Hidup Baru
Hampir setiap pagi saya dan tetangga di lantai delapan berjemur dan berjalan kaki di halaman apartemen yang lumayan luas. Ketika sore hari menjelang, kami turun ke bawah untuk berjalan-jalan, menikmati suasana sore hari.
Hampir setiap pagi saya dan tetangga di lantai delapan berjemur dan berjalan kaki di halaman apartemen yang lumayan luas. Ketika sore hari menjelang, kami turun ke bawah untuk berjalan-jalan, menikmati suasana sore hari sebelum matahari tenggelam dan menjadikan dunia memasuki gelap.
Ritual tanpa rasa
Di pagi hari ketika matahari hendak beranjak ke tempat tinggi, langit biru tak bercacat karena biasanya ditutupi awan. Embusan angin pagi yang dingin dan melihat beberapa orang muda dan yang sudah bangkotan seperti saya berolahraga telah membuat saya merasa tenteram dan bahagia.
Puluhan tahun saya tak pernah mengalami hal ini. Untuk yang satu ini, saya berterima kasih karena ada PSBB. Selama ini saya juga berolahraga, saya juga bangun pagi dan merasakan sinar matahari. Tetapi, semuanya dilakukan dengan terburu-buru, semua dilakoni dengan jadwal yang ketat, karena kalau tidak, saya akan terlambat untuk rapat atau hadir pada sebuah atau beberapa pertemuan.
Akibatnya, ritual pagi berpuluh tahun lamanya hanyalah sebuah ritual yang mirip jadwal jaga seorang dokter di rumah sakit. Saya melihat langit biru, tapi tak bisa menikmatinya. Saya ”dicium” oleh angin yang menyentuh badan saya, tetapi saya tak peduli. Satu hal yang saya pedulikan adalah kalori saya telah terbuang sekian banyak dalam waktu tertentu.
Saya menjemur badan dengan aturan ketat, saya bahkan merasakan terik menyengat, tapi saya tak bisa merasakan panasnya masuk ke dalam tubuh saya. Saya melihat beberapa orang berolahraga, tetapi saya merasa mereka mengganggu arena saya berjalan kaki atau berlari. Semua saya lakoni tanpa perasaan.
Baca juga : ”Webinar”
Bahkan, bangun pagi pun dengan kedisiplinan tinggi agar semua jadwal yang telah ditentukan tak jadi berantakan. Sudah macam olahragawan yang tengah menjalani masa karantina sebelum bertanding. Sampai saya berpikir ulang dan bertanya, apa yang ingin saya capai dengan ritual tanpa rasa itu?
Selama PSBB berlangsung, karena tak bisa lagi hadir dalam rapat di kantor klien atau kantor sendiri, karena tak bisa lagi ngopi-ngopi, karena tak perlu lagi hadir dalam seminar di sebuah gedung, dan semuanya harus dilakukan dari rumah, maka ritual tanpa rasa itu menjadi berubah. Oleh karena itu, saya mulai melakukan semuanya dengan rasa.
”Live my life to the fullest”
Bangun pagi tak perlu pakai weker lagi karena tak ada situasi yang memaksa harus ke kantor atau hadir dalam rapat. Sekarang saya bisa bangun secara otomatis. Saya bangun tanpa dipaksa oleh bunyi jam, saya bangun dengan jam tubuh saya yang tanpa paksaan. Saya memulai ritual dengan rasa legawa.
Saya turun ke bawah bersama tetangga dan menuju arena olahraga kami tanpa tergesa-gesa. Saya berjalan kaki sambil menikmati gerakan kaki, sambil menyadari sepenuhnya ada hijaunya tanaman yang rimbun dan bunga-bunga indah yang selama ini terlewati dan tak penting untuk dinikmati.
Saya mempunyai waktu untuk menyapa selamat pagi kepada tukang kebun, kepada orang-orang yang dahulu tak saya pedulikan. Kalaupun dulu menyapa dengan rasa terpaksa agar terlihat ramah, sekarang saya menyapa karena saya bahagia.
Saya menikmati langit biru dengan perasaan. Bukan sekadar melihat langit biru kemudian mengabadikannya dilanjutkan dengan mengunggahnya di media sosial dengan ungkapan selamat pagi Jakarta. Saya menikmatinya dan melihat dengan saksama warna birunya dan membuat hati saya tenteram.
Baca juga : Rasa Aman
Pagi itu, setelah saya menjalani ritual tanpa paksaan itu, saya bisa mengatakan bahwa semua itu adalah jawaban dari pertanyaan yang belakangan selalu ada dalam pikiran saya. Mati itu pasti, tetapi apakah saya telah benar-benar hidup?
Saya bisa pastikan bahwa saya telah benar-benar hidup. Bukan karena saya kaya raya, bukan karena saya terkenal, tetapi karena saya telah menjalani kehidupan dengan kesadaran penuh. Artinya, saya mengalihkan konsentrasi saya pada aktivitas merasakan, dan bukan pada pemenuhan jadwal ketat tanpa rasa.
Kesadaran penuh itu yang membuat saya dapat menikmati swike dengan saus tauconya yang menggoyang lidah, mengunyah dengan rasa senang. Bukan terburu-buru karena jam makan siang telah usai, dan membuat acara makan siang atau makan malam itu menjadi sebuah ritual menelan makanan semata.
Mati itu pasti, tetapi apakah saya telah benar-benar hidup?
Kesadaran penuh telah membuat saya merasakan kaki saya menyentuh tanah saat berlari atau berjalan kaki. Saya menyapa tukang kebun tidak sebagai sebuah aksi keramahtamahan yang palsu, tetapi menyapa karena saya sadar sepenuhnya sapaan itu keluar dari batin saya yang sejahtera.
Kesadaran penuh itu telah membuat saya mampu merasakan perasaan kesakitan atau kehilangan seseorang. Sehingga ungkapan dukacita saya bukan sekadar pesan melalui media sosial tanpa makna. Hanya menuliskan kalimat wajib macam turut berdukacita atau bahkan hanya menulis tiga huruf besar, RIP.
Kesadaran penuh itu telah memampukan saya menjalani penyakit saya tanpa berkeluh kesah dan merasakan yang namanya sesak napas itu seperti apa. Semua itu membuat saya merasa saya telah live my life to the fullest dan memiliki hidup yang baru. Sekali lagi, bukan karena saya kaya raya, bukan saya telah hidup dengan pengalaman-pengalaman yang dahsyat dan yang neko-neko. Bukan, bukan sama sekali.