Jika Anda sekarang berniat membeli sepeda, apakah itu karena semua orang melakukan hal sama? Apakah Anda tahu benar siapa Anda yang sesungguhnya? Maksud saya, saat Anda membeli sepeda itu, Anda menemukan kemampuan bersepeda yang tak pernah Anda sadari sebelumnya.
Sudah lama saya menanyakan kepada teman-teman dekat saya mengapa mereka tidak membuat Instagram Live agar dapat membagikan pengetahuan mereka kepada banyak orang dengan hanya duduk di rumah. Bukankah pada akhirnya pengetahuan yang kita dapati sejatinya untuk dibagikan dan siapa tahu ada yang kemudian naik kelas karenanya.
”Settle for less”
Menurut Anda, apa yang saya terima sebagai jawaban atas pertanyaan itu? Nyaris semua teman-teman itu menjawab, siapalah aku ini? Siapa coba yang mau hadir dan mendengar apa yang saya bagikan? Saya, kan, bukan orang terkenal, saya hanya orang biasa. Dan semua jawaban yang mengarah kepada settle for less, yakni begitu saja menerima sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan karena merasa atau meyakini dirinya tak mampu mendapatkannya.
Beberapa waktu lalu saya membuat seminar secara online mengenai settle for less ini. Sebelum saya memulai cerita saya, saya menanyakan kepada peserta yang hadir mengapa Anda melakukan tindakan settle for less itu? Tak ada satu pun yang berkeinginan menjawab pertanyaan saya itu.
Lantas saya bercerita mengapa saya juga merendahkan diri saya sendiri bertahun lamanya. Saya telah bercerita berulang kali kalau saya ini mendapat perlakuan dari kepala sekolah saya kalau saya ini bodoh seperti ayam tak punya otak. Dari saat itulah saya merasa tak perlu punya cita-cita lha wong saya ini sudah dicap bodoh oleh orang yang waktu itu merasa kompeten menilai hanya karena saya tak bisa matematika.
Baca juga : PARODI Hidup Baru
Sejak itu saya merasa harus menerima apa yang ada di depan mata saya tanpa pernah memiliki keberanian atau kemampuan menggali lebih dalam lagi apa kemampuan saya selain ketidakmampuan matematika. Predikat bodoh itu telah berhasil membuat saya merasa saya dilahirkan tak memiliki kemampuan apa-apa dan bertahun lamanya saya settle for less gara-gara hal itu.
Sampai pada suatu hari, lima belas tahun yang lalu, pemimpin redaksi koran ini mendatangi saya untuk memberikan kesempatan kepada saya menulis dan memiliki kolom seperti yang Anda baca selama bertahun lamanya.
Cakrawala baru
Yang membuat saya bangga dan terharu bukan semata- mata saya memiliki kolom di harian yang bergengsi dan menjadi panutan di negeri ini, melainkan saya terharu mengapa ada orang lain di luar lingkungan saya mampu melihat saya memiliki sesuatu yang patut diberi panggung.
Sejak saat itulah saya mulai merasa kepercayaan diri muncul. Saya menggali lebih dalam lagi untuk melihat apa kemampuan saya yang lain yang seharusnya saya ketahui sejak dulu dan tidak menghabiskan waktu berpuluh tahun lamanya menyesali predikat yang diberikan kepala sekolah itu.
Sejak saya diberikan kesempatan menulis di harian ini, saya bersemangat mengeksplorasi diri saya, dan memberikan kesempatan kepada penemuan diri itu untuk saya hargai. Penemuan diri itu telah membuat saya tak sembarangan mengikuti kecenderungan yang terjadi dan ditawarkan dunia.
Baca juga : ”Webinar”
Di masa sebelum penemuan diri ini, saya telah memberikan diri saya sebagai korban. Korban mode, korban cinta, dan korban lainnya. Membiarkan diri menjadi korban adalah bentuk nyata dari settle for less. Saya tak mau lagi mengulangi semua itu.
Untuk meninggalkan standar terbawah memerlukan mental lebih dari sekadar mental pemenang. Buat saya yang dimaksud dengan mental lebih dari pemenang bukanlah sekadar memenangi sesuatu. Bahkan, ketika saya tidak memenangi sesuatu, saya telah merasa menang melawan ketakutan dan kekhawatiran saya karena saya bukan orang terkenal.
Itu mengapa kalau dulu saya panik setengah mati karena pengikut saya hanya 6.000 dan yang menyukai unggahan di media sosial saya tak sebanyak mereka yang masuk kategori super terkenal, maka sekarang saya sangat tak memedulikan semua itu. Karena kepanikan adalah juga salah satu bentuk bahwa saya selalu settle for less.
Baca juga : Rasa Aman
Buat saya, unggahan atau berbagi secara online bukan soal tak ada yang melihat, bukan soal saya bukan orang terkenal, melainkan soal menunjukkan bahwa saya bukan manusia yang settle for less. Lebih dari pemenang itu merasa menang bahkan ketika secara kuantitatif tak bisa dibanggakan.
Karena itu, perkataan seperti siapalah aku ini, itu karena saya senangnya memang less. Hal itu bisa jadi karena saya tak berani menggali kemampuan saya dari sekadar pekerjaan yang sekarang saya jalani yang bisa jadi saya pikir ini adalah pekerjaan satu-satunya yang mampu saya kerjakan.
Saya teringat dengan salah satu staf saya. Ia seorang akuntan, dan bekerja di tempat saya sebagai manajer untuk pengembangan bisnis. Sekarang saya baru tahu, selain ia dapat berhitung, ia seorang penyiar radio, menjual sate, jamu, dan rempeyek kacang. Semua makanan itu dibuat oleh dirinya sendiri. Sebuah kemampuan yang tak pernah ia temukan sebelumnya.
Penemuan diri membuat seseorang naik kelas ke sebuah cakrawala kehidupan yang baru.