Kalau Anda membaca judul di atas, apakah dalam pemikiran Anda, Anda berniat menguliahi saya untuk tidak boleh berkata begitu? Apakah judul di atas haram disampaikan oleh mulut manusia karena seperti orang tidak bersyukur?
Mending muna (munafik) atau mending tidak bersyukur? Apakah bersyukur itu harus tetap dilakukan meski jauh di dalam hati, kita memiliki penyesalan yang sangat atas apa yang telah kita lakukan, atau keadaan yang terjadi yang bukan kesalahan kita?
Apakah judul di atas membuat Anda mengambil kesimpulan bahwa menyesal atau penyesalan itu adalah salah seseorang? Mengapa mereka tidak berhati-hati dari sejak awal sehingga sekarang mereka menyesal?
Baca juga: PARODI Reuni
Akan tetapi, sejujurnya, kalau saya boleh mengajukan pertanyaan kepada Anda, pernahkan Anda menyesal meski di depan orang lain Anda enggan atau malah berusaha untuk tidak menunjukkan hal itu, sehingga Anda tetap akan dikenal sebagai manusia yang selalu bersyukur di segala keadaan?
Apakah menurut Anda lebih baik terlihat munafik daripada terlihat tidak bersyukur? Apakah judul di atas akan membuat otak Anda bereaksi kemudian meneruskan reaksi itu ke mulut Anda dan mengeluarkan kalimat super cliché seperti ini.
”Semua peristiwa buruk atau baik pasti ada tujuannya, yaitu membuat kita menjadi manusia yang lebih baik di kemudian hari. Sehingga menyesal itu sebuah perilaku manusia yang tidak dewasa sama sekali.”
Tentu seperti biasa, saya tak menyuruh Anda untuk menuliskan jawaban atas pertanyaan itu dan mengirimkannya ke meja redaksi. Tidak sama sekali. Anda coba jawab saja sambil leyeh-leyeh atau sambil webinar di hari Minggu ini.
Baca juga: PARODI Penemuan Diri
Saya menulis dengan judul itu karena beberapa minggu lalu waktu saya melakukan bincang-bincang di Instagram Live saya dan saya mengatakan saya menyesal, ”sejuta umat” yang hadir pada malam itu membombardir saya dengan komentar bahwa saya ini harusnya bersyukur.
Bahwa saya ini tak boleh menyesal. Bahwa saya ini harus gini dan harus gitu. Merasa dibombardir dan dipojokkan pada malam itu, telah membuat saya terinspirasi menulis mengenai penyesalan. Malam itu saya sampai geleng kepala, betapa hebatnya mereka bisa menguliahi saya dan tampak seperti mereka adalah segelintir manusia yang diciptakan Tuhan dengan tak pernah mengalami penyesalan dalam hidupnya.
Nasihat atau menghakimi?
Saya geleng kepala, membayangkan Tuhan menciptakan manusia yang senantiasa dapat bersyukur dalam segala keadaan sehingga mereka bisa menghakimi saya. Eh… salah, menasihati saya untuk tak boleh menyesal. Bahkan ada satu orang yang mengatakan begini. ”Kak Sam, jangan sampai meninggalkan Tuhan, ya.”
Baca juga: PARODI Hidup Baru
Malam itu saya berkata dalam hati apakah benar mereka itu selalu menerima dengan apa yang terjadi dalam hidup mereka sehingga mereka dapat mengkhotbahi saya seperti itu? Saya sungguh tersinggung dibuatnya, bahwa ada yang berpikir penyesalan saya akan melahirkan keputusan bahwa saya akan meninggalkan Tuhan.
Sampai malam itu, selesai acara bincang-bincang itu, saya berdialog dengan Tuhan, menanyakan apakah kalau saya menyesal itu Tuhan merasa sakit hati atau manusia yang sakit hati? Apakah menurut Tuhan menyesal itu sama dengan tak tahu diri seperti yang dituduhkan manusia kepada saya? Apakah nilai-nilai yang ditafsirkan manusia itu sama dengan apa yang dimaksud dengan Tuhan.
Apakah ketika mereka menasihati saya itu sejujurnya itu benar nasihat atau penghinaan? Kalau saya menyesal telah tidak berhati-hati, tidak memikirkan masak-masak apa yang telah saya lakukan, kemudian saya memutuskan tidak akan melakukan kesalahan itu lagi, bukankah menyesal menjadi sebuah tindakan yang mulia?
Baca juga: PARODI ”Webinar”
Saya dapat berpikir untuk tidak melakukan kesalahan atau kebodohan seperti yang sudah lalu, semua itu karena ada rasa menyesal yang lahir dalam diri saya terlebih dahulu? Karena kalau saya tak pernah merasakan penyesalan, saya tak tahu dari titik mana saya harus memperbaiki diri. Bukankah begitu?
Dari penyesalan itu saya menjadi manusia yang, paling tidak, menjadi sedikit lebih baik dan lebih berhati-hati. Mengapa kemudian saya dianggap tak bersyukur? Saya bersyukur karena saya menyesal, kemudian mata saya melek, dan melihat betapa hancurnya hidup saya dan tak lagi berkeinginan mengalami kehancuran itu.
Mengapa mereka, yang menasihati atau menghakimi saya dalam waktu bersamaan, tak bisa melihat bahwa penyesalan telah memberikan hal yang positif buat saya? Apakah mereka tak pernah menyesal bahwa mereka ”buta”?