas Partai Liga Nasional untuk Demokrasi.
”Itu menginspirasi,” kata aktivis Thinzar Shunlei Yi tentang kampanye pembangkangan sipil. Laman Facebook barunya telah disukai lebih dari 112.000 orang.
Kelompok etnis bersenjata Myanmar juga mengecam keras aksi militer. Kelompok itu juga mengisyaratkan penghentian proses perdamaian yang sudah berjalan lama di negara itu, dengan alasan kurangnya kepercayaan kepada tentara.
Sejumlah kelompok pemberontak bersenjata menguasai sekitar sepertiga wilayah Myanmar. Beberapa dari mereka berjuang selama beberapa dekade melawan negara untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar.
Ketika militer merebut kekuasaan pada awal pekan ini setelah kudeta, tentara mengumumkan gencatan senjata dengan kelompok-kelompok etnis bersenjata yang diperpanjang hingga akhir Februari.
Militer menyatakan akan terus membahas proses perdamaian dengan beberapa kelompok pemberontak di daerah perbatasan. Hal itu telah bertahun-tahun dinegosiasikan oleh pemerintah Suu Kyi. Namun, tawaran militer untuk melakukan pembicaraan ditanggapi dengan skeptis oleh beberapa kelompok pemberontak.
”Bagaimana kita bisa berdiskusi dengan mereka ketika mereka melancarkan kudeta? Ini bukan norma demokrasi,” kata Mayor Kharm Sarm, juru bicara Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan (RCSS), di Myanmar utara.
Dia mengatakan tidak mungkin mengadakan dialog politik tanpa pemerintahan yang dipilih secara demokratis. ”Di antara partai politik dan kelompok etnis bersenjata, kami telah kehilangan kepercayaan kepada mereka.”
Serikat Nasional Karen (KNU), sebuah organisasi etnis bersenjata di Negara Bagian Karen barat daya, mengatakan bahwa mereka ”khawatir dan prihatin terhadap masa depan Myanmar”. Tindakan militer dinilai tidak menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan krisis politik di negara itu.
Tidak terelakkan
Panglima Tertinggi Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan, penggulingan pemerintah Suu Kyi tak terelakkan. Pernyataan itu dikeluarkan tepat setelah Pemerintah Amerika Serikat secara resmi menetapkan pengambilalihan itu sebagai kudeta.
Jenderal Hlaing diberi ”kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif”, yang secara efektif mengembalikan Myanmar ke pemerintahan militer setelah 10 tahun.
Dalam komentar publik pertamanya sejak kudeta, Hlaing mengatakan, pengambilalihan militer itu ”sejalan dengan hukum” setelah pemerintah gagal menanggapi keluhannya atas dugaan kecurangan pemilu.
”Setelah banyak permintaan, cara ini tak terhindarkan bagi negara dan itulah mengapa kami harus memilihnya,” katanya dalam rapat kabinet pertama. Pidato itu diunggah di laman resmi akun Facebook militer.
Dukungan dari publik terhadap militer bukan berarti tidak ada. Dukungan itu termasuk datang dari Asosiasi Pemuda Buddha di Myanmar. Ratusan orang dilaporkan menggelar unjuk rasa di pusat kota Yangon pada Selasa (3/2/2021) untuk mendukung militer. (AFP/REUTERS/BEN)