Sepak Bola Papua Jangan Lagi Andalkan Bakat Alam Semata
Sepak bola modern tidak saja menuntut kemampuan teknik, tetapi juga dibarengi dengan kualitas intelektual dan emosional.
Dalam sebuah siniar, pengamat sepak bola Justinus Lhaksana dengan gamblang mencela susunan skuad juara dunia lima kali, Brasil. Justin menyebut formasi sebelas pertama yang ditampilkan tim ”Samba” hanya berisi pemain-pemain kelas medioker.
Saat kalah dari Argentina pada laga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Amerika Selatan (Conmebol), November 2023, Brasil memainkan pemain seperti Rapinha, Rodrygo, Gabriel Martinelli, dan Gabriel Jesus. Nama-nama itu dianggap Justin tidak cukup layak untuk tim sekelas Brasil.
Susunan skuad tersebut, menurut Justin, tentu tidak bisa disandingkan dengan nama-nama beken yang memperagakan ”Jogo Bonito” Brasil di masa lampau. Pada awal milenium baru, sepak bola ala samba Brasil begitu mentereng dengan materi skuad seperti Ronaldo Nazario, Rivaldo, Ronaldinho, Roberto Carlos, dan Ricardo Kaka.
Baca juga: Jalan Terbuka Anak-anak Papua Menggapai Mimpi Sepak Bola
Kini, Justin menganggap level Brasil sebatas tim medioker, hanya mengandalkan kemampuan individu yang sudah tidak relevan dengan era sepak bola modern. Hegemoni Brasil di masa lampau seakan meredup di era sepak bola yang menuntut taktik yang semakin berkembang pula.
Prestasi Brasil terbilang tidak stabil setelah mereka terakhir kali juara dunia pada 2002. Kendati pernah menjadi jawara di level kontinental dengan menjuarai Copa America pada edisi 2004, 2007, serta 2019, nyatanya pasang surut di level tertinggi terjadi dalam kurun waktu tersebut.
Belakangan, inkonsistensi Brasil semakin terlihat, bahkan saat sekadar bersaing di level kontinental. Tim Samba tertinggal delapan poin dari pemuncak klasemen, yakni rival abadi mereka sekaligus juara dunia 2022, Argentina. Bahkan, Brasil dilangkahi negara yang kurang diperhitungkan, seperti Kolombia, Venezuela, dan Ekuador.
Baca juga: Eduard Ivakdalam, Pemimpin Kebangkitan Sepak Bola Papua
Sementara itu, kendati terpisah jarak sekitar 17.000 kilometer, Papua, Indonesia, sudah sejak lama kerap dimiripkan dengan Brasil. Bukan saja kondisi geografis, melainkan juga berkaitan dengan kultur sepak bola serta status sebagai penghasil bakat alami yang piawai dalam menggocek si kulit bundar.
Seperti Brasil, anak-anak Papua memiliki keunggulan bakat alami bermain sepak bola. Bentukan alam Papua menciptakan ketangguhan fisik dan kecepatan lari talenta dari ”Bumi Cenderawasih”. Keindahan jogo bonito khas tarian samba Brasil bersanding dengan keindahan gaya main bak tarian Sajojo Papua.
Sejarah mencatat, selama bertahun-tahun Papua konsisten mengirimkan talenta-talenta terbaik untuk sepak bola nasional. Sebut saja Rully Nere, Eduard Ivakdalam, Elie Aiboy, dan Boaz Solossa.
Di level klub, Persipura Jayapura yang menjadi simbol sepak bola Papua berstatus tim paling digdaya di era Liga Indonesia. Sejak 1994, ”Mutiara Hitam” telah mengoleksi empat gelar kasta tertinggi sepak bola Indonesia, yang merupakan koleksi terbanyak untuk sebuah klub di Tanah Air.
Sudah menjadi rahasia umum, masalah indisipliner pemain Papua itu menjadi penghambat bakat alami mereka. Perlu ada upaya dan orang yang tepat untuk memperbaiki ini.
Tidak hanya di level nasional, taji Persipura juga mentereng di level Asia. Di Piala AFC, kasta kedua kompetisi antarklub Asia, tim Mutiara Hitam pernah mencicipi panggung semifinal pada musim 2014.
Baca juga: Potret Ironi “Indonesia Mini” di Sepak Bola Papua
Pasang surut Papua
Namun, seperti halnya Brasil, kini Papua juga dianggap sedang mengalami kemunduran di persepakbolaan nasional. Seakan menyisakan Yakob Sayuri, pemain yang bersinar bersama PSM Makassar ini mampu menjaga marwah Papua dengan menjadi pilihan utama di timnas. Yakob menjadi salah satu penampil paling menonjol selama pergelaran Piala Asia di Qatar, awal tahun 2024.
Sejatinya, di level prasenior, talenta Papua kerap didamba bisa menjadi tulang punggung timnas di masa mendatang. Pemain dengan skill individu mumpuni, seperti Todd Rivaldo Ferre, Osvaldo Haay, Marinus Wanewar, dan Ramai Rumakiek, dianggap sebagai bakat muda menonjol di timnas kelompok umur di bawah 23 tahun.
Namun, nyatanya talenta-talenta tersebut justru seakan kesulitan menembus persaingan di skuad nasional yang saat ini dinakhodai oleh pelatih asal Korea Selatan, Shin Tae-yong.
Pelatih yang dianggap membawa perubahan besar di sepak bola Indonesia tersebut begitu mengandalkan kolektivitas tim. Visi bermain kolektif serta disiplin kuat yang didukung fisik proporsional menjadi syarat utama untuk mengisi tempat di skuad nasional asuhan Shin.
Sementara talenta Papua kini seakan sulit bersaing dengan para pemain Indonesia lain yang memenuhi kriteria timnas ”Garuda”. Pemain-pemain yang menjadi diaspora di Asia dan Eropa, seperti Pratama Arhan, Asnawi Mangkualam, dan Marselino Ferdinan, hampir selalu mengamankan tempat di skuad Garuda.
Selain itu, persaingan semakin ketat saat Shin Tae-yong turut memaksimalkan bakat-bakat keturunan yang bermain di kompetisi Eropa, seperti Ivar Jenner, Justin Hubner, Elkan Baggot, dan Rafael Struick. Mereka yang mengenyam visi sepak bola Eropa tidak ketinggalan menjadi pilihan utama Pelatih Shin.
Begitu pun nama-nama lain yang pernah menimba ilmu di sepak bola Eropa, seperti Witan Sulaeman dan Egy Maulana, mereka tetap menjadi opsi di skuad nasional.
Baca juga: Hikmah Tersembunyi Musibah Persipura
Talenta Papua terancam?
Dominasi kiprah pemain muda diaspora dan pemain keturunan di skuad nasional tampak sulit diimbangi talenta Papua. Pesepak bola Papua justru seakan sulit mencapai level tertinggi untuk menembus timnas.
Wartawan senior sekaligus pemerhati sepak bola Papua, Dominggus Mampioper, mengungkapkan, ada sejumlah anomali yang memengaruhi penurunan kualitas talenta Papua. Salah satunya sebab lengsernya Persipura dari kasta tertinggi sepak bola nasional.
Selama ini Persipura selalu dianggap sebagai rumah nyaman bermain bola bagi talenta Papua. Kini, mereka harus berjuang dan beradaptasi mengembangkan kemampuan dengan tim luar Papua.
”Bermain di Persipura menjadi kebanggaan tersendiri. Di sana mereka bisa mengeluarkan kemampuan terbaik. Sementara di luar, mereka harus berjuang lebih keras untuk sekadar adaptasi,” ucap Dominggus di Jayapura, Jumat (16/2/2024).
Saat ini, Todd Ferre bukanlah pilihan utama di PSS Sleman. Begitu pun dengan Osvaldo Haay yang setelah sembuh dari cedera panjang juga masih berjuang untuk posisi inti di Bhayangkara FC.
Baca juga: Susah Payah Persipura Tidak Terdegradasi ke Kasta Terbawah Liga Indonesia
Sementara itu, Ramai Rumakiek, yang kendati sempat memperkuat Indonesia di Asian Games 2023, kini masih berstatus sebagai penggawa Persipura. Ia menjadi bagian yang menyelamatkan Mutiara Hitam dari ancaman degradasi ke Liga 3, kasta terbawah Liga Indonesia.
Selain faktor Persipura, Dominggus menyoroti program pembinaan sepak bola Papua yang tidak maksimal. Hal ini turut menghambat berbagai model sepak bola era modern yang semakin berkembang.
Selama bertahun-tahun, talenta sepak bola Papua tumbuh dengan bakat alam. Sekolah sepak bola (SSB) dan turnamen amatir sejenis antarkampung (tarkam) menjadi oase menempa bakat-bakat Papua.
Namun, menurut Dominggus, bakat alami yang tiada henti lahir di Papua tidaklah cukup. Sepak bola modern yang semakin berkembang menuntut anak Papua juga harus meningkatkan kualitas diri.
Di sisi lain, ia menyebut, visi bermain yang progresif tersebut tidak bisa muncul begitu saja. Selama ini program pembinaan sepak bola yang menyeluruh masih sulit ditemukan. ”Selama ini, bekal menjadi pemain profesional belum maksimal ditanamkan bagi anak-anak Papua. Selama itu pula, sepak bola hanya dianggap sebatas hobi semata,” katanya.
Ia juga menyayangkan, kegemilangan Persipura selama bertahun-tahun di kancah sepak bola nasional justru belum mampu menghadirkan pembinaan sepak bola berkelanjutan di Papua. Ini jauh berbeda dengan pembinaan di klub tradisional lain, seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, ataupun Persebaya Surabaya.
Dengan begitu, ia menyebut, kehadiran pembinaan sepak bola yang menyeluruh sangat diperlukan bagi anak Papua. Program sepak bola tidak hanya mencakup kecakapan kemampuan teknis, tetapi juga kecerdasan intelektual dan emosional.
”Sudah menjadi rahasia umum, masalah indisipliner pemain Papua itu menjadi penghambat bakat alami mereka. Perlu ada upaya dan orang yang tepat untuk memperbaiki ini,” tuturnya.
Hal ini diamini Pelatih SSB Batik Thomas Madjar. SSB Batik menjadi salah satu penghasil pemain untuk pemain Persipura. Hingga saat ini, ada nama-nama seperti Ramai Rumakiek, Marinus Wanewar, Elisa Basna, dan Marcel Rumkabu.
Namun, Thomas mengakui, kurikulum dan fasilitas sepak bola di level SSB tidak cukup untuk menghasilkan kualitas pesepak bola profesional. ”Selama ini hanya dengan fasilitas seadanya mereka dididik. Tetapi, kami masih konsisten menghasilkan pemain level profesional. Tetapi, jelas ini tidaklah cukup untuk mencapai level terbaik,” katanya.
Baca juga: Papua Football Academy: Ikhtiar Merawat “Mutiara Baru” Papua
Kecerdasan sepak bola
Pada Agustus 2022, akhirnya Papua memiliki akademi sepak bola pertama bermarkas di Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Papua Football Academy (PFA) yang didorong Presiden Joko Widodo merupakan investasi sosial dari PT Freeport Indonesia sebagai salah satu ikhtiar menghasilkan talenta sepak bola yang lebih berkualitas.
Saat ini PFA mendidik 60 anak dengan rentang usia 15-16 tahun. Mantan asisten Alfredh Riedl di Piala AFF 2010, Wolfgang Pikal, didapuk sebagai direktur akademi. Pikal dibantu sejumlah pelatih, termasuk mantan pemain Persipura, Ardiles Rumbiak.
”Selama dua tahun saja mereka ditempa di sini. Era sepak bola semakin kompetitif, bakat saja tidak cukup. Ada berbagai aspek yang perlu dibina sejak dini,” ucap Ardiles, yang berstatus sebagai Pelatih Kepala PFA.
Dengan kurikulum berstandar FIFA serta berlandaskan filosofi sepak bola Indonesia, pengembangan talenta asli Papua diharapkan semakin meningkat. Ardiles menyebut, di PFA, anak Papua tidak hanya ditempa dalam hal peningkatan kualitas teknik, tetapi juga nilai dasar kehidupan, seperti disiplin serta pembawaan diri dalam kehidupan bermasyarakat.
Jangan selalu menuntut bakat, tetapi pembinaan dan kesempatan jarang diberikan. Berikan kesempatan secara adil sehingga bisa menilai dengan adil pula.
Hal ini tidak lepas untuk memaksimalkan talenta Papua yang dikaruniai bakat alami sejak kecil. Dengan begitu, Ardiles berharap, dalam beberapa tahun ke depan bibit sepak bola Papua mampu terus meningkatkan kualitas serta bisa bersaing di mana pun berada.
Baca juga: Presiden Jokowi Resmikan Akademi Sepak Bola Pertama di Papua
”Selain skill, local wisdom yang diperoleh akan membawa anak-anak ini terus bekerja keras. Bukan saja di level yunior, tetapi juga hingga puncak karier di level senior,” katanya.
Sementara itu, selain perhatian pada pembinaan, Dominggus dan Thomas berharap talenta-talenta Papua diberi kesempatan untuk membuktikan diri. Selain itu, perhelatan sepak bola level internasional juga perlu dihadirkan di Papua. Ini akan menjadi pengungkit motivasi bagi talenta daerah.
”Jangan selalu menuntut bakat, tetapi pembinaan dan kesempatan jarang diberikan. Berikan kesempatan secara adil sehingga bisa menilai dengan adil pula,” ujar Thomas.