Di dalam taksi saya tak bisa membayangkan tangan siapa yang saya genggam saat ajal mengetuk di pintu hidup saya.
Oleh
SAMUEL MULIA
·4 menit baca
Belum lama, kira-kira satu minggu yang lalu saya berkumpul dengan tiga teman saya yang sudah lama sekali tak bertemu. Tiga teman yang saya kenal puluhan tahun yang lalu di saat usia kami masih muda dan sampai sekarang saat kaki kami satu sudah seperti masuk kuburan.
Kematian
Dengan bekerja di rumah selama pandemi ini, saya dapat memiliki banyak waktu untuk melihat kembali pada daftar nama-nama teman lama yang sudah lama tak kedengaran beritanya. Maka pada suatu Minggu sore kami bertemu di rumah salah satu teman kami yang sekarang juga menjabat sebagai bendahara RT di daerah tinggalnya.
Satu teman kami menjadi Ibu RT di daerah yang sama. Saya tertawa mendengar kegiatannya itu. Tertawa karena itu tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dapat dibayangkan kerinduan yang sudah lama itu terobati dengan cerita ke sana dan ke mari. Namun mungkin, karena usia kami sudah tua, maka pembicaraan penuh gelak tawa itu juga dibarengi dengan cerita sesuatu yang serius. Kematian.
Usia kami yang 50 tahun lebih sekian tahun itu tentu masih terbilang muda kalau dibandingkan mereka yang dapat bertahan hidup sampai usia 80 tahun. Saya tak tahu mengapa topik kematian bisa mampir dalam pembicaraan kami. Mungkin karena salah satu dari kami, tahun lalu kehilangan ibunya.
Dan mungkin juga berita soal pandemi yang memakan banyak korban juga memengaruhi perasaan kami. Untuk saya sendiri, sebelum datang ke pertemuan itu telah menerima kabar berpulangnya beberapa teman. Bahkan beberapa hari setelah pertemuan itu, saya menerima lagi dua berita kematian.
Sore itu pemilik rumah menceritakan bagaimana saat ibunya sakit sampai meninggal dunia menjelang tengah malam. Mendengar ceritanya, ruang tamu itu menjadi hening. Mungkin setiap orang yang hadir di ruang itu juga bergumul dan membayangkan bagaimana hidup akan berakhir. Apalagi kami berempat sampai di usia yang setengah abad lebih itu tak memiliki pasangan. Mungkin kami jadi keder karenanya.
Karena cerita itu, kami jadi bercerita tentang bagaimana kami hendak dikubur setelah kami meninggal. Teman saya bercerita kalau ia telah membeli kavling untuk dirinya dan saudara kandungnya. Sementara untuk saya, saya telah memutuskan mengikuti tradisi ayah saya yang memaksa untuk dikremasi saja. Saya bahkan berkeinginan kalau bisa meninggal di dalam pesawat yang jatuh hancur berkeping sehingga saya tak perlu merepotkan semua orang.
Memilih
Merepotkan pada saat saya meninggal, dan setelah saya dikuburkan alias mengurus kuburannya. Itu lah mengapa ayah saya memutuskan untuk melakukan kremasi untuk jenazah keluarganya agar tak membebani yang masih hidup.
Mengobrol dengan teman lama meski sudah 5 jam juga terasa cepat sekali. Setelah menyantap makan malam berupa ayam bakar dengan sambalnya yang membuat lidah terbakar, kami pulang ke rumah masing-masing.
Malam semakin larut, taksi yang saya tumpangi bersama salah satu teman yang kebetulan tinggal satu arah dengan tempat tinggal saya, menembus malam dalam kecepatan yang sedang. Di luar tentu jalan sudah sepi dan kebetulan habis hujan. Kemudian saya membayangkan hari kematian saya. Ketika saya tidur di ranjang kematian itu.
Pertanyaaan begitu banyaknya. Penyakit apa yang akan merengut nyawa saya? Apakah saya mati karena kecelakaan? Bagaimana rasanya ketika nyawa melayang dari tubuh. Saya ingat akan cerita teman saya itu, sekian menit sebelum meninggal, ibunya memanggil anaknya dan meminta anaknya untuk mengenggam tangannya. Tak lama setelah genggaman itu, ibunya lalu meninggal.
Di dalam taksi saya tak bisa membayangkan tangan siapa yang saya genggam saat ajal mengetuk di pintu hidup saya, secara saya ini hidup sendiri di apartemen yang mirip kandang burung ukurannya. Bagaimana kalau saya kena serangan jantung, bagaimana kalau saya ini, bagaimana kalau saya itu.
Saya harus akui, malam dalam perjalanan pulang itu, saya merasa kehilangan akan masa muda saya. Saya merindukan semangat dan kekuatan yang dahulu pernah saya miliki. Kulit yang kencang dan sekarang keriput. Semangat untuk selalu maju dan berlari. Sekarang ini naik tangga saja sudah terengah-engah dibuatnya. Dalam hati saya bersuara lirih. “Kenapa sih harus tua dan mati?”
Dalam hati saya bersuara lirih. “Kenapa sih harus tua dan mati?”
Namun saya tak kuasa menjawab pertanyaan itu. Sebab sejatinya pertanyaan itu tak perlu dijawab bahkan tak perlu ditanyakan, karena tua dan mati itu pasti. Mungkin seperti iklan rokok yang dulu pernah saya baca, tua itu pasti, dewasa itu pilihan. Jadi saya harus menghadapi yang pasti-pasti itu dengan kedewasaan.