Potret Ironi “Indonesia Mini” di Sepak Bola Papua
Tersingkirnya Persipura Jayapura dari Liga 1 adalah pucuk gunung es dari buruknya pengelolaan klub profesional asal Papua itu. Pembenahan manajemen menjadi syarat mutlak agar klub-klub Papua bisa kembali berprestasi.
Hanya dalam waktu lima bulan, ironi terjadi pada kancah sepak bola di Papua. Rakyat Papua sempat merayakan keberhasilan dua tim, yaitu putra dan putri sekaligus, meraih medali emas PON Papua 2020, Oktober lalu. Akan tetapi, mereka kini harus menangis setelah Persipura Jayapura, klub profesional terbaik di “Bumi Cenderawasih”, untuk pertama kali keluar dari kasta paling elite Liga Indonesia, Kamis (31/3/2022).
Kejayaan di PON serta kemalangan di BRI Liga 1 2021-2022 seakan-akan menunjukkan wajah “Indonesia Mini” yang tengah terjadi dalam pembinaan sepak bola di Papua. Ajang PON adalah wadah para pemain muda yang masih berstatus amatir untuk mengasah kemampuan dan membuka kesempatan mereka memasuki level profesional.
Prestasi di PON itu membuktikan sekali lagi bahwa talenta sepak bola di Papua tidak ada habisnya. Sebutan Papua sebagai gudang pesepak bola atau “Brasil-nya Indonesia” tidak perlu disangsikan lagi.
Di sisi lain, kegagalan Persipura, peraih empat trofi Liga Indonesia, bertahan di Liga 1 musim ini adalah sebuah bencana terbesar bagi masyarakat Papua. Persipura adalah harga diri warga Papua yang menjadi kebanggaan bagi setiap masyarakat Bumi Cenderawasih.
Baca juga : Tinta Merah Mutiara Hitam
Anak-anak Papua yang bercita-cita menjadi pesepak bola pasti bermimpi membela lambang “Mutiara Hitam” di dadanya. Bermain di Stadion Mandala, kota Jayapura, yang merupakan ikon Persipura, adalah sebuah prestise termegah bagi anak Papua.
Hanya saja, terpuruknya Persipura di Liga 1 2021-2022 dengan mengakhiri musim di peringkat ke-16 dari 18 peserta seakan-akan mencerminkan kondisi sepak bola Indonesia saat ini. Sebuah wujud pembinaan sepak bola yang terbengkalai ketika telah memasuki level profesional.
Indonesia memiliki salah satu talenta sepak bola terbaik di kawasan Asia Tenggara dan Asia. Prestasi mentereng dihasilkan pemain-pemain junior di turnamen internasional. Namun, ketika pemain itu telah memasuki usia profesional atau di atas 17 tahun, mereka akan kesulitan bersaing di Asia Tenggara. Hal itu ditunjukkan dengan catatan tanpa gelar juara tim “Garuda” di Piala AFF, turnamen antarnegara Asia Tenggara.
Paceklik prestasi itu tidak lepas dari minimnya pembinaan berjenjang dan buruknya profesionalisme pengelolaan sepak bola Indonesia. Mulai dari sisi liga, sains olahraga, industri, hingga infrastruktur penunjang, Indonesia telah tertinggal dari negara tetangga, seperti Thailand dan Vietnam.
Apa yang terjadi di Indonesia secara nasional juga tengah berjalan di Papua. Para pemain Papua yang tampil di PON masih mampu menjadi terbaik di Indonesia pada level amatir.
Ketika telah masuk ke level profesional, prestasi Papua di PON gagal terduplikasi oleh Persipura di musim ini. Sebagai tim terbaik di Papua, Persipura tidak mengalami perkembangan dari sisi pembinaan dan pengelolaan klub secara profesional sejak menjadi juara Indonesia Soccer Championship A pada 2016 lalu.
Tidak kreatif
Persipura gagal menjadi klub profesional yang seutuhnya. Mereka tidak mampu menunjukkan kreativitas untuk mencari sumber-sumber dana dan kemitraan strategis guna menunjang performa klub di lapangan hijau.
Alhasil, ketika PT Freeport Indonesia tidak lagi jor-joran memberikan dukungan dana, Persipura kelimpungan mencari dana untuk membiayai operasional kompetisi di Liga 1 2021-2022. Imbasnya, “Mutiara Hitam” hanya bergantung kepada para pemain muda yang masih tampil inkonsisten dan tidak mampu mendatangkan pemain asing terbaik untuk meningkatkan kualitas tim.
Jacksen F Tiago, mantan pelatih Persipura, mengakui, masalah keuangan menjadi kendala utama Persipura ketika mempersiapkan diri untuk kompetisi sejak 2020. Kondisi itu membuat Persipura tidak bisa mendatangkan pelatih fisik asal Brasil yang diinginkan Jacksen.
Baca juga : Dihukum Pengurangan Poin, Persipura Kian Terancam Turun Kasta
“Kami terbentur masalah keuangan. Meski begitu, saya serahkan kepada manajemen untuk menyiapkan pemain dan saya akan berjuang untuk memberikan kemampuan terbaik,” ujar Jacksen dalam wawancara virtual, pertengahan 2021 lalu.
Hasilnya pun bisa dilihat hingga 12 pekan perdana Liga 1 2021-2022. Jacksen gagal menghadirkan performa ideal bagi Mutiara Hitam yang hanya mengemas lima poin berkat satu menang, dua seri, dan sembilan kali kalah.
Di sisi lain, tim-tim yang membangun sisi komersial dengan baik, seperti Bali United dan Persib Bandung, mampu menjadi kekuatan yang dominan di Liga 1 musim ini. Kedua tim itu menjadi tim dengan nilai pasar tertinggi berkat dukungan finansial untuk mendatangkan pemain-pemain terbaik nasional serta dapat mengontrak pemain impor yang berkualitas.
Dengan kekuatan pemain yang seadanya, Persipura terbukti gagal mencetak momen nostalgia manis bersama dua pelatih asing, yaitu Jacksen dan Angel Alfredo Vera, yang pernah menghadirkan trofi juara bagi “Mutiara Hitam”. Keduanya gagal mengangkat performa Persipura untuk bersaing dengan tim-tim di Liga 1 lainnya.
Merujuk data Transfermarkt, peringkat 16 klub di Liga 1 musim ini selaras dengan nilai pasar akumulasi skuad Persipura. Mutiara Hitam “hanya” senilai Rp 55,19 miliar. Jumlah itu membuat Persipura berada di urutan ke-16 dalam daftar nilai pasar skuad.
(Degradasi) ini adalah ujian bagi Persipura. Saya yakin mereka akan bangkit dan termotivasi tinggi untuk kembali ke Liga 1 secepatnya. (Rahmad Darmawan)
Dua tim terbawah dalam daftar nilai pasar skuad Liga 1 2021-2022 adalah Persela Lamongan dan Persiraja Banda Aceh yang masing-masing berada di peringkat ke-17 dan ke-18. Maka, tidak heran pula, kedua tim itu, juga Persipura, menempati tiga peringkat terbawah di klasemen akhir Liga 1 musim ini.
Adapun Bali pantas menjadi juara karena menjadi tim dengan investasi terbesar untuk membangun skuad. Nilai pasar skuad Bali adalah yang termahal kedua di Liga 1 2021-2022 dengan angka mencapai Rp 86,91 miliar. Adapun skuad yang termahal adalah Persib dengan nilai mencapai Rp 94,3 miliar.
Pucuk gunung es
Terpuruknya prestasi Persipura sejatinya adalah pucuk gunung es dari kemerosotan prestasi tim profesional Papua. Sepak bola Papua pernah mencetak masa keemasan ketika dua tim Papua, yaitu Persipura dan Persiwa Wamena, berada di dua posisi teratas pada Liga Super Indonesia 2008-2009.
Kemudian, pada Liga Super edisi 2011-2012 dan 2013, empat tim Papua tampil di kompetisi kasta tertinggi. Selain Persipura dan Persiwa, ada pula Persidafon Dafonsoro dan Persiram Raja Ampat.
Akan tetapi, Persidafon dan Persiwa terdegradasi di akhir musim 2013. Kini, kedua tim itu pun telah menanggalkan status profesional, sehingga hanya menjadi sejarah dalam percaturan sepak bola Papua dan nasional. Ketika dua tim itu turun kasta, harapan Papua diselamatkan oleh Perseru Serui yang naik ke Liga Super 2014 untuk menemani Persipura dan Persiram.
Kemudian, ketika kompetisi vakum pada kurun waktu 2015-2016, Persiram menjadi korban pertama dari krisis finansial yang mendera klub Papua. Akhirnya, menjelang Indonesia Soccer Championship A 2016, lisensi Persiram diambil alih PS TNI sejak Maret 2016. PS TNI, yang sempat berubah menjadi PS Tira pada Liga 1 2018, pun telah bergabung dengan Persikabo Bogor untuk menjadi Persikabo 1973 di Liga 1 musim ini.
Adapun petualangan Perseru untuk menemani Persipura di era Liga 1 berakhir pada Liga 1 2019. Seiring masalah finansial, Perseru diambil alih oleh pengusaha, Marco Gracia Paulo, untuk berpindah markas ke Lampung. Nama Badak Lampung menggantikan Perseru di Liga 1 2019.
Badak Lampung hanya semusim merasakan persaingan di Liga 1. Mereka terdegradasi dan berkiprah di Liga 2 musim 2021. Selanjutnya, Badak Lampung juga kembali terdegradasi ke Liga 3 untuk musim 2022-2023 karena menduduki posisi juru kunci di grup B Liga 2 2021.
Untuk musim depan, Persipura akan bersaing dengan Persewar Waropen sebagai perwakilan Papua di Liga 2. Adapun Persewar gagal menembus delapan besar Liga 2 2021 karena kalah bersaing dengan Sulut United dan Persiba Balikpapan di Grup D.
Sementara tiga perwakilan Papua di Liga 3 putaran 64 besar nasional gagal menembus putaran 32 besar. Tiga perwakilan itu terdiri dari dua duta Provinsi Papua, Toli dan Persigubin Pegunungan Bintang, serta Perseman Manokwari sebagai satu-satunya wakil Papua Barat.
Baca juga : Eduard Ivakdalam, Pemimpin Kebangkitan Sepak Bola Papua
Dengan kondisi tersebut, insan sepak bola di Bumi Cendrawasih sudah sepatutnya berbenah. Bakat dan talenta alami dari kaki-kaki anak Papua sudah tidak bisa lagi menjadi sandaran untuk meraih prestasi. Tim-tim profesional asal Papua, terutama Persipura, harus mewujudkan manajemen yang profesional agar pengelolaan klub berjalan berkesinambungan dan tidak lagi bersumber pada satu sponsor kunci.
Dengan daya tarik besar sepak bola di Tanah Papua dan nama besarnya, Persipura sepatutnya tidak sulit mendatangkan “juru selamat” dalam hal sisi finansial agar mereka bisa kembali berkiprah di Liga 1 2023-2024.
Ditambah lagi, Papua adalah salah satu provinsi dengan fasilitas sepak bola terbaik di Indonesia. Kehadiran tiga stadion bertaraf internasional, yakni Stadion Mandala, Stadion Utama Lukas Enembe, dan Stadion Barnabas Youwe, amat disayangkan apabila tidak diikuti dengan prestasi klub profesional yang baik.
“(Degradasi) ini adalah ujian bagi Persipura. Saya yakin mereka akan bangkit dan termotivasi tinggi untuk kembali ke Liga 1 secepatnya,” ujar Pelatih Barito Putera Rahmad Darmawan.
Rahmad adalah juru taktik pertama yang mempersembahkan gelar juara untuk Persipura pada Liga Indonesia 2005. Pernyataan Rahmad itu juga menjadi harapan sekitar empat juta warga di Pulau Papua. Tetapi, harapan itu hanya bisa tercipta kalau manajemen Persipura memperbaiki pengelolaan klub.
Namun, tanpa perbaikan, bukan tak mungkin Persipura bakal mengikuti jejak Persidafon dan Persiwa dalam beberapa tahun mendatang. Dua klub itu kini hanya menjadi kenangan dalam kompetisi sepak bola di Indonesia...