MK sebagai cabang kekuasaan peradilan yang dipisahkan dari Mahkamah Agung di banyak negara demokrasi baru, termasuk Indonesia sesuai dengan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, adalah dalam rangka kepentingan ”juristocracy”.
Oleh
AGUS RIEWANTO
·3 menit baca
Respons negatif masyarakat dalam berbagai ekspresi terhadap RUU Cipta Kerja yang disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang oleh DPR direspons oleh Presiden Joko Widodo. Presiden mempersilakan masyarakat yang keberatan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
Sikap serupa disampaikan Presiden saat UU KPK ditolak publik. Fenomena ini dapat disebut juristocracy, seperti dinyatakan oleh Ran Hirschl (2004) dalam Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of New Constitutionalism, yakni semacam transformasi tanggung jawab penyelesaian masalah kontroversial dari lembaga politik ke lembaga peradilan.
Tampaknya, juristocracy ini merupakan tren baru dalam politik kebijakan legislasi di Indonesia, di mana seharusnya terhadap produk legislasi yang menuai resistensi publik bisa diselesaikan melalui instrumen kekuasaan politik Presiden untuk menarik kembali RUU yang diajukan ke DPR saat pembahasan karena mendapat respons negatif publik. Namun, Presiden memilih melakukan ”manuver” dengan memanfaatkan instrumen demokrasi, yakni MK, untuk menguji pertentangan UU dengan konstitusi.
Namun, Presiden memilih melakukan ”manuver” dengan memanfaatkan instrumen demokrasi, yakni MK, untuk menguji pertentangan UU dengan konstitusi.
Pilihan Presiden mengalihkan masalah kontroversial pada pengadilan tampaknya bukan kebetulan, melainkan sebuah kesengajaan untuk meminimalkan risiko penolakan terhadap kebijakan legislasi oleh masyarakat yang dapat memengaruhi penilaian buruk terhadap kinerja Presiden dan kelak akan dapat menjaga posisi aman dalam menjalankan pemerintahan. Dengan demikian, sebenarnya MK tengah memainkan posisi sebagai tameng mengamankan kekuasaan Presiden.
Untuk kepentingan ini, jauh sebelumnya Presiden telah memberikan hadiah berupa revisi UU MK yang substansinya menguntungkan MK.
”Judicialization of politics”
Sesungguhnya juristocracy ini sebangun dengan gagasan C Neil Tate (1995) yang mengenalkan kajian tentang judicialization of politics, yakni ekspansi lembaga kekuasaan kehakiman untuk mengadili perkara mengenai kebijakan publik yang memiliki unsur politis. Ekspansi ini sebuah konsekuensi logis akibat dianutnya paham supremasi konstitusi dan diinkorporasikannya HAM dalam konstitusi.
Maka, lahirnya MK sebagai cabang kekuasaan peradilan baru yang dipisahkan dari Mahkamah Agung di banyak negara demokrasi baru, termasuk Indonesia sesuai dengan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, adalah dalam rangka kepentingan juristocracy ini.
Pilihan Presiden terhadap juristocracy ini dimulai dari premis mayor bahwa MK adalah lembaga independen, maka masyarakat akan dapat lebih mudah menerima putusan pengadilan ketika Presiden kesulitan memberikan penjelasan kepada publik mengenai materi urgensi RUU Cipta Kerja yang dibuat secara formil melalui teknik omnibus law, yakni penggabungan dan penyederhanaan 76 UU sektoral menjadi hanya satu UU.
Teknik omnibus law ini sebenarnya belum dikenal dalam UU No 12/2011 jo UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Maka, besar harapan Presiden Jokowi kepada MK berperan sebagai juristocracy, mewakili Presiden menjelaskan kebijakan legislasi yang kontroversial ini melalui putusannya. Sebab, putusan MK bersifat erga omnes atau berlaku untuk semua sejak putusan dibacakan oleh hakim MK.
Agus Riewanto
Pengajar Hukum Tata Negara serta Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum FH Universitas Sebelas Maret, Surakarta